Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Filsafat
Islam
Dosen Pengampu :
Prof.
Dr. H. Fauzan Naif, M.A.
Disusun oleh :
Haikal
Fadhil Anam :
17105030003
Wildan
Maulana Shiddiq :
17105030001
Mohammad Chaudi Al-Anshori : 17105030008
Muslih
Rifai :
17105030009
Misbahul
Wani :
17105030011
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN
TAFSIR
FAKULTAS
USHULUDDIN
DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2018
KATA PENGANTAR
Maha suci Allah, pemilik kebesaran dan kemuliaan, Puji syukur kami
haturkan kehadirat-Nya, karena berkat rahmat serta hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tepat pada waktunya. Sholawat serta salam senantiasa
tercurahkan kepada junjungan kita baginda Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam. Sang revolusioner sejati, pembawa dan penuntun kalam ilahi.
Sebelumnya, kami ucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang
turut mendukung atas terselesaikan nya makalah ini. Kami sudah berusaha
semaksimal mungkin dalam menyusun makalah ini. Meskipun kami menyadari bahwa
masih banyak kekurangan di dalamnya,
baik dari segi penulisan atau isi. Oleh karena itu, kami membuka lebar saran dan kritik dari pembaca yang budiman,
agar kedepannya makalah ini dapat menjadi lebih baik.
Besar harapan kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan serta pengalaman bagi pembacanya.
Yogyakarta, 28
September 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 3
A.
Latar Belakang................................................................................... 3
B.
Rumusan Masalah............................................................................... 3
C.
Tujuan Penulisan................................................................................. 3
D.
Metode .............................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................. 5
A.
Riwayat Hidup al-Kindi..................................................................... 5
B.
Pokok Filsafat al-Kindi.................................................................... 14
BAB III PENUTUPAN............................................................................... 30
A.
Simpulan........................................................................................... 30
B.
Saran................................................................................................ 30
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 31
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diawali dengan perdebatan para filusuf Yunani, filsafat mulai
muncul ke permukaan. Dunia memandang itu sebagai sebuah kemajuan peradaban. Tak
heran jika filsafat kemudian muncul di dunia Islam. Sebagai sebuah pemerintahan
yang memiliki kekuasaan yang cukup besar, pemnerintahan Islam di bawah dinasti
Abassiyah mulai melirik keilmuan tersebut.
Berawal dari sebuah ide untuk menerjemahkan karya-karya orang-orang
Yunani, yang pada masa tersebut pusatnya peradaban keilmuan, maka khalifah
dinasti Abasiyah membuat sebuah ruangan untuk pengkajian keilmuan yang disebut
dengan Baitul Hikmah. Setelah terbentuknya baitul Hikmah, khalifah
menginstruksikan untuk menerjemahkan karya-karya Yunani.
Ketua dari bidang penerjemahan tersebut adalah al-Kindi. Ia
diamanahi untuk menerjemahkan ilmu-ilmu Yunani mulai dari filsafat, matematika
dan lain sebagainya. Tak ayal memamng jika pada masa dinasti Abasiyah khususnya
pada pemerintahan Khalifah al-Makmun sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan,
hal ini tak lain karena madzhab pada masa itu adalah muktazilah, yang sangat
menjunjung tinggi rasionalitas.
Al-Kindi yang pada masa itu terkenal sebagai bangsawan yang cerdas
dan mumpuni dalam berbagai keilmuan pun bergelut dala penerjemahan karya-karya
Yunani. Akhirnya, lama menerjemahkan berbagai karya Yunani, kemudian ia pun
terpengaruh oleh filsafat sehingga ia pun berfilsafat.
Ia mulai dikenal dengan filsafat Islam pertama. Hal ini tak lain
dengan lahirnya karya-nya yaitu al-Falsafah al-Ula. Oleh karenanya,
makalah ini berusaha untuk menampilkan sosok al-Kindi mulai dari riwayat
hidupnya sampai pokok-pokok kefilsafatannya dengan metode deskriftip-analitis.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka rumusan masalah
yang diperoleh, antara lain sebagai berikut:
1. Bagaimana Riwayat kehidupan al-Kindi?
2. Apa saja pokok-pokok filsafat al-Kindi serta
penjabarannya?
C. Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui Riwayat kehidupan al-Kindi.
2. Untuk mengetahui pokok-pokok filsafat
al-Kindi.
