Makalah Al-Kindi dan Filsafatnya




Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah  Filsafat Islam
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. H. Fauzan Naif, M.A.


Disusun oleh :
Haikal Fadhil Anam                            : 17105030003
Wildan Maulana Shiddiq                    : 17105030001
Mohammad Chaudi Al-Anshori         : 17105030008
                Muslih Rifai                                        : 17105030009
               Misbahul Wani                                    : 17105030011

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2018


KATA PENGANTAR

Maha suci Allah, pemilik kebesaran dan kemuliaan, Puji syukur kami haturkan kehadirat-Nya, karena berkat rahmat serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tepat pada waktunya. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita baginda Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam. Sang revolusioner sejati, pembawa dan penuntun kalam ilahi.
Sebelumnya, kami ucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang turut mendukung atas terselesaikan nya makalah ini. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin dalam menyusun makalah ini. Meskipun kami menyadari bahwa masih  banyak kekurangan di dalamnya, baik dari segi penulisan atau isi. Oleh karena itu, kami membuka lebar  saran dan kritik dari pembaca yang budiman, agar kedepannya makalah ini dapat menjadi lebih baik.
Besar harapan kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan  menambah pengetahuan serta  pengalaman bagi pembacanya.

Yogyakarta, 28 September  2018

Penyusun




 







DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 3
A.    Latar Belakang................................................................................... 3
B.     Rumusan Masalah............................................................................... 3
C.     Tujuan Penulisan................................................................................. 3
D.    Metode .............................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................. 5
A.    Riwayat Hidup al-Kindi..................................................................... 5
B.     Pokok Filsafat al-Kindi.................................................................... 14
BAB III PENUTUPAN............................................................................... 30
A.    Simpulan........................................................................................... 30
B.      Saran................................................................................................ 30
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 31




BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Diawali dengan perdebatan para filusuf Yunani, filsafat mulai muncul ke permukaan. Dunia memandang itu sebagai sebuah kemajuan peradaban. Tak heran jika filsafat kemudian muncul di dunia Islam. Sebagai sebuah pemerintahan yang memiliki kekuasaan yang cukup besar, pemnerintahan Islam di bawah dinasti Abassiyah mulai melirik keilmuan tersebut.
Berawal dari sebuah ide untuk menerjemahkan karya-karya orang-orang Yunani, yang pada masa tersebut pusatnya peradaban keilmuan, maka khalifah dinasti Abasiyah membuat sebuah ruangan untuk pengkajian keilmuan yang disebut dengan Baitul Hikmah. Setelah terbentuknya baitul Hikmah, khalifah menginstruksikan untuk menerjemahkan karya-karya Yunani.
Ketua dari bidang penerjemahan tersebut adalah al-Kindi. Ia diamanahi untuk menerjemahkan ilmu-ilmu Yunani mulai dari filsafat, matematika dan lain sebagainya. Tak ayal memamng jika pada masa dinasti Abasiyah khususnya pada pemerintahan Khalifah al-Makmun sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, hal ini tak lain karena madzhab pada masa itu adalah muktazilah, yang sangat menjunjung tinggi rasionalitas.
Al-Kindi yang pada masa itu terkenal sebagai bangsawan yang cerdas dan mumpuni dalam berbagai keilmuan pun bergelut dala penerjemahan karya-karya Yunani. Akhirnya, lama menerjemahkan berbagai karya Yunani, kemudian ia pun terpengaruh oleh filsafat sehingga ia pun berfilsafat.
Ia mulai dikenal dengan filsafat Islam pertama. Hal ini tak lain dengan lahirnya karya-nya yaitu al-Falsafah al-Ula. Oleh karenanya, makalah ini berusaha untuk menampilkan sosok al-Kindi mulai dari riwayat hidupnya sampai pokok-pokok kefilsafatannya dengan metode deskriftip-analitis.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka rumusan masalah yang diperoleh, antara lain sebagai berikut:
1.       Bagaimana Riwayat kehidupan al-Kindi?
2.      Apa saja pokok-pokok filsafat al-Kindi serta penjabarannya?

C.    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui Riwayat kehidupan al-Kindi.
2.      Untuk mengetahui pokok-pokok filsafat al-Kindi.

