MAKALAH
PENYAKIT HATI
(Riya’, Hasad, Ujub, al-Kidzb, dan al-Bukhl)
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
pada Mata Kuliah Akhlak dan Tasawuf
Dosen Pengampu:
Dr. H. Abdul Mustaqim, M.Ag
Disusun oleh :
Haikal Fadhil Anam
17105030003
M. Chaudi Al-Anshori
17105030008
Wahyu Sitorus
17105030015
Dewi Salma
17105030041
PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALI JAGA YOGYAKARTA
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad saw.
Sebelumnya, kami ucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang turut mendukung atas terselesaikan nya makalah ini. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin dalam menyusun makalah ini. Meskipun kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalamnya, baik dari segi penulisan atau isi. Oleh karena itu, kami membuka lebar saran dan kritik dari pembaca budiman agar kedepannya makalah ini dapat menjadi lebih baik.
Besar harapan kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan bisa menambah pengetahuan serta pengalaman bagi pembacanya.
Yogyakarta, 06 Oktober 201
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR I
DAFTAR ISI II
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Berakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Penulisan 2
D. Metode 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Definisi Penyakit Hati 3
B. Penyebab Timbulnya Penyakit Hati 3
C. Akibat Penyakit Hati 4
D. Penyakit Hati (Riya’, Hasad, Ujub, al-Kidzb, dan al-Bukhl) 14
E. Cara Mengobati Penyakit Hati 15
BAB III PENUTUP 17
A. Simpulan 17
B. Saran 17
DAFTAR PUSTAKA 18
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial selalu berhubungan dengan sesamanya. dalam berhubungan tersebut, tidak jarang terjadi sebuah perselisihan atau bahkan pertikaian, salah satu penyebab biasanya karena kesalahfahaman antar sesama, entah itu karena saling iri, dengki, riya’, sombong, khianat, dusta, dll. Semuanya itu tergolong sebagai penyakit hati.
Hati merupakan sesuatu yang sangat penting dalam diri manusia karna jika hati kita baik maka bisa dikatakan amal perbuatan kita juga baik dan mudah untuk menerima hal yang baik pula, tapi jika hati kita buruk maka buruk pula amal perbuatan kita dan akan susah menerima kebenaran, hal ini karna suasana hati seseorang merupakan tolak ukur dari kondisi jiwa seseorang tersebut. Oleh karenanya, kita harus mewaspadai adanya penyakit hati, karena penyakit hati ini lebih berbahya dari pada penyakit fisik.
Allah swt juga memerintahkan kepada kita untuk menjaga hati sebagaimana disebutkan dalam surat al-Isra ayat 36 “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan dimintai pertanggungjawaban”.
Maka dapat kita katakan, menjaga hati sangatlah penting bagi manusia, karena mengingat besarnya pengaruh penyakit hati dalam diri manusia. Berikut ini akan dijelaskan mengenai penyakit hati, contoh-contoh penyakit hati, serta bagaimana solusinnya.
B. Rumusan Masalah
Bedasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka rumusan masalah yang diperoleh, antara lain sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan penyakit hati ?
2. Apa itu riya’, hasad, ujub, al-kidzb, dan al-bukhl?
3. Apa yang menyebabkan timbulnya penyakit hati?
4. Apa akibat dari penyakit hati?
5. Bagaimana Cara Mengobati penyakit hati?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa itu penyakit hati.
2. Untuk mengetahui urgensi penyakit hati riya’, hasad, ujub, al-kidzb, dan al-bukhl.
3. Untuk mengtahui penyebab timbulnya penyakit hati.
4. Untuk mengetahui apa akibat dari penyakit hati
5. Untuk mengetahui cara penyakit hati.
D. Metode
Adapun metode yang kami lakukan dalam penyusunan ini dengan “studi pustaka” yakni mengambil dan menyusun berbagai sumber mengenai penyakit tersebut kemudian dikumpulkan dan kami susun secara sistematis.
BAB II PEMBAHASAN
A. Definsi Penyakit Hati
Penyakit hati adalah perasaan tidak enak yang muncul dalam hati manusia, sehingga menyebabkan hatinya menjadi tidak tenang gelisah dan was-was. Rasa ini muncul karena adanya sikap penolakan terhadap kehendak Allah. Jika dibiarkan tumbuh berkembang dalam diri kita, maka ia akan sulit dikendalikan.
