Oleh: Haikal Fadhil Anam
Berbicara semantik berarti akan
berbicara tentang makna, karena ilmu ini memang dalam lingkup menyingkap
makna-makna yang tersirat, makna dalamnya atau makna dibaliknya. Namun, penulis
khususkan bahwa semantik kali ini akan diterapkan untuk menyingkap salah satu
kata yang ada dalam al-Qur’an yaitu al-Urwatul Wutsqa. Jika berbicara tentang
analisis-analisis terhadap al-Qur’an dengan menggunakan pisau analisis semantik,
maka akan teringat pada salah satu ahli semantik al-Qur’an yaitu Toshihiko
Izutsu dari Jepang.
Toshihiko Izutsu merupakan
seorang Professor Emeritus yang fasih dalam lebih dari 30 bahasa, termasuk
Arab, Persia, Sansekerta, Pali, Cina, Jepang, Rusia dan Yunani. Ia mengajar di
Institut Linguistik Kebudayaan dan belajar di Universitas Keio di Tokyo, Iran
Imperial Academy of Philosophy di Teheran, dan Universitas McGill di Montreal.[1]Tiga
buah karyanya yang langsung berhubungan dengan semantic al-Qur’an adalah; The
Strcuture of The Ethical Terms in Koran (1959), God and Man in the Koran: A
Semantical Analysis of the Koranic Weltanschauung (1964), dan Atico-Religious
Concepts in the Qur’an (1966).[2]
Membaca dari pada hasil
penelitian dalam bentuk disertasi tentang kajian semantik Izutsu terhadap
al-Qur’an yang dilakukan oleh A. Luthfi Hamadi, bahwa analisis semantic merupakan
salah satu alternatif dalam penafsiran terhadap al-Qur’an yang obyektif yang
juga sesuai makna awalnya ketika wahyu tersebut diturunkan, yang untuk kemudian
diadaptasikan dalam kehidupan sekarang. [3]
Maka berangkat dari sana, penulis berusaha untuk menampilkan penafsiran
terhadap kata Al-Urwatul Wutsqa secara obyektif dan menyentuh makna yang
diinginkan dengan pendekatan penafsiran menggunakan pisau analisis semantik. Dalam
tulisan ini, penulis pun akang berangkat daripada penafsiran awal para ulama
klasik hingga kontemporer yang kemudian akan dirangkum secara singkat dalam
tulisan ini.
Sebelum memasuki lebih
jauh ke dalam pergulatan pendapat para ulama tetang kata tersebut. Dirasa perlu
kiranya mengapa penulis memilih kata ini untuk dianalisis. Hemat penulis,
analisis ini merupakan pertama kali, karena tidak ada sebelumnya yang membahas
kata Al-Urwatul Wutsqa secara mendalam, terlebih dengan pisau analisis semantik.
Maka analisis ini menjadi penting untuk dilakukan.
Kata Al-Urwatul Wutsqa
Secara Leksikal
Kata Al-Urwatul Wutsqa dalam
al-Qur’an terdapat dalam dua surat; pertama, dalam surat al-Baqarah [2]: 256,
kedua, dalam surat Luqman [31]: 22.
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
ۖ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ
مِنَ الْغَيِّ ۚ
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ
الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ
وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ .
Artinya:
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas
(perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa
ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang (teguh)
kepada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah maha mendengar, maha
mengetahui”[4]
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ
إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ ۗ
وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
Artinya:
“Dan barang siapa berserah diri kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat
kebaikan, maka sesungguhnya dia telah berpegang pada buhul (tali) yang kokoh.
Hanya kepada Allah kesudahan segala urusan”[5]
Dalam
kamus Al-Munawwir Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap, kata ‘Urwah diartikan
dengan tampat pegangan dan lubang kancing baju.[6]
Sedangkan dalam kamus kontemporer Arab-Indonesia karya Zuhdi Muhdlor, kata
Urwah diartikan dengan lingkaran, gantelan, pegangan, lubang kancing, hubungan
dan ikatan.[7]
Kemudian kata wutsqa dalam kmus al-Munawwir diartikan dengan kokoh dan
kuat.[8]
Maka secara leksikal dapat ditarik kesimpulan menimbang dari kamus juga
terjemahan al-Qur’an bahwa Al-Urwatul Wutsqa berarti Tali yang kokoh, atau ikatan
yang sangat kuat.
Al-Urwatul Wutsqa Tinjauan Analisis Semantik
Seperti
yang telah penulis paparkan di atas, bahwa semantik berbicara tentang makna
kata itu sendiri, yang digali secara mendalam. Karena kata tersebut berada
dalam al-Qur’an maka sudah sepatutnya, penulis menilik daripada penafsiran para
ulama terlebih dahulu. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat dalam kitab-kitab
tafsir karangan para Ulama.
Dalam
kitab tafsir klasik karya Ibnu Katsir, kata Al-Urwatul Wutsqa diartikan berpegang
teguh kepada agama dengan sarana yang sangat kuat. Dan Allah Ta’ala
menyerupakan hal itu dengan tali sangat kuat yang tidak akan putus. Tali
tersebut sangatlah kokoh, kuat keras ikatannya. Beliau pun mengutip beberapa
pendapat ulama di dalamnya, Mujahid mengatakan: “Yang dimaksud dengan Al-Urwatul
Wutsqa; adalah iman.” Sedangkan as-Suddi mengemukakan: “Yaitu Islam.” Sedangkan
Sa’id bin Jubair dan adh-Dhahhak mengatakan: “Yaitu kalimat Laa ilaaHa illallaHa.”