D.    Metode

Adapun metode yang kami lakukan dalam penyusunan ini dengan “studi pustaka” yakni mengambil dan menyusun berbagai sumber mengenai materi tersebut, kemudian dikumpulkan dan kami susun secara sistematis.



BAB II

PEMBAHASAN

A.    Riwayat Hidup Al-Kindi

1.    Biografi Al-Kindi
Al-Kindi salah seorang pemikir brilian Islam. Nama lengkapnya Abu Yusuf Ya’cub bin Ishak Al-Kindi. Ia diberikan julukan filosof arab, karena dialah salah satunya filosof-filosof keenam yang asli berkebangsaan arab. Kindah, pada siapa nama Al-Kindi dinisbatkan, adalah suatu kabilah terkemuka pra-islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang berada di Yaman. Kabilah inilah yang melahirkan seorang tokoh sastrawan yang terbesar kesusastraan Arabnya.[1]
Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H (801 M) dari keluarga kaya dan terhormat. Kakek buyutnya, Al-Asy’as Ibnu Qais, adalah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw. Beliau gugur sebagai syuhada’ bersama Sa’ad Ibnu Abi Waqqas dalam peperangan antara kaum Muslimin dengan Persia di Iraq.[2]
Al-Kindi mendapat kedudukan yang tinggi dari al-Ma’mun al-Mu’tasim dan anaknya, yaitu Ahmad, bahkan menjadi gurunya. Karena ia berkecimpung dalam filsafat, maka ia mendapat tantangan yang sengit dari seorang ahli hadis yaitu Abu Ja’far bin Muhammad al-Balakhy.[3]
Sedikit sekali informasi yang kita peroleh tentang pendidikannya. Ia pindah dari Kufah ke Basrah, sebuah pusat studi bahasa dan teologi islam. Kemudian selagi masih muda, ia menetap di Baghdad, yang juga sebagai jantung kehidupan intelektual pada masa itu. Ia sangat tekun mempelajari pelbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu, tidak heran ia dapat menguasai ilmu seperti astronomi, ilmu ukur, ilmu alam, astrologi, ilmu pasti, seni musik, kedokteran, filsafat, matematika, dan politik.
Penguasaannya terhadap filsafat dan disiplin ilmu lainnya telah menempatkan ia menjadi orang pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajaran para filosof terkemuka. Karena itulah beliau pantas dinilai menyandang gelar failasuf al-‘Arab (filosof  berkebangsaan Arab).
2.    Riwayat Hidup dan Karya-Karya Al-Kindi
Sedikit sekali informasi yang kita peroleh tentang pendidikannya. Ia pindah dari Kufah ke Basrah, sebuah pusat studi bahasa dan teologi islam. Kemudian selagi masih muda, ia menetap di Baghdad, yang juga sebagai jantung kehidupan intelektual pada masa itu. Ia sangat tekun mempelajari pelbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu, tidak heran ia dapat menguasai ilmu seperti astronomi, ilmu ukur, ilmu alam, astrologi, ilmu pasti, seni musik, kedokteran, filsafat, matematika, dan politik.
Penguasaannya terhadap filsafat dan disiplin ilmu lainnya telah menempatkan ia menjadi orang pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajaran para filosof terkemuka. Karena itulah beliau pantas dinilai menyandang gelar failasuf al-‘Arab (filosof  berkebangsaan Arab).[4]
Berjalan seiring waktu, pemikiran Al-Kindi semakin berkembang. Kemudian ia menerjemahkan buku-buku filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Mengenai jumlah karangannya, sulit di tentukan secara pasti karena beberapa hal:
a.         Para penulis biografinya tidak sepakat menuturkan jumlah karangannya.
b.      Sebagian karangan-karangannya telah musnah dan banyak yang hilang.
c.       Karangan-karangannya yang sampai kepada kita banyak memuat karangan-karangan orang lain.
d.      Karangan-karangannya sebagian besar berbentuk risalah, sehingga mudah hilang.

