![]() |
Gambar: icrp-online.com |
Pernikahan Beda Agama
(Aplikasi
Penafsiran Metode Kontekstualis Terhadap Surat al-Baqarah [2]: 221)
Kecenderungan
melakukan hubungan seksual telah menjadi kebutuhan biologis dari setiap
makhluk. Kebutuhan itu tidak akan terlepas dari kehidupan setiap makhluk, baik
itu manusia, hewan dan yang lainnya. Perbedaan hubungan seksual yang mendasar
antara hewan dan manusia khususnya adalah terletak pada mekanismenya. Manusia
ketika telah memuncak berahinya tidak dapat serta-merta langsung
menyalurkannya. Manusia memiliki norma-norma yang harus dilaksanakan, lain
halnya dengan hewan. Salah satu norma, khususnya bagi manusia yang beragama
adalah harus melaksanakan pernikahan terlebih dahulu sebelum melakukan hubunga
seksual.
Salah
satu agama yang juga mengatur norma pernikahan adalah agama Islam. Dalam agama
Islam, pernikahan telah diatur sedemikian rupa dalam segala aspek, mulai dari
syarat, rukun dan lain sebagainya. Terdapat
beberapa permasalahan yang menjadi pusat perhatian sejak zaman dahulu dalam hal
pernikahan. Masalah yang menjadi pusat perhatian tersebut adalah pernikahan
beda agama. Telah menjadi perdebatan di kalangan ulama dan sarjana muslim
mengenai hal itu. Sebagian ada yang membolehkan dan sebagian lain melarangnya.
Yang menjadi akar perdebatan tersebut sebenarnya sama, yaitu tiga surat dalam
al-Quran; al-Baqarah [2]: 221, al-Mumtahanah [60]: 10 dan al-Maidah [5]: 5. Ayat
tersebut pada intinya menjelaskan tentang pernikahan beda agama yang
diperbolehkan dan tidak diperbolehkan
untuk umat Islam baik itu laki-laki maupun perempuan, namun yang akan
penulis paparkan secara luas hanya dari surat Baqarah [2]: 221.
Dari
situ kemudian penulis berinisiatif untuk menggali lebih lanjut dan menafsirkan
kembali dengan salah satu metode penafsiran sarjana muslim kontemporer yaitu
Abdullah Saeed dengan metode kontekstualis-nya[1]. Metode
ini pada intinya menawarkan pembacaan ulang terhadap historisitas ayat itu
diturunkan, baik ditinjau dari segi sosial, politik, budaya dan lainnya
kemudian dikontekstualisasikan ke masa sekarang. Penulis mengambil metode ini
dimaksudkan agar hasil dari penafsirannya dapat tersesuaikan dengan realitas
masa sekarang yang mana tentu berbeda dengan zaman dahulu. Di samping itu juga,
untuk mendapatkan hasil penafsiran yang lebih objektif dan menangkap maksud
dari wahyu diturunkannya surat itu sendiri.
Di
sisi lain, penafsiran kontekstual ini memperhatikan terhadap nilai-nilai
hierarkis[2]
yang ditemukan dalam al-Qur’an. Nilai-nilai ini meliputi; nilai yang wajib (obligatory
value), nilai fundamental (fundamental values), nilai perlindungan (protectional
values), nilai implementasi (implementational values), dan nila
instruksional (instructional values). Nilai-nilai tersebut yang telah
dirumuskann oleh Saeed dalam rangka proses dari penafsiran kontekstualis-nya agar
tidak menghasilkan penafsiran yang bertentangan dengan nilai-nilai universal
al-Qur’an.
Surat
al-Baqarah [2]: 221
وَلَا
تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ
وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ
وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ
وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ
أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ
وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ
وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ.
“Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran[3].”
Konteks
Historis Ayat (Asbab an-Nuzu>l)
Dalam
kitab Luba>b an-Nuqu>l Fi> Asba>b an-Nuzu>l[4]
karya
Imam Jalaludin as-Suyuti, disebutkan bahwa Ibnul Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan
al-Wahidi telah meriwayatkan dari Muqatil, dia berkata, “Ayat ini turun pada
Ibnu Abi Martsad al-Ghanawi, ketika dia meminta izin kepada Nabi saw untuk
menikahi seorang wanita muda musyrikah yang mana memiliki kekayaan dan
kecantikan. Maka turunlah surat al-Baqarah [2]: 221.
Dalam riwayat al-Wahidi dari
jalur as-Suddi dari Abu Malik dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Ayat ini turun
pada Abdullah bin Rawahah, yang ketika itu memiliki seorang budak wanita
berkulit hitam. Pada suatu hari dia marah kepada budaknya dan menamparnya.
