Relasi Gender Dalam al-Qur’an [4]: 1&34


(Analisis Penciptaan dan Kepemimpinan Perempuan) 

Gambar: https://en.wikipedia.org

Perdebatan dan perbedaan pandangan mengenai gender memang bukan suatu hal yang baru lagi. Sejak zaman dahulu gender memang suatu diskursus yang menarik untuk dikaji. Perubahan zaman, kondisi sosial, kultural dan lain-lainnya menjadikan kajian tersebut selalu diangkat dan disesuaikan. Dalam Islam, kajian tentang gender cukup menarik. Begitu banyak ayat-ayat gender dalam al-Qur’an.

Dalam Women's Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan (Suhra, 2013: 376)

Hal yang akan penulis titikberatkan pada pembahasan kali ini adalah gender dalam Islam, khususnya pembahasan yang sering diperdebatkan oleh para sarjana muslim, yaitu tentang penciptaan perempuan dan kepemimpinan perempuan. Kedua pembahasan yang sering diperdebatkan tersebut bersumber dari sumber yang sama, yaitu al-Qur’an. Di sini para sarjana muslim saling memberikan argumen satu sama lain dengan alasan-alasannya.

Penciptaan Perempuan Dalam Q.S An-Nisa [4]: 1

Perbedaan pendapat para sarjana muslim mengenai ayat ini terletak pada makna kata nafs wahidah, minha, dan jaujaha. Perbedaan pendapat tersebut tentu tidak akan lepas dari mana para sarjana tersebut merujuk sumber makna tersebut dan sisi keilmuannya. Dalam hal ini terdapat dua pendapat mengenai ayat tersebut, sebagai berikut:

Pertama, dalam kitab Tafsir Al-Qurtubi, Ibnu Katsir, Ruh al-Bayan, al-Kasyaf, Jami al-Bayan, al-Maraghi, dan al-Wasit dijelaskan bahwa kata \nafs wahidah diafsrkan dengan Adam, kata ganti minha ditafsirkan dengan “dari bagian tubuh Adam” dan kata Jaujaha ditafsirkan dengan Hawa. Alasannya merujuk pada adanya hadist yang mengisyaratkan bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari tuang rusuk Adam (Hasan, 2009: 176). Pendapat ini pun sejalan dengan pendapat yang ada pada kitab Tafsi al-Furqan (Hasan, 2009: 179).

Kedua, Sayyid Quthub, ia justru menegaskan bahwa riwayat-riwayat mengenai peciptaan perempuan dari tulang rusuk adalah israilliyat yang tidak memiliki dasar epistemologi yang benar. Dalam pandangan Ar-Razi perempuan bukan diciptakan dari tulang rusuk Adam tetapi dari jenis Adam (Hasan, 2009: 177).  Buya Hamka berpendapat bahwa nafs wahidah di sini berarti diri yang satu bukan Adam, hal ini sejalan dengan Hasbi as-Shidiqiey yang menolak bahwa nafs wahidah adalah Adam. Buya Hamka pun menolak bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk (Hasan, 2009: 178).

Kemudian dalam pandangan Zaitunah, kata Adam berasal dari Adamah dari bahasa Ibrani yang berarti tanah sebagai fungsi generik manusia bukan menyangkut jenis kelamin. Sedangkan Nasaruddin Umar mengatakan bahwa tidak ada satu kata pun kata nafs dalam al-Qur’an diartikan sebagai Adam. Nasarudin berpendapat bahwa perempuan diciptakan dari unsur yang sama dengan Adam, bukan dari tulang rusuk Adam (Hasan, 2009: 181).   Begitupun Abduh, ia mengartikan nafs di sini diartikan sebagai ruh yang bersifat non-materi, berarti tidak mungkin Adam yang bersifat materi.

Jadi, dalam pandangan hemat penulis, yang dirasa cukup dan sesuai serta masuk akal juga mempunyai alasan yang kuat adalah pendapat yang kedua. Untuk alasan yang pertama hanya berpegang pada riwayat yang jelas ditegaskan itu hanya berupa riwayat israiliyat. Demikian pula dikatakan oleh Nasarudin Umar bahwa tidak ada satu kata pun kata nafs yang berarti Adam. Pendapat yang sangat relevan adalah bahwa perempuan dciptakan dari unsur tanah yang sama dengan Adam. 
Kepeimpinan Perempuan Dalam Q.S An-Nisa [4]: 34

Dalam ayat tersebut, terdapat penggalan ayat yang menjadi penafsiran khusus oleh para sarjana muslim adalah ar-rijalu qowamuna ala an-nisa. Maksud penafsiran khusus di sini adalah penafsiran para sarja muslim yang banyak menitikberatkan perhatiannya terhadap penggalan ayat tersebut. Dalam penggalan tersebut terdapat banyak perbedaan di antara para sarjana muslim. Kebanyakan yang mengomentari ayat ini berkenaan tentang keabsahan pemimpin lelaki, yakni pemimpin itu harus lelaki. Tapi tak sedikit pula yang mengomentari lebih moderat.

