Langsung ke konten utama

Filsafat Stoa: HIidup Bahagia dari Dalam



 “Some thing are up to us, some things are not up to us”

 - Epictetus [Enchiridion]

“Ada hal-hal yang dibawah kendali (tergantung pada) kita, ada hal-hal yang tidak di bawah kendali (tidak tergantung pada kita)”

Kutipan di atas merupakan salah satu hal yang menjadi prinsip dalam filsafat stoa. Prinsip ini biasa disebut dengan Dikotomi Kendali (dichotomy control).  Dari kutipan dapat kita maknai secara sederhana bahwa ada kemudian hal-hal yang bisa kita kontrol da nada hal yang tidak bisa kita kontrol. Sederhana sekali memang pernyataannya, namun implikasinya sangat besar terhadap cara hidup kita.

Dalam hal ini, Stoisisme (aliran Stoa) telah membagi hal-hal apa saja yang kemudian masuk dalam kendali kita dan yang tidak, sebaga berikut:

TIDAK dibawah kendali kita:

  • Tindakan orang lain (kecuali orang lain itu di bawah ancaman kita).
  • Opini orang lain.
  • Reputasi/kepopuleran kita.
  • Kesehatan kita.
  • Kekayaan kita.
  • Takdir biologis, seperti jenis kelamin, orang tua, kebangsaan, etnis, dll.
  • Sesuatu yang di luar pikiran dan tindakan kita (cuaca, gempa, peristiwa alam lainnya).
  • Harga saha, indeks pasa modal, razia sepede motor, nilai tukar dan lain-lain.

DI BAWAH kendali kita:

  • Pertimbangan, opini, atau persepsi kita.
  • Keinginan kita.
  • Tujua kita.
  • Segala sesuatu yang merupakan pikiran dan tindakan kita.

Paling tidak dengan adanya kategori tersebut kita sedikit paham tentang sesuatu yang bisa dikendalikan dan tidak oleh kita. Namun, apa alasanyya hal-hal tersebut masuk kepada  kategori yang tidak dan di bawah kendali kita. Sebelum masuk kepada penjelasan, kiranya ada satu kutipan juga tentang hal demikian.

Hal-hal yng ada di bawah kendali kita bersifat merdeka, tidak terikat, tidak terhambat; tetapi hal-hal yang tidak di bawah kendali kita bersifat lemah, bagai budak, terikat, dan milik orang lain. Karenanya, ingatlah jika kamu menganggap hal-hal yang bagaikan budak sebagai bebas, dan hal-hal yang merupakan milik orang lain sebagai milikmu sendiri, maka kamu akan meratap dan kamu akan selalu menyalahkan para dewa dan manusia - Epictetus [Enchiridion]

Jika disederhanakan kutipan di atas; kalau kita banyak menginginkan terhadap sesuatu yang di luar kendali kita, maka bersiaplah untuk selalu merasakan kecewa, seperti opini orang lain, kekayaan kita, bahkan sampai kesehatan kita pun demikian.

Seringkali, kita banyak memikirkan sesuatu yang bersifat di luar kendali kita. Kita tidak pernah bisa menentukan untuk dilahirkan di keluarga kaya atau miskin, berjenis laki-laki atau perempuan, jenis rmbut keriting atau lurus, berkulit hitam atau putih dan lain sebagainya.

Tidak sedikit masih banyak orang yang sudah dewasa sekalipun masih selalu protes terhadap keadaany, misalnya “kenapa saya terlahir dengan kulit hitam, terlahir di orang tidak mampu, coba kalau saya anak si bapak itu?’ dan lain sebagainya. Bagi para filusuf Stoa, pernyataan atau pikiran-pikiran seperti ini hanyalah perbuatan sia-sia belaka.

Stoisisme mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa dating dari hal-hal yang di bawah kendali kita, (kebahagiaan hanya bisa dating dari dalam). Sebaliknya, kita tidak dapat menggantungkan kebahagiaan pada sesuatu yang di luar kendali kita. Menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang di luar kedali itu tidak rasional.

Mungkin ada yang bertanya, bukankah kekayaan itu datang dari hasil kerja keras kita?. Bukankah juga popularitas dating dari hasil perjuangan kita?. Bukankah juga kesehatan merupakan hasil pengolahan tubuh kita yang baik, dengan makan yang sehat, olahraga teratr dan lainnya?. Penting untuk dipahami, bahwa kendali bukan hanya soal kemampuan kita memperoleh tetapi juga kemampuan kita untuk menjaga atau mempertahankan.

Sebagai contoh, pertama, kekayaan. kekayaan bisa saja lenyap dalam sekejap. Rumah, mobil, uang melimpah bisa hangus terbakar. Bisnis bisa bangkrut ata disita pemerintah. Kedua, ketenaran. Ketenaran yang sudah dibangun sedemikian lama misalnya, bisa hilang sekaligus hanya karena kita salah ucap di media sosial dan seoalah menghina dan lain sebagainya. Ketiga, persahabatan. Persahabatan berarti melibatkan orang lain, maka sudah jelas di luar kendali kita. Kita bisa saja menjaga sedemikian kuat pershabatan, tetapi dengan karena satu  hal, persahabatan itu bisa pupus.