Dr. Hamzah Ya’cub dalam bukunya “Tingkat dan Ketenangan Dan Kebahagiaan Mu’min” memberikan pengertian tentang penyakit rohani (hati) sebagai berikut:
1. Penyakit rohani ialah sifat buruk yang merusak dalam batin manusia yang mengganggu kebahagiaan.
2. Penyakit rohani ialah sikap mental yang buruk, merusak dan menrintangi pribadi memperoeh keridhoan Allah.
3. Penyakit rohani ialah sikap dan sifat yang tidak diridhoi Allah, sifat dan sikap mental yang cenderung mendorong pribadi melakukan perbuatan buruk dan merusak.
Imam Ghazali memberikan pengertian sebagai berikut: Budi pekerti yang keji adalah penyakit hati dan penyakit jiwa penyakit yang menghilangkan hidup abadi.
Dapat disimpulkan bahwa penyakit hati adalah sesuatu yang mempengaruhi hati seseorang yang ditimbulkan dari sifat dan sikap yang bertentangan dengan ketetapan Allah. Kemudian dapat menyebabkan seseorang untuk melakukan tindakan buruk dan merusak sehingga tidak mendapatkan ridho Allah.
B. Penyebab Timbulnya Penyakit Hati
Islam mengajarkan, bahwa manusia pada azalinya makhluk yang terbaik dan termulia. Kalau yang baik dan mulia itu kemudian berubah menjadi buruk tentu ada hal-hal yang menyebabkannya. Sebab segala sesuatu baru itu terjadi karena sebab-sebab tertentu.
Adapun hal-hal yang menyebabkan adanya penyakit hati itu menurut Drs. Syahminan Zaini sebagai berikut: Pertama, Nafsu. Dikatakan bahwa nafsu sebagai penyebab timbulnya penyakit rohani adalah karena nafsu itu menumbuhkan sifat dan sikap buruk dalam rohani manusia serta mendorong untuk berbuat jahat. Kedua, Syetan. Sebabnya syetan ini dinyatakan sebagai penyebab timbulnya penyakit rohani karen mendorong manusia kepada perbuatan jahat. Ketiga, Karena Tidak diberi makan. Keempat, Karena pengaruh lingkungan.
C. Penyakit Hati (Riya’, Hasad, Ujub, al-Kidzb, dan al-Bukhl)
1. Riya’
Riya’ secara bahasa berasal dari kata ru’yah yang berarti melihat. Sedangkan secara istilah riya’ berarti mencari kedudukan di hati manusia dengan memperlihatkan kepada mereka beberapa kebajikan . Kedudukan tersebut terkadang dicari dengan amalan ibadah, terkadang juga tidak berupa ibadah. Contoh riya’ dengan amalan ibadah adalah dengan memanjangkan ruku’ dan sujud di hadapan banyak orang agar mereka mengira bahwa ia adalah seorang zuhud. Sedangkan contoh riya’ dengan amalan selain ibadah adalah dengan memperlihatkan pakaian yang mencolok dan mewah dengan tujuan agar dikira sebagai orang yang kaya, atau dengan memakai jubah dan sorban agar dikira saleh dan ahli ilmu agama.
Menurut Al-Ghazali, sifat riya’ memiliki beberapa tingkatan :
• Suatu amal yang seluruh tujuannya adalah karena riya’.
• Suatu amal yang tujuan antara riya’ dan ibadahnya seimbang.
• Suatu amal yang tujuannya riya’ dan ibadah, dengan tujuan riya’ yang lebih besar .
Orang yang berperilaku riya’ memiliki beberapa ciri-ciri sebagaimana yang diterangkan dalam hadist sebagai berikut:
لِلْمُرَائِي ثَلَاثُ عَلَامَات يَكْسَـلُ إذَا كَانَ وَحْدَهُ، وَيَنْشَـطُ إذَا كَانَ فِي النَّاسِ، وَيَزِيدُ فِي الْعَمَلِ إذَا أُثْنِيَ عَلَيْهِ وَيَنْقُصُ إذَا ذُمّ
Artinya : “Orang riya’ memiliki tiga tanda-tanda: malas ketika sendirian, rajin saat di tengah banyak orang, serta amalnya meningkat kala dipuji dan menurun kala dicaci.”