Imam at-Thabari mengatakan bahwa bahwa kepemimpinan diberikan kepada lelaki atas perempuan. Kemudian lanjutnya, bahwa kepemimipinan lelaki atas peremnpuan didasarkan atas refleksi fisik, pendidikan dan kewajibannyaseperti; membayar mahar, memberi nafkah, dan kifayah. Pendapat ini pun sejalan dengan pendapat yang tertera dalam kitab Tafsir Jalalain, Muqatil, Ruh al-Bayan, al-Baghawi, al-Alusi, Fathul Qadir, Zad al-Masir, al-Biqai,dan as-Samarkandi (Hasan, 2009: 198).
Selain dari pendapat at-Thabari, ar-Razi pun berpendapat bahwa kepemimpinan lelaki atas perempuan karena dua hal; karena Allah mengutamakannya atas yang lain dan keutamaan lelaki bersifat hakiki (Hasan, 2009: 199). Kemudian, al-Qurtubi mengartikan kata qowam dengan tanggungjawab. Sedang Ibnu Katsir pun sesuai dengan pendapat at-Thabari bahwa lelaki berkuasa atas perempuan (Sukri, 20002: 87).

Melihat dari berbagai pendapat di atas, umumnya seseorang mengatakan bahwa pemimpin keluarga itu harus lelaki. Alasannya bahwa lelaki memiliki kelebihan dari pada perempuan  dan pendapat tersebut didasarkan pada penggalan ayat di atas. Namun Menurut Umul Baroroh pendapat ini kurang bisa dipertanggungjawabkan karena tidak adanya konsistensi terhadap pendapatnya. Kalau memang kepemimpinan lelaki karena kelebihannya tersebut, seharusnya kelebihan tersebutlah yang harus dijadikan kriteria kepemimpinan. Artinya, siapapun di antara anggota keluarga yang memiliki kelebihan dibandingkan yang lain maka dialah yang berhak sebagai pemimpin.

Mungkin timbul pertanyaa, kalau memang kriteria bukan dari segi jenis kelaminnya, mengapa kemudian al-Qur’an menyebutkan ar-rijalu qowamuna ala an-nisa? Hal ini dapat dipahami jika melihat konteks turunnya ayat tersebut dalam budaya Arab patriarki. Dalam budaya Arab yang memiliki fadl dan memberi nafaqah adalah suami. Kalau memang kepemimpinan itu secara mutlak milik lelaki, tidaklah perlu dilengkapi dengan kriteria bima faddla dan bima anfaqu. Hal ini kriteria tersebut tidak selalu melekat pada setiap lelaki sehingga penyebutnya dalam al-Qur’an tersebut akan bertentangan dengan kenyataan (Sukri, 20002: 88). Lebih jauh lagi baca buku “Bias Jender Dalam Persoalan Keluarga”.

Saya menangkap alasan yang dipaparkan oleh Umul Baroroh bahwa kepemimpinan dalam keluarga tidaklah harus selalu lelaki. Karena unsur utama yang dituju oleh surat An-Nisa [4]: 34 adalah kriteria sebagai pemimpinya, bukan jenis kelaminnya. Ketika memang perempuan memenuhi kriteria sebagai pemimpinnya, misalnya keilmuannya yang mumpuni, menangung dan menafkahi keluarga, maka ia berhak memimpin keluarganya, karena keluarga butuh pemimpin yang memenuhi kriteria tersebut yang bisa memimpin.

Kemudian jika tolak ukur kepemimpinan dalam keluarga dari segi jenis kelaminnya yaitu haru lelaki, bagaimana memang jika kondisi menghendaki sang istri memenuhi kriteria sebagai pemimpin tersebut dari pada sang suami. Maka di sini kedepannya akan menjadi permasalah dalam keluarga. Bagaimanapun, konteks ayat tersebut dahulu turun berbeda dengan konteks zaman sekarang di mana seorang perempuan bisa bertanggungjawab atas dirinya sendiri lain hal dengan konteks ayat tersebut diturunkannya. Jadi, menurut hemat penulis dari bacaan buku di atas, bahwa tolak ukur pemimpin atau kepemimpinan dalam keluarga bukanlah dari segi jenis kelamin akan tetapi yang terpenting adalah memenuhi kriterianya, entah itu perempaun ataupun lelaki. Wallahu’alam.

Referensi:

Suhra, Safira, “Kesetaraan Gender Dalam Perspektif al-Qur’an” Dalam Jurnal  al-Ulum Vol. 13 No. 02, Desember 2013.
Hasan, Hamka. 2009. Tafsir Jender: Studi Perbandingan Antara Tokoh Indonesia dan Mesir. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI
Sukri, Sri Suhandjati. 2002. Bias Jender Dalam Islam. Yogyakarta: Gama Media
_________________ 2002. Rekontruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender Dalam Islam. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga-McGill Icihep.


Komentar