D. Metode
Adapun metode yang kami lakukan dalam penyusunan ini dengan “studi
pustaka” yakni mengambil dan menyusun berbagai sumber mengenai materi
tersebut, kemudian dikumpulkan dan kami susun
secara sistematis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat
Hidup Al-Kindi
1.
Biografi Al-Kindi
Al-Kindi salah seorang pemikir brilian Islam. Nama lengkapnya Abu
Yusuf Ya’cub bin Ishak Al-Kindi. Ia diberikan julukan filosof arab, karena
dialah salah satunya filosof-filosof keenam yang asli berkebangsaan arab.
Kindah, pada siapa nama Al-Kindi dinisbatkan, adalah suatu kabilah terkemuka
pra-islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang berada di Yaman. Kabilah
inilah yang melahirkan seorang tokoh sastrawan yang terbesar kesusastraan
Arabnya.[1]
Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H (801 M) dari
keluarga kaya dan terhormat. Kakek buyutnya, Al-Asy’as Ibnu Qais, adalah
seorang sahabat Nabi Muhammad Saw. Beliau gugur sebagai syuhada’ bersama
Sa’ad Ibnu Abi Waqqas dalam peperangan antara kaum Muslimin dengan Persia di
Iraq.[2]
Al-Kindi mendapat kedudukan yang tinggi dari al-Ma’mun al-Mu’tasim
dan anaknya, yaitu Ahmad, bahkan menjadi gurunya. Karena ia berkecimpung dalam
filsafat, maka ia mendapat tantangan yang sengit dari seorang ahli hadis yaitu Abu
Ja’far bin Muhammad al-Balakhy.[3]
Sedikit sekali informasi yang kita peroleh tentang pendidikannya.
Ia pindah dari Kufah ke Basrah, sebuah pusat studi bahasa dan teologi islam.
Kemudian selagi masih muda, ia menetap di Baghdad, yang juga sebagai jantung
kehidupan intelektual pada masa itu. Ia sangat tekun mempelajari pelbagai
disiplin ilmu. Oleh karena itu, tidak heran ia dapat menguasai ilmu seperti
astronomi, ilmu ukur, ilmu alam, astrologi, ilmu pasti, seni musik, kedokteran,
filsafat, matematika, dan politik.
Penguasaannya terhadap filsafat dan disiplin ilmu lainnya telah
menempatkan ia menjadi orang pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajaran para
filosof terkemuka. Karena itulah beliau pantas dinilai menyandang gelar failasuf
al-‘Arab (filosof berkebangsaan
Arab).
2.
Riwayat Hidup dan Karya-Karya Al-Kindi
Sedikit sekali informasi yang kita peroleh tentang pendidikannya.
Ia pindah dari Kufah ke Basrah, sebuah pusat studi bahasa dan teologi islam.
Kemudian selagi masih muda, ia menetap di Baghdad, yang juga sebagai jantung
kehidupan intelektual pada masa itu. Ia sangat tekun mempelajari pelbagai
disiplin ilmu. Oleh karena itu, tidak heran ia dapat menguasai ilmu seperti
astronomi, ilmu ukur, ilmu alam, astrologi, ilmu pasti, seni musik, kedokteran,
filsafat, matematika, dan politik.
Penguasaannya terhadap filsafat dan disiplin ilmu lainnya telah
menempatkan ia menjadi orang pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajaran para
filosof terkemuka. Karena itulah beliau pantas dinilai menyandang gelar failasuf
al-‘Arab (filosof berkebangsaan
Arab).[4]
Berjalan seiring waktu, pemikiran Al-Kindi semakin berkembang.
Kemudian ia menerjemahkan buku-buku filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Mengenai jumlah karangannya, sulit di tentukan secara pasti karena beberapa
hal:
a.
Para penulis biografinya tidak sepakat menuturkan jumlah
karangannya.
b.
Sebagian karangan-karangannya telah musnah dan banyak yang hilang.
c.
Karangan-karangannya yang sampai kepada kita banyak memuat
karangan-karangan orang lain.
d.
Karangan-karangannya sebagian besar berbentuk risalah, sehingga
mudah hilang.
Karena karangannya banyak yang hilang, maka agak sukar untuk
memberikan penilaian yang tepat terhadap buah pikirannya. Namun demikian,
dengan tidak mengurangi penghargaan terhadap dirinya sebagai seorang filosof
Islam yang pertama kali secara terang-terangan memperkenalkan filsafat Yunani
secara langsung kepada Dunia Islam.[5]
Untuk lebih jelasnya di bawah ini dikemukakan beberapa karya
Al-Kindi, sebagai berikut:
a.