Karena karangannya banyak yang hilang, maka agak sukar untuk memberikan penilaian yang tepat terhadap buah pikirannya. Namun demikian, dengan tidak mengurangi penghargaan terhadap dirinya sebagai seorang filosof Islam yang pertama kali secara terang-terangan memperkenalkan filsafat Yunani secara langsung kepada Dunia Islam.[5]
Untuk lebih jelasnya di bawah ini dikemukakan beberapa karya Al-Kindi, sebagai berikut:
a.       Fi al-falsafat al-‘Ula
b.      Kitab al-Hassi ‘ala Ta’allum al-Falsafat
c.       Risalat ila al-Ma’mun fi al-‘illat wa Ma’lul
d.      Risalat fi Ta’lif al-A’dad
e.       Kitab al-falsafat al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyyat wa al-Mu’tashah wa ma fauqa al-Thabi’iyyin
f.       Kammiyat kutub Aristoteles
g.      Fi al-Nafs[6]

B.     Pokok-pokok Filsafat al-Kindi

1.       Filsafat Ketuhanan
Salah satu karya al-Kindi yang berbicara tentang ketuhanan adalah Fi al-Falsafat al-Ula dan Fi Wahdaniyyat Allah wa Tanahi Jirm al-Alam. Dalam tulisan tersebut dapat dilihat bahwa pandangan al-Kindi tentang ketuhanan sesuai dengan ajaran Islam dan bertentangan dengan pandangan Aristoteles, Plato, dan Plotinus. Menurutnya, Allah adalah wujud yang sebenarnya, bukan berasal dari tiada kemudian menjadi ada. Ia mustahil untuk tidak ada, Ia selalu ada dan akan ada selamanya. Allah adalah wujud yang sempurna yang awal dan tidak didahului wujud yang lain. Allah adalah yang maha Esa yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak mungkin ada zat lain yang menyamai-Nya.[7]
Allah bagi al-Kindi adalah pencipta dan bukan penggerak pertama sebagaimana dikatakan Aristoteles. Karena itu dalam hal ini, pendapatnya lebih dekat dengan filsafat Plotinus yang mengatakan bahwa Tuhan Maha Satu adalah sumber dari alam ini dan sumber dari segala yang ada.[8] Allah tidak mempunyai hakikat dalam arti aniah dan mahiah. Allah tidak aniah karena Allah bukan benda yang mempunyai fisik. Allah juga tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiah karena Allah bukan merupakan genus dan species. Bagi al-Kindi Alah itu unik. Ia hanya satu dan tidak ada yang setara dengan-Nya. Dialah Yang Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan dan Yang Benar Yang Tunggal (al-Haqq al-Wahhid). Selain daripada-Nya mengandung arti banyak.[9]
Allah dalam pandangan al-Kindi hanya bisa digambarkan dengan penegasian dalam artian disematkan dengan kata-kata negatif. Misalnya Allah tidak sama dengan ciptaan-Nya, Allah tidak berbentu, Allah tidak berbilang, Allah tidak berhubungan, Allah tidak berbagi, dan tidak-tidak yang lainnya. Dalam kaitan ini, peniadaan sifat Allah bagi Mu’tazilah salah satu teolog yang biasa dicap dengan rasionalitasnya mengatakan bahwa Allah berarti memiliki hakikat. Lain dengan al-Kindi yang justru menyebut bahwa Allah tidak memiliki hakikat. Al-Kindi sangat menegaskan dan menekankan ketidaksamaan-Nya dengan ciptaan-Nya.[10]
Dalam hal pembuktian bahwa Allah itu ada, al-Kindi menawarkan tiga argumennya, sebagai berikut:
1.      Barunya Alam.
2.      Keanekaragaman Wujud’
3.      Kerapian Alam
Adapun argumen barunya alam, Al-Kindi mengemukakan bahwa tidak mungkin alam ini mempunyai permulaan waktu dan setiap yang mempunyai permulaan akan berkesudahan (mutanahi). Setiap benda ada yang menyebebabkan wujudnya dan mustahil benda itu sendiri yang menjadi sebabnya. Dengan demikian bahwa alam semesta baru dan diciptakan dari tiada oleh yang menciptakannya, yakni Allah.
Kemudian argumen yang kedua, keanekaragaman dalam wujud, Al-Kindi berargumen bahwa tidak mungkin ada keanekaragaman terjadi dengan sendirinya atau secara kebetulan, tetapi ada yang menyebabkan atau merancangnya. Sebagai penyebabnya mustahil alam itu sendiri dan jika alam yang menjadi sebab (Illat’)-nya akan terjadi tasalsul (rangkaian) yang tidak akan habis-habisnya. Dengan demikian bahwa yang menjadi penyebab harus berada diluar alam itu sendiri, yakni Zat Yang Maha Baik, Maha Mulia, yang mendahului adanya alam, yang disebut Allah Swt.