Kemudian dia mendatangi Nabi saw dan memberitahu beliau tentang hal itu, lalu
dia berkata “Sungguh saya akan memerdekakannya dan menikahinya”. Lalu dia
melakukan apa yang dikatakannya itu. Melihat apa yang dilakukannya itu,
sebagian orang muslim mencelanya. Mereka berkata, “Dia menikahi seorang budak
wanita?” maka Allah menurunkan surat al-Baqarah [2]: 221.”
Dinamika Penafsiran Terhadap
Surat al-Baqarah [2]: 221
Sebelum menafsirkan secara
kontekstualis, perlu kiranya menilik dari beberapa kitab tafsir klasik dan
modern tentang penafsiran ayat tersebut. Yang menjadi titik perdebatan pada
ayat ini adalah ada pada kata musyrik dan musyrikat. Imam at-Thabari salah satu
penafsir klasik, menafsirkan ayat tersebut bahwa orang mukmin baik laki-laki
maupun perempuan haram menikahi orang musyrik (penyembah berhala).[5] Hal itu
ia sandarkan dari berbagai riwayat yang dengan secara lengkap ia jelaskan dalam
kitabnya. Kemudian Sayid Quthb pun sependapat dengan Imam at-Tabari dengan
alasan bahwa hubungan antara dua manusia yang berbeda akidah termasuk ke dalam
hubungan yang palsu.[6]
Dalam
pandangan Quraish Shihab[7]
yang bisa dikatakan salah seorang mufasir modern, menjelaskan dalam kitab
tafsirnya bahwa ayat tersebut berbicara tentang larangan menikah dengan orang
musyrik yang mana konteksnya dahulu menyembah berhala. Ia menambahkan bahwa
walaupun agama Kristen percaya kepada Tuhan Bapa, dan Tuhan Anak oleh agama
Islam dinamai dengan mempersekutukan Allah, namun al-Qur’an tidak menamai
mereka dengan musyrik, tetapi menamai mereka Ahl Kitab (Yahudi dan
Nasrani). Hal itu kemudian menjadi penting karena ditemukan pula dalam
al-Qur’an surat al-Maidah [5]: 5, bahwa laki-laki muslim diizinkan untuk
menikahi perempuan Ahl Kitab.
Senada
dengan Ibnu Katsir yang mengutip pendapat Ibnu Abbas melalui Ali Bin Abi Thalib
bahwa perempuan Ahl Kitab dikecualikan dari al-Baqarah [2]: 221 yang
mana telah di-takhsis oleh surat al-Maidah [5]: 5. Pendapat itu pula
didukung oleh Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id Ibn Jubair, Makhu>l,
al-Hasa>n, al-Dlahha>k, Zaid Ibn Aslam, dan Rabi Ibn Annas. Musyrik dalam pandangan Fakhr al-Di>n al-Razi adalah mereka yang menyembah patung.[8]
Sebagian
pendapat ulama lain berpendapat bahwa alasan kenapa diharamkan pernikahan orang
mukmin dengan orang musyrik karena adanya qarinah ayat “yad’u>na
ila al-na>r” yang berarti
mengajak ke neraka. Lantas Moqsith mengomentari jika illat al-Hukm (kausa
hukum) nya seperti itu, maka tidak lah harus orang yang musyrik saja yang
mengajak ke neraka tetapi orang mukmin atau orang Islam pun bisa. Misalnya
menikah dengan koruptor, pencuri, penjudi, pezina dan lain-lainnya. Jadi
argumen tersebut tidak bisa dijadikan hujjah.
Menafsir
Dengan Metode Kontekstualis
Penulis
telah paparkan dimuka tentang konteks historis turunnya ayat (Asbab
an-Nuzu>l), bahwa adanya celaan terhadap seseorang yang
ingin menikah dengan perempuan budak muslim, lantas al-Qur’an mendukung dan
membandingkan dengan peremnpuan musyrik. Jika dilihat semangatnya, maka
al-Qur’an membantu dan mendorong untuk tetap menikahi perempuan budak muslim
dari pada perempuan musyrik untuk tujuan penguatan akidah.
Bagaimana tidak, jika melihat
konteks sejarahnya saat itu, permusuhan antara umat Islam dan kaum musyrik
dalam situasi yang tegang. Konteks saat itu pun, kaum musyrik terus-menerus meluncurkan
peperangan kepada umat Islam sejak Nabi di Mekkah hingga hijrah ke Madinah.
Melihat konteks tersebut maka wajar dilarangnya umat Islam untuk menikah dengan
kaum musyrik.