Sifat riya’ merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya, bahkan riya’ oleh Rasulullah dikatakan sebagai syirik kecil. Hal ini dikarenakan sebuah amal yang telah dihinggapi riya’ seringkali mempertimbangkan penilaian orang lain, tidak lahir dari ketulusan hati lillahi ta’ala yang juga berarti telah menduakan Allah. Akibatnya fluktuasi amal kebaikan akan naik turun seiring dengan besar kecilnya pontesi keuntungan penilaian dari orang lain, padahal esensi dari ibadah adalah untuk mencari ridho Allah. Hal ini dijelaskan dalam sabda Nabi saw :
عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « الرِّيَاءُ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جُزِىَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِى الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً
Dari Mahmud bin Labid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya yang paling kukhawatirkan akan menimpa kalian adalah syirik ashgor.” Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik ashgor, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “(Syirik ashgor adalah) riya’. Allah Ta’ala berkata pada mereka yang berbuat riya’ pada hari kiamat ketika manusia mendapat balasan atas amalan mereka: ‘Pergilah kalian pada orang yang kalian tujukan perbuatan riya’ di dunia. Lalu lihatlah apakah kalian mendapatkan balasan dari mereka?”
Riya’ juga merupakan sifat yang dibenci oleh Allah, sehingga dikatakan bahwa orang yang riya’ termasuk dalam golongan orang yang mendustakan agama. Hal itu ditunjukkan dalam firmanNya :
أرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (١)فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (٢)وَلا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (٣)فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (٤)الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ (٥)الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (٦)وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (٧)
Artinya : 1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
2. Itulah orang yang menghardik anak yatim,
3. dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin.
4. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,
5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
6. orang-orang yang berbuat riya
7. dan enggan (menolong dengan) barang berguna
Cara menolak dan mengobati riya’ adalah dengan mengetahui bahwa sumbernya adalah cinta pangkat dan pujian, sedangkan Allah mengetahui rahasia yang ada dalam hati seseorang. Oleh karena itu, hendaklah selalu menyadari bahwa Allahlah yang paling berhak memiliki semua sifat baik dan pujian, kita bukanlah apa-apa, sehingga tidak pantaslah kita sebagai hambaNya mengharap pujian dari orang lain. Selain itu menghindari riya’ juga bisa dengan mendekatkan diri kepadaNya, dan memohon ampun serta perlindungan Allah dari sifat riya’, karena seringkali kita tidak sadar akan kehadirannya dalam hati kita. Ketika mendapat pujianpun, cukuplah kita berterimakasih sebagai bentuk penghargaan dan menjadikannya sebagai semangat untuk menjadi lebih baik lagi dan lebih bersyukur karena Allah telah menutup aib yang kita miliki.
2. Hasad
Secara bahasa hasad berasal dari kataحَسَدَ َيَحْسُدُ حَسَدًا yang berarti dengki, iri hati. Sedangkan secara istilah, hasad berarti perasaan tidak senang jika orang lain mendapatkan kenikmatan dan berharap kenikmatan itu akan hilang.
Terdapat perbedaan pengertian antara hasad dengan ghibthah/ighthibath. Ghibthah adalah perasaan menginginkan untuk meniru dan mendapatkan nikmat dari orang lain tanpa ada keinginan sedikitpun beralihnya nikmat itu kepada dirinya . Inilah yang dimaksud para ulama dalam hal diperbolehkannya iri hati kepada dua orang, yakni kepada orang yang diberi ilmu pengetahuan oleh Allah lalu mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain serta kepada orang yang dianugerahi harta, lalu harta itu dipergunakan untuk membela kebenaran.
Allah telah melarang untuk berlaku hasad terhadap kenikmatan yang dianugerahi Allah kepada orang lain dalam firmanNya :
وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Artinya : “Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
Artinya : “Ataukah mereka akan hasad kepada manusia lantaran karunia yang Allah Telah berikan kepadanya”
Sifat hasad sendiri timbul disebabkan karena adanya kebencian dan permusuhan yang kemudian berlanjut menjadi rasa sakit hati atas kenikmatan dan keutamaan yang diperoleh orang lain. .Seseorang yang hasad, meskipun ia rajin beramal shalih, tetapi pahala dari kebaikan yang dilakukan akan sia-sia karena sifat hasad tersebut, sebagaimana sabda Nabi saw :
إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ
Artinya : “Hati-hatilah kalian dari hasad, karena sesungguhnya hasad itu memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar”
Hal ini dikarenakan jika perasaan hasad telah hadir, maka tidak hanya dosa kepada Allah yang dia dapatkan , tetapi juga menimbulkan kebencian yang membuatnya memutuskan hubungan persaudaraan, saling bermusuhan, dan mencurigai tanpa adanya fakta. Hasad juga menyebabkan hati menjadi buta sehingga sulit untuk memahami hukum-hukum Allah dan tidak bisa membedakan mana yang baik dan buruk, sebagaimana kisah Qabil yang tega membunuh Habil karena iri hati dan menjadikannya dosa yang pertama kali terjadi di muka bumi. Berkaitan dengan hasad ini, Allah juga menyatakan dalam firmanNya bahwa sifat ini termasuk sifat orang yang tidak beriman dan memerintahkan kepada orang yang menjadi sasaran hasad untuk bersabar diri dan memaafkan mereka :
وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ ۖ فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya : “Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu pada kekafiran setelah kamu beriman karena dengki yang timbul dari mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenarannya.Maka maafkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu.”