Al-Kindi menyebutkan bahwa ada dua sebab atau ‘illat: Pertama, sebab yang sebenarnya dan aksinya adalah ciptaan dari ketiadaan (ibda’) adalah Allah Yang Maha Esa, Pencipta Tunggal alam semesta. Kedua, sebab yang tidak sebenarnya, sebab yang menyebabkan sebab-sebab itu sendiri. Sebab ini jelas membutuhkan yang lain tanpa berkesudahan. Ia bukanlah bukanlah sebab yang menciptakan alam ini.
Adapun argumen yang ketiga, kerapian alam. Al-Kindi menegaskan bahwa alam empiris ini tidak mungkin dan terkendali begitu saja tanpa ada yang mengatur dan mengendalikannya. Pengatur dan pengendalinya tetntu yang berada diluar alam dan tidak sama dengan alam. Zat itu tidak terlihat, tetapi dapat diketahui dengan melihat fenomena atau tanda-tanda yang terdapat di alam. Zat itulah yang disebut Allah.
Demikianlah bahwa sekalipun Al-Kindi bergelut dalam dunia filsafat Yunani, ia tidak begitu saja menerima ide-ide yang ada didalamnya tetapi ia menyesuaikan dengan ajaran Islam sehingga nuansa keislaman tetap terjaga.[11]
2.      Filsafat Alam
Teori penciptaan alam semesta ini mempunyai sejarah yang panjang. Menurut filosof Yunani keseluruhan seperti Plato, Aristoteles, sampai Plotinus berpendapat bahwa alam semesta diciptakan dari sesuatu yang ada, sebab menurut mereka menciptakan adalah membuat sesuatu yang baru dari apa yang sebelumnya sudah ada (creation ex materia), baik melalui gerakan maupun emanasi. Jadi, menurut filosof Yunani, Tuhan bukan sebagai pencinta dalam arti sebenarnya (dari tiada menjadi ada) melainkan hanya sebagai penggerak dari alam potensialitas menjadi alam aktualitas. Maka, menurut mereka alam adalah qadim, abadi, dan tidak terbatas karena hasil dari gerak Tuhan yang bersifat qadim. Inilah yang bertentangan dengan dengan teori penciptaan oleh para filosof Muslim. Al-Kindi menolak teori para filosof Yunani tersebut dan mengemukakan gagasan bahwa alam semesta ini diciptakan dari yang tiada sebelumnya (creation ex nihilo), sebagaimana diyakini dalam teologi Islam.[12] Namun, al-Kindi menjelaskannya bukan dengan teologi melainkan filosofis,  dan itu didasarkan pada teori Aristoteles, berikut adalah teori dasar Aristoteles yang digunakan oleh al-Kindi:
1.                  Sesuatu yang tidak terbatas tidak dapat berubah menjadi terbatas yang berwujud dalam bentuk aktual.
2.                  Materi, waktu, dan gerak muncul secara serentak.
Dua prinsip ini kemudian dikembangkan oleh al-Kindi menjadi 9 pernyataan:
1.                  Dua besaran yang sama, jika salah satunya tidak lebih besar dari yang lainnya, berarti adalah sama.
2.                  Jika satu besaran ditambahkan pada salah satu dari dua besaran yang sama tersebut, keduanya menjadi tidak sama.
3.                  Jika sebuah besaran dikurangi, sisanya adalah lebih kecil dari besaran semula.
4.                  Jika suatu besaran diambil sebagiannya, kemudian sebagiannya lagi, hasil besarannya adalah sama seperti sebelumnya.
5.                  Besaran yang terbatas tidak dapat berubah menjadi tidak terbatas, begitu juga sebaliknya.
6.                  Jumlah dua besaran yang sama, jika masing-masing bersifat terbatas adalah terbatas.
7.                  Besaran alam aktualitas adalah sama dengan besaran alam potensialitas.
8.                  Dua besaran yang tidak terbatas tidak mungkin salah satunya menjadi lebih kecil daripada lainnya.
9.                  Apa yang dimaksud dengan lebih besar adalah dalam hubungannya dengan bagian yang lebih kecil, dan yang disebut dengan sebagai lebih kecil adalah dalam hubungannya dengan lebih besar.
Dengan argumennya ini, al-Kindi mengkaji ulang prinsip kadimnya alam yang dikemukakan oleh Aristoteles. Jika alam ini terbatas, lalu diambil sebagian, kemudian jika yang tinggal terbatas jika ditambahkan lagi dengan bagian yang terpisahkan, maka hasilnya tentu terbatas pula dan inilah yang benar, tapi hukum ini bertentangan dengan pernyataan sebelumnya bahwa alam ini sebelum diambil sebagiannya, tidak terbatas. Maka hasil penjumlahan ini menjadi terbatas dan tidak terbatas, dan ini menghasilkan kontradiksi yang tidak dapat diterima. Sekiranya yang tinggal setelah diambil juga tidak terbatas, maka berarti benda sama besar dengan bagiannya. Akan tetapi setelah penjumlahan keduanya menghasilkan lebih besar daripada yang sebelumnya, berarti yang tidak terbatas lebih besar daripada yang tidak terbatas, maka hal ini merupakan kesimpulan yang tidak dapat diterima.[13]