Fi al-falsafat al-‘Ula
b.
Kitab al-Hassi ‘ala Ta’allum al-Falsafat
c.
Risalat ila al-Ma’mun fi al-‘illat wa Ma’lul
d.
Risalat fi Ta’lif al-A’dad
e.
Kitab al-falsafat al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyyat wa
al-Mu’tashah wa ma fauqa al-Thabi’iyyin
f.
Kammiyat kutub Aristoteles
B. Pokok-pokok
Filsafat al-Kindi
1.
Filsafat Ketuhanan
Salah satu karya al-Kindi yang berbicara tentang ketuhanan adalah Fi
al-Falsafat al-Ula dan Fi Wahdaniyyat Allah wa Tanahi Jirm al-Alam.
Dalam tulisan tersebut dapat dilihat bahwa pandangan al-Kindi tentang ketuhanan
sesuai dengan ajaran Islam dan bertentangan dengan pandangan Aristoteles,
Plato, dan Plotinus. Menurutnya, Allah adalah wujud yang sebenarnya, bukan
berasal dari tiada kemudian menjadi ada. Ia mustahil untuk tidak ada, Ia selalu
ada dan akan ada selamanya. Allah adalah wujud yang sempurna yang awal dan
tidak didahului wujud yang lain. Allah adalah yang maha Esa yang tidak dapat
dibagi-bagi dan tidak mungkin ada zat lain yang menyamai-Nya.[7]
Allah bagi al-Kindi adalah pencipta dan bukan penggerak pertama
sebagaimana dikatakan Aristoteles. Karena itu dalam hal ini, pendapatnya lebih
dekat dengan filsafat Plotinus yang mengatakan bahwa Tuhan Maha Satu adalah
sumber dari alam ini dan sumber dari segala yang ada.[8]
Allah tidak mempunyai hakikat dalam arti aniah dan mahiah. Allah
tidak aniah karena Allah bukan benda yang mempunyai fisik. Allah juga
tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiah karena Allah bukan merupakan
genus dan species. Bagi al-Kindi Alah itu unik. Ia hanya satu dan
tidak ada yang setara dengan-Nya. Dialah Yang Benar Pertama (al-Haqq
al-Awwal) dan dan Yang Benar Yang Tunggal (al-Haqq al-Wahhid).
Selain daripada-Nya mengandung arti banyak.[9]
Allah dalam pandangan al-Kindi hanya bisa digambarkan dengan
penegasian dalam artian disematkan dengan kata-kata negatif. Misalnya Allah
tidak sama dengan ciptaan-Nya, Allah tidak berbentu, Allah tidak berbilang,
Allah tidak berhubungan, Allah tidak berbagi, dan tidak-tidak yang lainnya.
Dalam kaitan ini, peniadaan sifat Allah bagi Mu’tazilah salah satu teolog yang
biasa dicap dengan rasionalitasnya mengatakan bahwa Allah berarti memiliki
hakikat. Lain dengan al-Kindi yang justru menyebut bahwa Allah tidak memiliki
hakikat. Al-Kindi sangat menegaskan dan menekankan ketidaksamaan-Nya dengan
ciptaan-Nya.[10]
Dalam hal pembuktian bahwa Allah itu ada, al-Kindi menawarkan tiga
argumennya, sebagai berikut:
1.
Barunya Alam.
2.
Keanekaragaman Wujud’
3.
Kerapian Alam
Adapun argumen barunya alam, Al-Kindi mengemukakan bahwa tidak
mungkin alam ini mempunyai permulaan waktu dan setiap yang mempunyai permulaan
akan berkesudahan (mutanahi). Setiap benda ada yang menyebebabkan
wujudnya dan mustahil benda itu sendiri yang menjadi sebabnya. Dengan demikian
bahwa alam semesta baru dan diciptakan dari tiada oleh yang menciptakannya,
yakni Allah.
