![]() |
Gambar: bait-islam.blogspot.co.id |
Dalam upaya penafsiran al-Qur’an, seorang mufasir tentu memiliki bentuk
penafsiran-nya tersendiri. Paling tidak, seorang mufasir akan menggunakan salah
satu dari dua kategori bentuk tafsir yang sudah sangat terkenal dalam
kajian ilmu tafsir; tafsir bi
al-Ma’tsur atau bi al-Manqul
dan tafsir bi
a-Ra’yi atau bi al-Ma’qul.[1] Tafsir
bi
al-Ma’tsur atau atau bi al-Manqul
adalah tafsir yang berdasarkan pada riwayat-riwayat yang sahih;
menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, hadis, pendapat para sahabat. Tafsir bi al-Ra’yi
atau bi al-Ma’qul adalah tafsir
yang hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulannya hanya berdasar
pada penalaran (ra’yu)
semata.[2]
Kitab tafsir al-Kasysyaf karya
al-Zamaksyari merupakan salah satu kitab tafsir yang masuk dalam bentuk tafsir bi
al-Ra’yi dan juga kitab tafsir yang paling
masyhur diantara kitab tafsir karya mufasir bi al-Ra’yi lainnya.[3]
Meskipun demikian, pada beberapa penafsirannya terdapat juga yang
menggunakan dalil naql (didasarkan
pada nas al-Qur’an dan hadis). Akan tetapi bentuk tafsir sebagian besarnya
tetap berorientasi pada bi al-Ra’yi [4]
al-Zamaksyari merupakan salah seorang imam dalam bidang linguistik, ma’ani, bayan
dan lainnya. Ia penganut fiqih madzhab Hanafi dan berakidah paham aliran Mu’tazilah.[5]
Corak penafsirannya sangat terwarnai oleh bidang keahliannya, linguitik. Hal
ini sebagai mana dinyatakan oleh al-Zahabi bahwa penafsiran al-Zamaksyari lebih banyak berorientasi pada aspek balaghah, yang
tidak lain bertujuan untuk
menyingkap keindahan serta rahasia yang terkandung dibaliknya.[6]
Di sisi lain, corak penafsirannya pun berbau teologis. Hal ini
tidak lain terpengaruh oleh latar belakangnya sebagai penganut paham aliran
Mu’tazilah. Ibnu Khaldun menyinggungnya dengan mengatakan bahwa di antara kitab
tafsir yang paling baik adalah kitab al-Kasysyaf, hanya saja di dalamnya senantiasa mendatangkan
argumentasi-argumentasi untuk membela madzhabnya yang rusak setiap kali ia
menerangkan ayat-ayat al-Qur’an dari segi balaghah. Lanjutnya, cara yang demikian ini menurut para peneliti dari
kalangan Ahlu al-Sunnah dipandang
sebagai penyimpangan dan menurut jumhur merupakan
manipulasi terhadap rahasia dan kedudukan al-Qur’an itu sendiri. Jika orang
yang membacanya adalah mereka yang menguasai mdzhab sunni maka akan selamat
dari perangkap-perangkapnya. Namun, mereka tetap mengakui kredibilitasnya dalam
hal yang berkaitan dengan liguistik.[7]
Dalam penafsirannya terdapat dua kencederungan, corak linguistik
dan teologis. Untuk membandingkan yang mana yang lebih mendominasi dalam
penafsirannya, pelu kiranya melihat hasil dari penafsirannya, sebagai contoh
misalnya dalam penafsiran terhadap surat al-Zumar [39]: 53[8]:
قُلْ
يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ
رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ
إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ
إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ.
Artinya: “Katakanlah:
"Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni
dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”[9]
al-Zamaksyari terlihat terkesan memaksakan dirinya dalam upaya menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an
yang pemahaman lahiriyahnya bertentangan dengan keyakinannya bahwa Allah pasti
merealisasikan janji dan ancaman-Nya. Salah satu ayat yang menggambarkan hal
ini adalah QS. al-Zumar [39]: 53, dalam memahami ayat ini, al-Zamaksyari berkata, yang dimaksud oleh ayat ini adalah bahwa Allah swt harus
mengampuni semua dosa jika diiringi dengan taubat. Karenanya, potongan ayat selanjutnya
menyebutkan, “Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu...”, yang kemudian
diperkuat degan potongan ayat berikutnya, “..sebelum datang azab kepadamu
kemudian kamu tidak dapat ditolong lagi” (al-Zumar [39]: 54).