Berdasarkan kontradiksi-kontradiksi tersebut, maka al-Kindi berpendapat bahwa alam semesta ini bersifat terbatas, tidak abadi, dan tidak qadim, maka alam semesta ini diciptakan dari yang tiada (creation ex nihilo).
Kemudian al-Kindi mempunyai konsep sendiri yang tidak sama dengan Aristoteles yang mengatakan bahwa alam semesta ini terbatas dalam ruang namun tidak terbatas dalam waktu dan gerak. al-Kindi juga tidak sesuai dengan pendapat Plato yang mengatakan bahwa alam semesta ini terbatas dalam waktu namun tidak terbatas dalam materi (ruang).  Karena, menurut al-Kindi, ruang, waktu, dan gerak sama-sama terbatas dan diciptakan. Kemudian menurut Plato dan al-Kindi, waktu muncul seiring dengan gerak dan perubahan, ketika ada gerak dan perubahan, maka di situ ada waktu, begitu juga sebaliknya. [14]
Atas dasar ini al-Kindi berkesimpulan bahwa alam semesta ini bersifat terbatas dan menolak pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa alam semesta ini bersifat qadim. Meskipun beberapa filosof Muslim yang datang setelahnya mengatakan bahwa alam semesta ini qadim, tapi telah dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah SWT, namun tidak dijelaskan bahwa alam semesta diciptakan dari sesuatu yang ada atau dari yang tiada.[15]
3. Filsafat Jiwa
Al-Kindi merupakan filsuf Muslim pertama yang membahas hakikat roh atau jiwa secara terperinci. Pandangan Al-Kindi tentang jiwa sama dengan pandangan Rene Descartes, bahwasannya  jiwa mempunyai esensi dan eksistensi yang terpisah dengan tubuh dan tidak tergantung satu sama lainnya. Jiwa bersifat rohani dan Ilahy, Sedangkan tubuh mempunyai hawa nafsu dan amarah. Menurut al-Kindi jiwa merupakan jauhar basith (subtansi yang tunggal), yang mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia.
Al-Kindi membagi jiwa ke dalam tiga bagian :
1.      Daya bernafsu (al-quwwah asy-syahwaniyah) yang terdapat di perut.
2.      Daya pemarah (al-quwwah al-gadabiyah) yang terdapat di dada.
3.      Daya berfikir (al-quwwah al-natiqah) yang berpusat di kepala.
Diantara tiga daya tersebut, daya yang terpenting adalah daya berfikir, karena daya itulah yang mengangkat eksistensi manusia kederajat yang lebih tinggi.[16]
Selanjutnya, Al-Kindi membagi akal pada empat macam, satu berada di luar jiwa manusia dan yang tiga lagi berada di dalamnya, sebagai berikut :
1.      Akal yang selamanya dalam aktualitas. Akal pertama ini  berada di luar jiwa manusia, bersifat Ilahi, yang menyinari akal manusia.
2.      Akal bersifat potensial, maksudnya adalah akal murni yang ada dalam diri manusia yang masih berupa potensi dan belum menerima bentuk-bentuk indrawi dan akali. Berupa potensi akal yang dapat menangkap arti-arti murni.
3.      Akal yang bersifat perolehan. maksudnya adalah akal yang telah keluar dari potensialitas ke dalam aktualitas, dan mulai memperlihatkan pemikiran abstraksinya.
4.      Akal Nyata, kenyataan tercapainya sebuah pengetahuan.
Selanjutnya, menurut Al-Kindi jiwa itu kekal dan tidak hancur bersama hancurnya badan, karena subtansinya adalah subtansi tuhan. Ketika jiwa berada dalam badan, Ia tidak mendapatkan kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna. Baru ketika jiwa berpisah dengan badan, Ia akan memperoleh kesenangan yang sebenarnya dalam bentuk pengetahuan yang sempurna. Setelah berpisah dengan badan jiwa akan menuju alam kebenaran atau alam akal di dalam lingkungan cahaya tuhan. Tempat inilah kebahagiaan abadi yang akan dirasakan oleh jiwa yang suci. Sedangkan jiwa yang tidak suci, setelah berpisah dengan badan Ia tidak akan langsung masuk ke alam kekal, tetapi Ia akan mengembara dalam jangka waktu tertentu untuk membersihkan diri.[17]