Kemudian argumen yang kedua, keanekaragaman dalam wujud, Al-Kindi
berargumen bahwa tidak mungkin ada keanekaragaman terjadi dengan sendirinya
atau secara kebetulan, tetapi ada yang menyebabkan atau merancangnya. Sebagai
penyebabnya mustahil alam itu sendiri dan jika alam yang menjadi sebab (Illat’)-nya
akan terjadi tasalsul (rangkaian) yang tidak akan habis-habisnya. Dengan
demikian bahwa yang menjadi penyebab harus berada diluar alam itu sendiri,
yakni Zat Yang Maha Baik, Maha Mulia, yang mendahului adanya alam, yang disebut
Allah Swt.
Al-Kindi menyebutkan bahwa ada dua sebab atau ‘illat: Pertama,
sebab yang sebenarnya dan aksinya adalah ciptaan dari ketiadaan (ibda’)
adalah Allah Yang Maha Esa, Pencipta Tunggal alam semesta. Kedua, sebab
yang tidak sebenarnya, sebab yang menyebabkan sebab-sebab itu sendiri. Sebab
ini jelas membutuhkan yang lain tanpa berkesudahan. Ia bukanlah bukanlah sebab
yang menciptakan alam ini.
Adapun argumen yang ketiga, kerapian alam. Al-Kindi menegaskan
bahwa alam empiris ini tidak mungkin dan terkendali begitu saja tanpa ada yang
mengatur dan mengendalikannya. Pengatur dan pengendalinya tetntu yang berada
diluar alam dan tidak sama dengan alam. Zat itu tidak terlihat, tetapi dapat
diketahui dengan melihat fenomena atau tanda-tanda yang terdapat di alam. Zat
itulah yang disebut Allah.
Demikianlah bahwa sekalipun Al-Kindi bergelut dalam dunia filsafat
Yunani, ia tidak begitu saja menerima ide-ide yang ada didalamnya tetapi ia
menyesuaikan dengan ajaran Islam sehingga nuansa keislaman tetap terjaga.[11]
2.
Filsafat Alam
Teori penciptaan alam
semesta ini mempunyai sejarah yang panjang. Menurut filosof Yunani keseluruhan
seperti Plato, Aristoteles, sampai Plotinus berpendapat bahwa alam semesta
diciptakan dari sesuatu yang ada, sebab menurut mereka menciptakan adalah membuat
sesuatu yang baru dari apa yang sebelumnya sudah ada (creation ex materia), baik melalui gerakan maupun emanasi. Jadi,
menurut filosof Yunani, Tuhan bukan sebagai pencinta dalam arti sebenarnya
(dari tiada menjadi ada) melainkan hanya sebagai penggerak dari alam
potensialitas menjadi alam aktualitas. Maka, menurut mereka alam adalah qadim, abadi, dan tidak terbatas karena
hasil dari gerak Tuhan yang bersifat qadim.
Inilah yang bertentangan dengan dengan teori penciptaan oleh para filosof
Muslim. Al-Kindi menolak teori para filosof Yunani tersebut dan mengemukakan
gagasan bahwa alam semesta ini diciptakan dari yang tiada sebelumnya (creation ex nihilo), sebagaimana
diyakini dalam teologi Islam.[12]
Namun, al-Kindi menjelaskannya bukan dengan teologi melainkan filosofis, dan itu didasarkan pada teori Aristoteles,
berikut adalah teori dasar Aristoteles yang digunakan oleh al-Kindi:
1.
Sesuatu
yang tidak terbatas tidak dapat berubah menjadi terbatas yang berwujud dalam
bentuk aktual.
2.
Materi,
waktu, dan gerak muncul secara serentak.
Dua prinsip ini
kemudian dikembangkan oleh al-Kindi menjadi 9 pernyataan:
1.
Dua
besaran yang sama, jika salah satunya tidak lebih besar dari yang lainnya,
berarti adalah sama.
2.
Jika
satu besaran ditambahkan pada salah satu dari dua besaran yang sama tersebut,
keduanya menjadi tidak sama.
3.
Jika
sebuah besaran dikurangi, sisanya adalah lebih kecil dari besaran semula.
4.
Jika
suatu besaran diambil sebagiannya, kemudian sebagiannya lagi, hasil besarannya
adalah sama seperti sebelumnya.
5.
Besaran
yang terbatas tidak dapat berubah menjadi tidak terbatas, begitu juga
sebaliknya.
6.
Jumlah
dua besaran yang sama, jika masing-masing bersifat terbatas adalah terbatas.
7.
Besaran
alam aktualitas adalah sama dengan besaran alam potensialitas.
8.
Dua
besaran yang tidak terbatas tidak mungkin salah satunya menjadi lebih kecil
daripada lainnya.