Dari Anas bin Malik: “Yang dimaksud dengan Al-Urwatul Wutsqa; adalah
al-Qur’an.” Dan dari Salim bin Abi al-Ja’ad, ia mengatakan: “Cinta dan benci
karena Allah.”Semua ungkapan di atas benar, tidak bertentangan satu dengan
lainnya.[9]
Dalam
kitab tafsir
kontemporer/modern karya al-Maraghi, Al-Urwatul Wutsqa diartikan berpegang teguh dan
mengamalkan dengan pegangan yang kuat dan istqomah di jalan yang tidak
menunjukan kesesatan. Disebutkan dalam tafsiran sebelumnya, bahwa jalan yang
sesat adalah mereka yang berpegang teguh pada tagut. Tagut menurut al-Maraghi
adalah mereka yang kufur dalam beribadah, keimanan dan keluar dari kebenaran. Menghamba
kepada sesama makhluk, menghamba kepada berhala, fanatik terhadap pemimpin,
menuruti hawa nafsu dan tidak menyembah kepada Allah.[10]
Setelah menilik
daripada penafsiran dua ulama klasik dan modern, mereka sama-sama menyatakan
bahwa pada intinya kata tersebut bermakna berpegang teguh pada tali, ikatan
yang kokoh. Dijelaskan pula di atas, kriteria siapa saja yang termasuk pada
seseorang yang telah berpegang tersebut. Penulis berusaha untuk kembali kepada
ayat yang menyebutkan kata tersebut, yaitu al-Baqarah [2]: 256 dan Luqman [31]:
22.
Dalam surat
al-Baqarah, sebelum penyebutan kata Al-Urwatul Wutsqa disebutkan terlebih
dahulu pemberian kebebasan dalam memilih agama. Tidak ada paksaan untu memeluk
agama dalam artian untuk masuk agama Islam. Lantas, ditegaskan bahwa siapa yang
kufur dalam artian tidak beriman kepada Allah, yang justru menyembah tagut,
yaitu menyembah selain Allah maka ia tidak termasuk ke dalam seseorang yang
Al-Urwatul Wutsqa.
Dalam surat
Luqman justru dijelaskan kebalikannya, yaitu kriteria yang harus ditempuh untuk
termasuk Al-Urwatul Wutsqa, yaitu mereka yang berserah diri kepada Allah dan
berbuat baik, hal ini pun senada dengan surat al-Baqarah [2]: 112, hanya
berbeda lanjutan diksinya jika dalam surat al-Baqarah [2]: 112 ditambah dengan
mendapatkan pahala, tidak ada rasa takut dan tidak pula bersedih hati.
Maka dengan
demikian, dapat kita ketahui makna semantis kata Al-Urwatul Wutsqa adalah siapa
saja yang berserah diri, beriman kepada Allah, yang tidak cukup hanya pada
tataran keimanan saja, tetapi juga pada tataran kebaikan, dan dengan itu tidak
justru berlaku kebalikannya, menyembah tagut dan indikasi lainnya. Dengan seperti
itu mereka yang melakukannya diberi predikat Al-Urwatul Wutsqa, berpegang pada
tali yang kokoh, ikatan yang sangat kuat, yang tidak akan putus. Wallahualam.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Atabik dan
Ahmad Zuhdi Muhdlor. 2003. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. Yogyakarta: Multi
Karya Grafika. Cetakan Kedelapan.
Al-Maraghi,
Ahmad Mustofa. Tanpa Tahun. Tafsir al-Maraghi. Beirut: Dar Hayau Turats
Arabi. Juz 3.
Hamidi, A.
Luthfi.2009. Disertasi. Pemikiran Toshihiko Izutsu Tentang al-Qur’an. Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga
Munawwir, Ahmad
Warson. 2002. Kams Al-Munawwir Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya:
Pustaka Progressif. Edisi Kedua..
Putra, PT.
Karya Toha. 2002. Al-Qur’an dan
Terjemahannya. Semarang: PT. Karya Toha Putra.
[1] https://en.wikipedia.org/wiki/Toshihiko_Izutsu
[2] A.
Luthfi Hamidi. Disertasi. Pemikiran Toshihiko Izutsu Tentang al-Qur’a, (Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga, 2009), hlm. 20
[3] A.
Luthfi Hamidi. Disertasi. Pemikiran Toshihiko Izutsu Tentang al-Qur’an.,
hlm. 341
[4] PT. Karya Toha Putra
Semarang, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra,
2002), hlm. 53
[5] PT. Karya Toha Putra
Semarang, Al-Qur’an dan Terjemahannya., hlm. 583
[6]
Ahmad Warson Munawwir, Kamu Al-Munawwir Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap,
(Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), Edisi Kedua hlm. 924
[7]
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,
(Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003), Cetakan Kedelapan, hlm. 1286
[8] Ahmad
Warson Munawwir, Kamu Al-Munawwir Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap., hlm.
1536
[9] https://alquranmulia.wordpress.com/2015/04/27/tafsir-ibnu-katsir-surat-al-baqarah-ayat-256/
[10] Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir
al-Maraghi, (Beirut: Dar Hayau Turats Arabi), Juz 3., hlm. 17
Komentar
Posting Komentar