Seandainya yang dimaksudkan tidak seperti yang “kami” tuturkan,
tentu tidak ada artinya firman Allah swt, “..sebelum datang azab kepadamu...”.
Terlihat dengan jelas bahwa dalam menafsirkan ayat tersebut al-Zamaksyari berupaya mempertahankan prinsip al-Wa’du wa al-Wa’id dalam madzhab Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa janji Allah swt
kepada orang-orang yang taat untuk diberi pahala dan ancaman kepada orang-orang
yang durhaka untuk disiksa, pasti akan Allah swt laksanakan. Sedangkan ayat di
atas menyatakan bahwa Allah swt mengampuni semua dosa. Ayat ini tentu tidak
sesuai dengan prinsip al-Wa’du wa al-Wa’id yang mereka pegang. Sehingga al-Zamakhsyari dalam tafsirnya
mengatakan bahwa dosa akan diampuni jika yang bersangkutan melakukan taubat.
Seandainya taubat tidak dilakukan, maka ancaman azab akan tetap berlaku.
QS. al-Zumar [39]: 53 termasuk salah satu ayat yang digolongkan
oleh al-Zamaksyari Zamakhsyari sebagai ayat yang mutasyabih, karena ayat
ini bertentangan dengan ayat muhkam yang ia pahami sebagai prinsip al-Wa’du wa al-Wa’id. Sebut saja surah al-Zalzalah [99]: 7 dan 8 yang berbunyi:
فَمَنْ
يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ
. وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ.
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat
dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang
mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya
pula.”
Ayat sebagai prinsip al-Wa’du wa al-Wa’id. Ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt pasti akan membalas apapun
yang dilakukan hamba-Nya, perbuatan baik dan buruk. Sehingga, ayat yang
bertentangan dengan ayat yang dianggapnya m muhka>akan dianggap sebagai ayat mutasyabih,
Karena itu pula ia menakwilkan makna ayat tersebut agar tetap sesuai dan
mendukung salah satu al-ushul al-khamsah.
Maka dari satu contoh penafsiran di atas, dan masih banyak yang
lainnya, dapat disimpulkan bahwa corak penafsiran teologis lebih mendominasi
dari pada corak penafsiran linguistik dalam kitab tafsir al-Kasysyaf karya
al-Zamaksyari.
Meski demikian, tidak sedikit pula corak penafsiran linguistik dalam kitab
tersebut. Wallahu’alam.
Daftar Pustaka
Al-Qattan,
Manna Khalil 2016. Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an, terj.
Mudzakir AS. Bogor: Litera AntarNusa.
Ash-Shiddieqy,
Teungku Muhammad Hasb. 2009. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan
Tafsir.Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Baidowi, Ahmad. 2010. Studi Kitab Tafsir Klasik-Tengah.Yogyakarta:
TH Press
Humaira, Dara
dan Khairun Nisa. 2016. Unsur I’tizali Dalam Tafsir Al-Kasysyaf (Kajian
Kritis Metodologi Al-Zamakhsyari) Yogyakarta: Jurnal Maghza Vol. 1, No. 1, edisi
Januari-Juni.
Ilyas, Yunahar. 2013. Kuliah Ulumul Qur’an. Yogyakarta:
Itqan Publishing,
[1] Yunahar Ilyas,
Kuliah Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Itqan Publishing, 2013), hlm.274
[2] Teungku Muhammad Hasi ashShiddieqy,
Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 2009), hlm.181
[3]
Lihat: Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,
terj.
Mudzakir AS, (Bogor: Litera AntarNusa, 2016), hlm. 540
[4] Ahmad Baidowi,
Studi Kitab Tafsir Klasik-Tengah, (Yogyakarta: TH Press, 2010), hlm.52
[8] Dara Humaira
dan Khairun Nisa, Unsur I’tizali Dalam Tafsir Al-Kasysyaf (Kajian Kritis Metodologi
Al-Zamakhsyari), dalam Jurnal Maghza Vol. 1, No. 1,
Januari-Juni 2016, hlm. 38-39
Komentar
Posting Komentar