9.
Apa
yang dimaksud dengan lebih besar adalah dalam hubungannya dengan bagian yang
lebih kecil, dan yang disebut dengan sebagai lebih kecil adalah dalam
hubungannya dengan lebih besar.
Dengan argumennya ini,
al-Kindi mengkaji ulang prinsip kadimnya alam
yang dikemukakan oleh Aristoteles. Jika alam ini terbatas, lalu diambil
sebagian, kemudian jika yang tinggal terbatas jika ditambahkan lagi dengan
bagian yang terpisahkan, maka hasilnya tentu terbatas pula dan inilah yang
benar, tapi hukum ini bertentangan dengan pernyataan sebelumnya bahwa alam ini
sebelum diambil sebagiannya, tidak terbatas. Maka hasil penjumlahan ini menjadi
terbatas dan tidak terbatas, dan ini menghasilkan kontradiksi yang tidak dapat
diterima. Sekiranya yang tinggal setelah diambil juga tidak terbatas, maka
berarti benda sama besar dengan bagiannya. Akan tetapi setelah penjumlahan
keduanya menghasilkan lebih besar daripada yang sebelumnya, berarti yang tidak
terbatas lebih besar daripada yang tidak terbatas, maka hal ini merupakan
kesimpulan yang tidak dapat diterima.[13]
Berdasarkan
kontradiksi-kontradiksi tersebut, maka al-Kindi berpendapat bahwa alam semesta
ini bersifat terbatas, tidak abadi, dan tidak qadim, maka alam semesta ini diciptakan dari yang tiada (creation ex nihilo).
Kemudian al-Kindi
mempunyai konsep sendiri yang tidak sama dengan Aristoteles yang mengatakan
bahwa alam semesta ini terbatas dalam ruang namun tidak terbatas dalam waktu
dan gerak. al-Kindi juga tidak sesuai dengan pendapat Plato yang mengatakan
bahwa alam semesta ini terbatas dalam waktu namun tidak terbatas dalam materi
(ruang). Karena, menurut al-Kindi,
ruang, waktu, dan gerak sama-sama terbatas dan diciptakan. Kemudian menurut
Plato dan al-Kindi, waktu muncul seiring dengan gerak dan perubahan, ketika ada
gerak dan perubahan, maka di situ ada waktu, begitu juga sebaliknya. [14]
Atas dasar ini al-Kindi
berkesimpulan bahwa alam semesta ini bersifat terbatas dan menolak pandangan
Aristoteles yang mengatakan bahwa alam semesta ini bersifat qadim. Meskipun beberapa filosof Muslim
yang datang setelahnya mengatakan bahwa alam semesta ini qadim, tapi telah dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa alam semesta ini
diciptakan oleh Allah SWT, namun tidak dijelaskan bahwa alam semesta diciptakan
dari sesuatu yang ada atau dari yang tiada.[15]
3. Filsafat Jiwa
Al-Kindi
merupakan filsuf Muslim pertama yang membahas hakikat roh atau jiwa secara
terperinci. Pandangan Al-Kindi tentang jiwa sama dengan pandangan Rene
Descartes, bahwasannya jiwa mempunyai
esensi dan eksistensi yang terpisah dengan tubuh dan tidak tergantung satu sama
lainnya. Jiwa bersifat rohani dan Ilahy, Sedangkan tubuh mempunyai
hawa nafsu dan amarah. Menurut al-Kindi jiwa merupakan jauhar basith (subtansi
yang tunggal), yang mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia.
Al-Kindi membagi jiwa ke dalam tiga bagian :
1.
Daya bernafsu (al-quwwah asy-syahwaniyah) yang terdapat di
perut.
2.
Daya pemarah (al-quwwah al-gadabiyah) yang terdapat di dada.
3.
Daya berfikir (al-quwwah al-natiqah) yang berpusat di
kepala.
Diantara
tiga daya tersebut, daya yang terpenting adalah daya berfikir, karena daya
itulah yang mengangkat eksistensi manusia kederajat yang lebih tinggi.[16]
Selanjutnya, Al-Kindi membagi akal pada empat macam, satu berada di
luar jiwa manusia dan yang tiga lagi berada di dalamnya, sebagai berikut :
1.
Akal yang selamanya dalam aktualitas. Akal pertama ini berada
di luar jiwa manusia, bersifat Ilahi, yang menyinari akal manusia.