Beberapa usaha untuk menghindari sifat hasad adalah dengan selalu berpikir positif (khusnudzon) kepada siapapun serta menerima dan bersyukur terhadap apa yang telah dianugerahkan Allah kepada kita sembari terus berusaha menjadi lebih baik lagi.
3. Ujub
Ujub atau berbangga diri muncul dengan membawa satu sifat kesempurnaan, seperti ilmu, harta, dan ibadah. Sifat ini tidak akan muncul dengan satu sifat yang hina. Seseorang tidak akan ujub dengan kebakhilan dan perangai buruk. Tetapi akan bisa muncul dengan kedermawanan dan perangai baik.
Ujub atau bangga diri adalah sebuah perilaku atau sifat mengagumi diri sendiri dan senantiasa membanggakan diri sendiri dan menganggap dirinya lebih atau paling mulia, paling agung serta menganggap orang lain hina. Sifat ujub merupakan sifat tercela dan harus dihindari oleh umat muslim karena sifat ini bisa menjadikan seseorang menjadi riya atau sombong. Menurut Imam Al Ghazali ujub adalah kecintaan seseorang akan suatu karunia yang ada pada dirinya dan merasa memilikinya sendiri serta tidak menyadari bahwa karunia tersebut adalah pemberian Allah SWT. orang yang memiliki sifat ujub tidak akan mengembalikan keutamaan yang dimiliki tersebut kepada Allah SWT. Sedangkan menurut Ibnul Mubarak perasaan ujub adalah ketika seseorang merasa bahwa dirinya mempunyai suatu kelebihan yand tidak dimiliki orang lain.
Bahaya Ujub
1. Terhapusnya Pahala
Rasulullah dalam sebuah hadits pernah menjelaskan bahwa seseorang yag merasa bangga dengan perbuatan baiknya dan menceritakannya pada orang lain maka pahala atas perbuatan baiknya tersebut akan dihapuskan. Sebaiknya tidak diceritakan kepada orang lain dan hanya ia serta Allah SWT saja yang mengetahui. dalam sabdanya yang artinya: “tiga hal yang membinasakan : Kekikiran yang diperturutkan, hawa nafsu yang diumbar dan kekaguman seseorang pada dirinya sendiri” (H.R Thabrani)
Orang yang melakukan ujub sesungguhnya ia telah nilai amal-amal shalehnya karena dia meyakini bahwa dirinya tealh sukses dalam melakukan amal shaleh. Ini merupakan sebuah kehancuran bagi diri sendiri.