Stoisisme Mengajarkan Pasrah?

Apakah Stoisisme mengajarkan pasrah pada keadaan? Tidak. Dalam situasi apapun, sekalipun kita tida mengendalikan apapun, kita masih ada bagian yang merdeka dalam diri kita, yaitu pikiran dan persepsi. Contohnya, ada anjing yang terikat lehernya ke sebuah gerobak. Saat gerobak melaju, anjing ini dua pilihan.

Pertama, ia berusaha kabur dan berlari berlawanan arah dari geroba dengan konsekuensi capek dan tertarik lehernya. Kedua, ia bisa mengikuti gerobak kemanapun melaju sambil menikmati pemandangan, dan kalau ada anjing betina yang lewat ia bisa bergenit ria. Di sini kita bisa lihat, sekalipun dalam situasi tak terkendali, kita masih bisa berbahagia dengan memfokuskan pada hal yang di bawah kendali kita.

Contoh Penerapan Dikotomi Kendali Sehari-hari

            First date (kencan pertama), bisa menyebabkan penuh kecemasan bagi kedua belah pihak. Dikotomi kendali dapat digunakan di sini. Dalam kencan pertama akan selalu muncul ketakutan-ketakutan, misalnya “Apakah kencan ini akan berhasil?, Apakah dia bakal suka aku ga ya? Dan lain sebagainya.

Dalam penerapan dikotomi kendali, kita harus identifikasi terlebih dahulu, mana yang di bawah kendali dan tidak kita. Perasaan perempuannya merupakan sesuatu yang di luar kendali kita. Tentu dengan demikian, tidak perlu berpusing-pusing ria mikiran perasaan perempuan itu. Lebih baik, difokuskan pada yang di bawah kendali kita. Apa yang di bawah kendali kita?

Misalnya, tampil bersih, rapih, memakai parfum, datang tepat waktu. Saat sudah melakukan itu semua, ketika di tempat kita bersikap sopan, santu, berikan senyuman termanis sejagat raya kita, enjoy dan tidak tegang. Ketika itu semua sudah dilakukan, maka tinggal menunggu hasilnya. Kalau hasilnya baik maka bersyukur dan kalau tidak, tidak perlu dipusingkan karena sudah melakukan yang terbaik.

Trikotomi Kendali

Sebagian mungkin masih tidak nyaman dengan pembagian dua kategori di atas. Mungkin, hal cuaca, bilogis dan lainnya di luar kendali kita. Namun, pekerjaan, pretasi, hubungan dan yang semisal kalau masuk dalam kategori yang di luar kendali akan memberi kencederungan untuk malas. Oleh karenanya, ada tawaran baru dengan menjadi trikotomi kendali. Trikotomi kendali teridiri sebagai berikut:

  • Hal yang bisa kita kendlikan; opini, persepsi, dan pertimbangan kita sendiri.
  • Hal yang tidak bisa kendalikan; cuaca, opini dan tindakan orang lain.
  • Hal yang sebagian bisa kita kendalikan; sekolah, pekerjaan, hubungan dengan pasangan.

Contoh untuk penerapan yang ketiga, misalnya dalam pembuatan skripsi. Hal yang di luar kendali kita, mood dosen. Hal yang di bawah kendali kita, persiapan dalam memahami topic, presentasi yang kita siapkan dengan matang. Kita perlu memisahkan antara hasil (yang mana sebagian dikendalikan kita) dengan target diri sendiri. Target sendiri kita adalah memahami dengan benar, belajar rajin skripsinya, latihan presentasi dan lainnya. Hasilnya merupakan di luar kendali kita. Jika kemudian nanti hasil nilai skripsinya buruk, dan kita bertindak stress maka itu sesuatu yang tidak rasional.

Dengan demikian, dari semua paparan di atas paling tidak memiliki semangat pean bahwa kita tidak perlu pusing-pusing mengendalikan sesuatu yang di luar kendali. Kita hanya perlu focus pada apa yang bisa kita kendalikan. Kebahagiaan kita ditentukan oleh kita sendiri. Kebahagiaan yang paling peting adalah kebahagiaan yang dari dalam, karena itu ada dalam kendali kita. Kita tidak bisa menggantungkan kebahagiaan pada sesuatu yang di luar kendali kita, karena sewaktu-waktu ia akan berubah dan membuat kecewa. Kebahagiaa yang sejati adalah kebahagiaan yang berasal dari dalam diri kita sendiri.

Sumber Bacaan:

Manamparing, Henry. 2019. Filosofi Teras: Filsafat Yunani Kuno Untuk Mental Tangguh Masa Kini. Jakarta: PT Media Kompas Mandiri.

Komentar