BAB III

PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.     Saran
Tentunya hasil dari penusunan makalah ini tidaklah sempurna, maka dari itu kami mengizinkan pembaca untuk memberikian kritikannya agar ke depannya bisa lebih baik lagi.





DAFTAR PUSTAKA


Awaludin, Zulfian.  “Al-Kindi dan Filsafat Ketuhanan” dalam https://www.qureta.com/post/al-kindi-dan-filsafat-ketuhanan, diakses pada 22 September 2018
Hanafi, Ahmad. 1976. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hasbi, Muhammad. 2010. Pemikiran Emanasi Dalam Filsafat Islam dan Hubungannya Dengan Sains Modern,  dalam Jurnal Al-Fikr, Volume 14 Nomer 3
Khalik, Abu Thalib. 2016. Pemikiran Filsuf Muslim dari Masa ke Masa,. Yogyakarta: Ladang Kata.
Khudori, A. Sholeh. 2013 Filsafat Islam dari Klasik hingga Kontemporer.Yogyakarta: Ar Aruzz Media.
Nasution, Harun. 1978. Filsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Tiam, Sunardji Dahri. Historiografi Filsafat Islam. Malang: Intrans Publishing.
Zar, Sirajuddin. 2007. Filsafat Islam: Filosof & Filsafatnya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.



[1]  Sunardji Dahri Tiam, Historiografi Filsafat Islam, (Malang: Intrans Publishing, 2015), hal. 95.
[2]  Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof & Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 37-38.
[3]  A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal. 107.
[4]  Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof & Filsafatnya., hal. 38
[5]  Sunardji Dahri Tiam, Historiografi Filsafat Islam., hal. 96
[6]  Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof & Filsafatnya., hal. 43
[7] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya., hlm. 50
[8] Muhammad Hasbi, Pemikiran Emanasi Dalam Filsafat Islam dan Hubungannya Dengan Sains Modern,  dalam Jurnal Al-Fikr, Volume 14 Nomer 3 Tahun 2010, hlm. 367
[9] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya., hlm. 51
[10] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya., hlm. 52
[11] Zulfian Awaludin, Al-Kindi dan Filsafat Ketuhanan, dalam https://www.qureta.com/post/al-kindi-dan-filsafat-ketuhanan, diakses pada 22 September 2018
[12] A. Sholeh Khudori. Filsafat Islam dari Klasik hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Ar Aruzz Media, 2013). hlm 79.
[13]  Sirajuddin Zar. Filsafat Islam:  Filosof dan Filsafatnya., hlm 56-57.
[14] A. Sholeh Khudori. Filsafat Islam dari Klasik hingga Kontemporer. hlm 81-82.
[15]  Sirajuddin Zar. Filsafat Islam:  Filosof dan Filsafatnya., hlm 58.
[16] Abu Thalib Khalik, Pemikiran Filsuf Muslim dari Masa ke Masa, (Yogyakarta: Ladang Kata, 2016)., hal. 23-24.
[17] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1978)., hal. 19-20

Komentar