2. Menjerumuskan Kepada Sikap Takabbur
Orang yang ujub menganggap besar amal amalnya dan berbangga diri dengan amal-amal tersebut dan melupakan bahwa Allah SWT yang telah memberinya nikmat dan taufik sehingga memungkinkannya melakukan amal-amal tersebut. Bahayanya lagi apabika seseorang gemar membangga-banggakan amalannya ataupun bangga terhadap dirinya dan merasa dirinya lebih hebat dari orang lain maka hal ini bisa menjerumuskan orang tersebut dalam perbuatan takabbur atau sombong. Celakanya orang yang memiliki sifat sombong tidak akan masuk surge sebaimana sabda Rasulullah bersabda yang artinya: Dari Ibn Mas’ud semoga Allah SWT meridhoinya berkata ; RAsulullah SAW bersabda ;“Tidak akan masuk surga seseorang yang didalam hatinya terdapat perasaan sombong meskipun hanya sebesar biji sawi. Lalu ada yang bertanya ; sesungguhnya seseorang itu sangat senang kepada baju dan sandal yang bagus? Maka beliau berkata ; sesungguhnya Allah Maha indah dan mencintai keindahan. Sombong itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (H.R Nasa’i)
3. Mendatangkan Murka Allah SWT
Allah SWT sangat membenci perilaku ujub oleh sebab itu sifat ujub bisa mendatangkan murka dan kemarahan Allah baik di dunia maupun di akhirat. Sebaimana hadits Rasulullah SAW ; “ Seseorang yang menyesali dosanya, maka ia menaati rahmat Allah. Sedang seseorang yang merasa ujub, maka ia menaati murka Allah” (H.R Baihaqi)
4. Menipu Diri Sendiri
Orang yang ujub tertipu oleh dirinya sendiri, merasa aman dari makar Allah dan siksa Allah SWT. dia mengira memiliki kedudukan dan derajat luhur di hadapan Allah. Ujub membawa pelakunya pada sikap memuju diri sendiri, menyanjung diri sendiri, dan mersa dirinya suci. Padahal Allah telah melarang sikap demikian dengan firman-Nya, …….maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang mengetahui orang yang bertakwa (Q.S.al-Najm (53): 32).
Sebab-Sebab Ujub
Pertama, ujub dengan fisiknya, baik terhadap ketampanan, kesehatan, keindahan rupa, maupun keindahan posturnya. Pelakunya lupa bahwa kesempurnaan fisik itu adalah nikmat dari Allah SWT.
Kedua, ujub dengan akal, kecerdasan, dan pemahamannya akan hal hal yang sulit dipahami dalam berbagai urusan keagamaan maupun duniawi. Akibatnya menjadi otoriter terhadap pendapatnya dan tidak mau bermusyawarah.
Ketiga,ujub dengan nasab. Mereka menganggap akan selamat sebab kemuliaan nasab yang dimilikinya dan karena pangkat kakek moyangnya, bahkan sampai mengira bahwa dirinya adalah orang yang pasti diampuni. Bahkan Rasulullah SAW tidak mengatakan bahwa manusia yang paling mulia itu adalah orang yang sampai nasabnya kepadaku, melainkan manusia yang paling mulia adalah orang yang paling banyak mengingat mati dan paling banyak persiapannya untuk mati.
Keempat, ujub dengan harta, banyaknya anak, kerabat, pembantu pembela, dan pengikut. Allah SWT menceritakan ujubnya kaum kafir yang berkata, “Kami memiliki banyak harta dan anak-anak (dari pada kamu) dan kami tidak akan diazab” (Q.S.Saba’ (34): 35). Bagaimana seseorang bisa ujub dengan itu semua, padahal mereka akan berpisah darinya saat saat ia mati dan dipendam didalam kuburnya tanpa ada satupun yang mau menemani kecuali amal sholeh yang diperbuatnya ketika hidup di dunia.
Terapi Ujub
Setiap penyakit tentunya memiliki penawarnya. Ujub merupakan suatu kebodohan yang nyata, maka penawarnya adalah dengan ilmu pengetahuan. Pengetahuan dan kesadaran bahwa semua yang diperoleh didunia ini berasal dari Allah SWT dan tidak ada kuasa sedikitpun bagi manusia dalam berbuat suatu amal sholeh atau kepemelikikan terhadap harta kekayaan, ilmu pengetahuan, keturunan kecuali atas karunia, rahmat dan pemberian Allah SWT.
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa sifat ujub ini sangat membahayakan bagi diri seorang mukmin karena ia menyebabkan seseorang menjadi lupa terhadap dosanya kepada Allah SWT. Dosa yang pernah diperbuat tidak perlu diingat-ingat karena dianggap sebagai masalah yang kecil bukan masalah yang besar. Ia membanggakan diri kepada Allah SWT dengan amal ibadah yang telah dikerjakannya, dengan kesempurnaan ilmu yang telah dimilikinya, dengan harta kekayaan yang telah digunakan di jalan Allah, dan lain sebagainya. Dengan demikian ia menyangka bahwa dirinya mendapat tempat di sisi Allah SWT, dan menyangka akan terbebas dari siksa akhirat padahal ia melupakan siapa yang telah memberikan hidayah untuk ibadah, memberi karunia ilmu, maka ia tidak akan mendapatkan pahala melainkan akan mendapat siksa yang pedih dari Allah SWT.