2.
Akal bersifat potensial, maksudnya adalah akal murni yang ada dalam
diri manusia yang masih berupa potensi dan belum menerima bentuk-bentuk indrawi
dan akali. Berupa potensi akal yang dapat menangkap arti-arti murni.
3.
Akal yang bersifat perolehan. maksudnya adalah akal yang telah
keluar dari potensialitas ke dalam aktualitas, dan mulai memperlihatkan
pemikiran abstraksinya.
4.
Akal Nyata, kenyataan tercapainya sebuah pengetahuan.
Selanjutnya,
menurut Al-Kindi jiwa itu kekal dan tidak hancur bersama hancurnya badan,
karena subtansinya adalah subtansi tuhan. Ketika jiwa berada dalam badan, Ia
tidak mendapatkan kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna.
Baru ketika jiwa berpisah dengan badan, Ia akan memperoleh kesenangan yang
sebenarnya dalam bentuk pengetahuan yang sempurna. Setelah berpisah dengan
badan jiwa akan menuju alam kebenaran atau alam akal di dalam lingkungan cahaya
tuhan. Tempat inilah kebahagiaan abadi yang akan dirasakan oleh jiwa yang suci.
Sedangkan jiwa yang tidak suci, setelah berpisah dengan badan Ia tidak akan
langsung masuk ke alam kekal, tetapi Ia akan mengembara dalam jangka waktu
tertentu untuk membersihkan diri.[17]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
Tentunya hasil dari penusunan
makalah ini tidaklah sempurna, maka dari itu kami mengizinkan pembaca untuk
memberikian kritikannya agar ke depannya bisa lebih baik lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
Awaludin,
Zulfian. “Al-Kindi dan Filsafat
Ketuhanan” dalam https://www.qureta.com/post/al-kindi-dan-filsafat-ketuhanan, diakses pada 22
September 2018
Hanafi, Ahmad.
1976. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hasbi,
Muhammad. 2010. Pemikiran Emanasi Dalam Filsafat Islam dan Hubungannya
Dengan Sains Modern, dalam Jurnal
Al-Fikr, Volume 14 Nomer 3
Khalik, Abu
Thalib. 2016. Pemikiran Filsuf Muslim dari Masa ke Masa,. Yogyakarta:
Ladang Kata.
Khudori, A.
Sholeh. 2013 Filsafat Islam dari Klasik
hingga Kontemporer.Yogyakarta: Ar Aruzz Media.
Nasution,
Harun. 1978. Filsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Tiam, Sunardji
Dahri. Historiografi Filsafat Islam. Malang: Intrans Publishing.
Zar,
Sirajuddin. 2007. Filsafat Islam: Filosof & Filsafatnya. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof
& Filsafatnya, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 37-38.
[4] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof
& Filsafatnya., hal. 38
[5] Sunardji Dahri Tiam, Historiografi
Filsafat Islam., hal. 96
[6] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof
& Filsafatnya., hal. 43
[7] Sirajuddin
Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya., hlm. 50
[8] Muhammad
Hasbi, Pemikiran Emanasi Dalam Filsafat Islam dan Hubungannya Dengan Sains
Modern, dalam Jurnal Al-Fikr, Volume
14 Nomer 3 Tahun 2010, hlm. 367
[9] Sirajuddin
Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya., hlm. 51
[10] Sirajuddin
Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya., hlm. 52
[11] Zulfian Awaludin,
Al-Kindi dan Filsafat Ketuhanan, dalam https://www.qureta.com/post/al-kindi-dan-filsafat-ketuhanan, diakses pada 22
September 2018
[12] A. Sholeh
Khudori. Filsafat Islam dari Klasik
hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Ar Aruzz Media, 2013). hlm 79.
[13] Sirajuddin Zar. Filsafat Islam: Filosof dan
Filsafatnya., hlm 56-57.
[14] A. Sholeh
Khudori. Filsafat Islam dari Klasik
hingga Kontemporer. hlm 81-82.
[15] Sirajuddin Zar. Filsafat Islam: Filosof dan
Filsafatnya., hlm 58.
[16] Abu Thalib
Khalik, Pemikiran Filsuf Muslim dari Masa ke Masa, (Yogyakarta: Ladang
Kata, 2016)., hal. 23-24.
[17] Harun
Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang,1978)., hal. 19-20
Komentar
Posting Komentar