Lantas, jika melihat
sejarahnya kembali, umat Islam selalu ditindas oleh kaum musyrik, hal ini dapat
terlihat dari kisah Bilal yang disiksa dengan ditindih batu besar. Jika
dibiarkan umat Islam menikah dengan kaum musyrik dikhawatirkan akan terjadi
lagi penyiksaan-penyiksaan selanjutnya. Jadi pelarangan untuk menikah dengan
kaum musyrik setidaknya bersifat politis.
Jika
ditempatkan dalam konteks sekarang yang mana kehidupan umat beragama hidup
saling berdampingan satu sama lain, maka pelarangan tersebut akan gugur.
Pluralisme agama saat ini mendorong kita untuk selalu terbuka antara agama satu
dengan yang lain dalam batasan tertentu. Bagaimana kita lihat dalam faktanya
banyak sekali yang telah menikah bda agama dan menjalani kehidupan keluarga
dalam keharmonisan, saling toleransi satu sama lain.
Oleh
karenannya, jika kita tarik pada konsep penafsriran metode kontekstualis dalam
hal nilai hierarki yang telah dipaparkan secara singkat dimuka, maka surat
al-Baqarah [2]: 221 ini masuk ke dalam nilai-nilai instruksional (instructional
values). Nilai-nila instruksional merujuk kepada sejumlah instruksi,
arahan, petunjuk dan nasihat yang bersfiat spesifik di dalam al-Qur’an yang
berkaitan dengan berbagai isu, situasi, lingkungan dan koteks tertentu.[9]
Nilai
instruksional pada surat al-Baqarah [2]: 221 ini secara impilisit
menginstruksikan dan memberikan dorongan moral kepada orang yang hendak menikah
untuk memilih pasangan yang terbaik.[10]
Kualifikasinya bukan terletak pada identitasnya. Oleh karenannya, menikah
dengan perempuan atau laki-laki manapun, selama itu adalah pilihan yang terbaik,
maka diperbolehkan. Terbaik menurut masing-masing yang akan menjalani kehidupan
dalam rumah tangga ke depannya. Namun, menurut hemat penulis, yang terbaik
adalah pernikahan dengan sesama agama. Karena kesamaan keyakinan akan
menimbulkan kesamaan tujuan. Faktor yang sangat penting juga adalah ketika
nanti meiliki anak, tentu perbedaan keyakinan ini akan membuat
perbedaan-perbedaan selanjtnya dalam mendidik dan membina anak, terlebih masa
kanak-kanak manusia sangatlah panjang. Wallahu’alam.
REFERENSI
Agama
RI, Kementrian. 2010. Al-Qur’an dan
Terjemahannya. Bandung: Sygma Examedia Arkanleema.
As-Suyuti, Jalaludin.
2013. Luba>b
an-Nuqu>l Fi> Asba>b an-Nuzu>l. terj. Tim Abu
Hayyie. Depok: Gema Insani.
At-Tabari, Abu
Ja’far Muhammad bin Jarir. 2008. Jami’
al-Baya>n an Ta’wil Ayi Al-Qur’an terj. Ahsan Askan. Jakarta: Pustaka Azzam,
Ghazali, Abd.
Moqsith. 2009. Argumen Pluralisme Agama. Depok: Kata Kita.
Quthb, Sayyid. 2013. Fi> Dz}ila>lil Qur’an. terj. As’ad Yasin. Depok: Gema Insani.
Saeed, Abdullah. 2016. Al-Qur’an
Abad 21: Tafsir Kontekstual, terj. Ervan Nurtawab. Bandung: Mizan.
Shihab, M.
Quraish. 2005. Tafsir al-Mishbah. Jakarta: Lentera hati.
[1] Abdullah
Saeed, Al-Qur’an Abad 21: Tafsir Kontekstual, terj. Ervan Nurtawab,
(Bandung: Mizan, 2016), hlm. 103
[3] Kementrian
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
(Bandung: Sygma Examedia Arkanleema, 2010), hlm. 35
[4] Jalaludin
as-Suyuti, Luba>b
an-Nuqu>l Fi> Asba>b an-Nuzu>l, terj. Tim Abu Hayyie, (Depok: Gema Insani, 2013), hlm. 92
[5] Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir at-Tabari, Jami’
al-Baya>n an Ta’wil Ayi Al-Qur’an,
terj.
Ahsan Askan, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm. 642
[7] M. Quraish
Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera hati, 2005), hlm. 473-475
[8] Abd. Moqsith
Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, (Depok: Kata Kita, 2009), 336-337
Komentar
Posting Komentar