4. Al-Kidzb
Dusta adalah perkataan atau perbuatan yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Dusta juga merupakan pokok atau sumber dari segala perbuatan dosa, karena dusta mempunyai akibat yang sangat besar dan dapat menyebabkan terjadinya perbuatan jelek lainnya. Dusta menimbulkan cacat, baik dalam pandangan allah atau di mata sesama manusia.
Perbuata dusta cenderung dilakukan secara berulang-ulang. Jika seseorang telah berdusta satu kali, kemungkinan orang itu akan berdusta ratusan kali untuk menutupi perbuatan dusta yang pertama tadi. Dusta sangat tidak disukai oleh manusia karena dusta adalah perbuatan yang sangat menyakitkan.
Dalam riwayat lain juga di sebutkan, ﻭَﻣَﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﻓِﻰ ﻣُﺆْﻣِﻦٍ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺳْﻜَﻨَﻪُ ﺍﻟﻠﻪ ﺭَﺩْﻏَﺔَ ﺍﻟْﺨَﺒَﺎﻝِ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺨْﺮُﺝَ ﻣِﻤَّﺎ ﻗَﺎﻝَ : “Barang siapa yang mengucapkan pada seorang mukmin suatu perkara yang tidak ada pada dirinya, Allah ta’ala akan menetapkannya di kerak penduduk neraka sampai dia keluar apa-apa yang dia ucapkan (terhadap saudaranya).” (HR. Abu Dawud 3592 dishohihkan oleh Syaikh Muqbil di Shohih Al-Musnad no. 755).
Perbuatan dusta menyimpan banyak keburukan di dalamnya, dan menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti hilangnya rasa kepercayaan dari orang lain, terjerumus pada perbuatan negatif, hilangnya sifat keadilan dihadapan manusia dll. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi kita untuk memperhatikan bahaya dusta, supaya kita tidak terjerumus kedalamnya.
Perbuatan dusta ini dapat terjadi dalam berbagai macam hal, seperti : kesaksian palsu, mengingkari janji, kemunafiqan, dll. Namun, berdusta dibolehkan dalam agama Islam untuk tiga perbuatan, yaitu :
1. Berdusta ketika waktu peperangan dengan tujuan untuk mendamaikan.
2. Perkataan dusta suami kepada istrinya dengan tujuan untuk menjaga keharmonisan rumah tangga.
3. Perkataan istri pada suaminya dengan tujuan untuk menjaga keharmonisan rumah tangga.
Adapun salah satu cara untuk menghindari dusta adalah dengan melihat dan mengamati kedustaan yang dilakukan orang lain atau ketika kita sendiri yang sedang didustai, bagaimana tidak enaknya ketika kita didustai, bagaimana perasaan hati kita, pastilah kita akan jengkel dan kita akan mengecam orang yang mendustai kita itu sebagai orang yang berakhlak rendah, orang yang tidak mempunyai hati, dan atau bahkan kita selanjutnya akan membenci orang tersebut. Setelah itu, mari kita introspeksi diri kita, jangan sampai kita melakukan perbuatan dusta tersebut karena kita sendiri sudah tau bagaimana tidak enaknya perasaan hati kita ketika didustai.
4. Al-Bukhl
a. Definisi Bakhil
Dalam islam ada dua kata yang dipakai untuk pengertiankikir, yaitu : Asy-syuhhu dan al-bukhlu. Abdullah bin amr menyatakan : asy-syuhhu adalah lebih berat dari al-bukhlu. Karena orang yang asy-syuhhu adalah orang yang kikir di atas apa yang ada di tangan orang lain, sampai dapat diambilnya.
Sedangkan Lafadz bukhl tersusun dari kata ba’, kha, dan lam. Bakhil berasal dari kosakata bakhila atau bakhula- yabkhalu-bukhlan yang berarti memegang erat, menahan, dan disebut juga diddul sakhiun wa al-karimi (Kebalikan dari pemurah). Kata bakhil telah termasuk ke dalam bahasa Indonesia yang berarti kikir, lokek, da pelit.
Dalam memaknai kata bakhil banyak para ulama mengemukakan pendapatnya, diantaranya sebagai berikut:
1. Al-Asfahani mengemukakan bahwa bakhil adalah memegang sesuatu apa yang diperoleh tanpa menguranginya.
2. Muhammad Abduh berpendapat mengenai bakhil yaitu yang menahan hartanya atau membelanjakannya demi mengikuti dorongan syahwat nafsunya, bukan dijalan kebaikan.
Sedangkan pengertian bakhil menurut para mufassir antara lain : Tafsir Ibnu Katsir, bakhil atau kikir berarti mengingkari nikmat Allah dan tidak menampakkannya. Tidak ditampakkanya dalam makanan, pemberian, dan kedermawannanya. Dalam Tafsir Al-Azhar bahwa bakhil, yaitu tiak mau mengeluarkan harta benda untuk menolong orang yang patut ditolong, padahal dia mempunyai kesanggupan, tidak mau mempergunakan harta untuk berbuat amal jariah dan mendustakan adanya kebaikan.Tafsir Al-Misbah menjelaskan kata bukhl, yaitu keengganan memberi. Pelakunya dinamai bakhil, yaitu enggan memberi walau telah diajukan kepadanya permintaan yang menundang rasa iba, itulah dinamai bakhil.
Menurut hemat penulis dari semua yang telah disebutkan diatas bisa dikatakan bahwasannya bakhil merupakan suatu sifat atau perilaku seseorang manusia yang enggan memberikan bantuan materi ataupun non materi terhadap orang yang meminta kepadanya, sedang orang itu dalam keadaan membutuhkan bantuan tersebut.
b. Jenis-jenis Bakhil
Tanda sifat bakhil yang selalu melekat yaitu menyembunyikan kewajiban yang sepatutnya dilaksanakan. Sifat bakhil bukan hanya menyentuh pada masalah harta, melainkan pula merupakan warna kepribadian. Dalam al-Qur’an sifat bakhil diperoleh paling tidak dua kategori pokok :
1. Bakhil bersifat material seperti harta kekayaan
Khusus membicarakan kebakhilan material saja, terdapat pada surah Muhammad : 37, 38 ; al-Haadid : 24 ; dan al-Lail : 8. Diantar surah tersebut sebgaimana firman Allah swt :
إِنْ يَسْأَلْكُمُوهَا فَيُحْفِكُمْ تَبْخَلُوا وَيُخْرِجْ أَضْغَانَكُمْ )37( هَا أَنْتُمْ هَؤُلاءِ تُدْعَوْنَ لِتُنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَمِنْكُمْ مَنْ يَبْخَلُ وَمَنْ يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُم) 38(
Artinya :
2. Bakhil bersifat non material atau kepribadian
a. Bakhil memberi maaf
b. Bakhil ilmu pengetahuan
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّ كَثِيرًا مِّنَ الأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيم
c. Bakhil dalam menjawab shalawat nabi
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda :
اَلْبَخِيْلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
“Orang pelit itu adalah orang yang ketika disebut namaku ia enggan bershalawat” (HR. At Tirmidzi no.3546)
D. Akibat Penyakit Hati
Ada sebab tentu ada akibat, begitulah kiranya hukum kausalitas berbicara. Setelah diatas dipaparkan mengenai sebab-sebab yang menimbulkan adanya penyakit hati, belum lengkap rasanya jika belum juga dipaparkan akibatnya. Akibat disini tentulah akibat buruk karena penyakit mengakibatkan akibat buruk, adapun akibatnya menurut Dr. Hamzah Ya’cub sebagai Berikut:
1. Merongrong ketenangan.
2. Menjauhkan diri dari Tuhan.
3. Melumpuhkan daya kerja.
4. Merusak Jasmani.
5. Menimbulkan psiko-neurose dan psikose.
E. Cara Mengobati Penyakit Hati
Setiap penyakit walaupun kecil harus diobati. Sebab, seperti telah diketahui, setiap penyakit itu mempunyai akibat yang merusak.
Menurut kalangan ekstrimis dikatakan bahwa penyucian jiwa dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Penyucian Penyucian Jiwa dan Penyiksaan Diri.
2. Penyucian dan Zuhud.
3. Penyucian Diri dan Mengasingkan Diri (Uzlah).
4. Penyucian Jiwa dan Kerahiban.
Namun dari semua cara diatas dibantah semua oleh kalangan ulama, seperti al-Ghazali, Ibnu Qayyim, Ibnu Taymiyyah dan lainya. Cara seperti itu berlebihan dan bertentangan dengan syariat Islam.
Drs. Syahminan Zaini memberikan beberapa metode cara untuk mnegobati penyakit hati agar tidak sakit lagi, diantaranya sebagai berikut:
1. Penyadaran diri
Menurut Dr. S. Gazalba, sadar ialah mengerti dan menghayat. Mengerti terjadi setelah dipelajari dengan baik dan mendalam, sedangkan penghayatan terjadi setekah diamalkan dengan baik dan sungguh-sungguh. Karena itu penyadaran berarti memberikan pengertia yang baik dan mendalam tentang sesuatu, kemudian memberikan tuntunan pengamalannya agar dapat diamalkan dengan baik dan sungguh-sungguh, sehingga sesuatu itu itu disadari.
2. Waspada (Mawas Diri)
3. Tobat
4. Membetulkan Iman dan memperbanyak amal sholeh
5. Berdoa
6. Menghiasi diri dengan budi pekerti yang baik
7. Sabar
Sabar di sini diartikan dalam dua pengertian, yaitu :
a. Sabar menahan gejolak nafsu sehinga ia tidak tersalur kepada hal-hal yang buruk.
b. Tabah menahan segala macam musibah yang mengenai dirinya.
BAB III PENUTUPAN
A. Simpulan
1. Penyakit hati adalah perasaan tidak enak yang muncul dalam hati manusia, sehingga menyebabkan hatinya menjadi tidak tenang gelisah dan was-was. Rasa ini muncul karena adanya sikap penolakan terhadap kehendak Allah. Jika dibiarkan tumbuh berkembang dalam diri kita, maka ia akan sulit dikendalikan.
2. Hal yang menyebabkan timbulnya penyakit hati adalah: Setan, tidak diberi makan (dzikir, shalawat), pengaruh lingkungan.
3. Akibat dari penyakit hati adalah; merongrong ketenangan, menjauhkan diri dari Tuhan, melumpuhkan daya kerja, merusak Jasmani.
4. Dari pembahasan diatas, penyakit hati riya adalah mengerjakan sesuatu bukan karna ingin dilihat Allah tetapi ingin dilihat oleh manusia. Hasad adalah SMS (Senang melihat orang susah) atau (Susah melihat orang senang). Ujub adalah berbangga diri. Kidzb adalah berdusta, dalam hal ini berdusta atas segala hal. Bukhl adalah sikap seseorang yang enggan memberi kepada orang lain atau menyedekahkan sebagian hartanya atau dalam bahasa Indonesia biasa kita sebut orang pelit.
5. Sesunguhnya sangat beragam pendapat dalam pengobatan hati yang sakit, namun dari pembahasan ini adalah bahwa kita hendaknya mengobati hati yang sakit singkatnya dengan banyak berdzikir, berdoa dan berusaha untuk meninggalkan penyakit tersebut.
B. Saran
Dengan selesainya makalah ini, besar harapan kami kepada pembaca budiman, kiranya ada hal yang mengganjal atau terdapat pernyataan yang tidak sesuai. Kami sangat membuka lebar kritik dan saran dari pembaca sekalian.
Daftar Pustaka
Agama RI, Kementrian. 2011. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: Fokus Media
Al-Ghazali.2000.Mutiara Ihya’ Ulumuddin Ringkasan yang Ditulis Sendiri oleh Sang Hujjatul Islam. Diterjemahkan oleh: Irwan Kurniawan. Bandung : Mizan.
Al-Ghazali.1994.Bahaya Penyakit Hati. Diterjemahkan oleh: Ny.Kholila Marhijanto. Surabaya : Tiga Dua.
Al-Yamani, Syaikh Yahya ibn Hamzah. 2012. Pelatihan Lengkap Tazkiyatun Nafs. Jakarta Selatan: Serambi Ilmu Semesta
Amin Syukur.2003.Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern.Semarang : Suara Merdeka.
Barozi, Ahmad. 2008. Penyakit Hati dan Penyembuhannya. Yogyakarta: Darul Himah
Fatahajjadbih, Thoha. 2013. Skripsi. Bakhil Dalam Al-Qur’an. Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga
Hidayat, Nur. 2013. AKhlak Tasawuf. Yogyakarta: Ombak (Anggota IKAPI)
Karzon, Annas Ahmad. 2010. Tazkiyatunnafs. Jakarta Timur: Akbar Media
Mahali, A. Mudjab. 1984. Pembinaan Moral di Mata Al-Ghazali. Yogyakarta: BPFE
Syahminan, Zaini. 2000. Penyakit Rohani dan Pengobatannya. Surabaya: al-Ikhlas
Ziaul “Pelit Dalam Bershalawat” dalam https://muslim.or.id/6584-siapa-bilang-salafi-pelit-bershalawat.html diakses pada Minggu 19 November 2017 pukul 08.44
Komentar
Posting Komentar