(Analisis Penciptaan dan Kepemimpinan Perempuan)
Gambar: https://en.wikipedia.org
Perdebatan dan perbedaan
pandangan mengenai gender memang bukan suatu hal yang baru lagi. Sejak zaman
dahulu gender memang suatu diskursus yang menarik untuk dikaji. Perubahan
zaman, kondisi sosial, kultural dan lain-lainnya menjadikan kajian tersebut
selalu diangkat dan disesuaikan. Dalam Islam, kajian tentang gender cukup
menarik. Begitu banyak ayat-ayat gender dalam al-Qur’an.
Dalam Women's Studies Encyclopedia
dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat
pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan
karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. H. T. Wilson
dalam Sex and Gender mengartikan
gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan
kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan (Suhra, 2013: 376)
Hal yang akan penulis
titikberatkan pada pembahasan kali ini adalah gender dalam Islam, khususnya
pembahasan yang sering diperdebatkan oleh para sarjana muslim, yaitu tentang
penciptaan perempuan dan kepemimpinan perempuan. Kedua pembahasan yang sering
diperdebatkan tersebut bersumber dari sumber yang sama, yaitu al-Qur’an. Di
sini para sarjana muslim saling memberikan argumen satu sama lain dengan
alasan-alasannya.
Penciptaan Perempuan Dalam Q.S An-Nisa [4]: 1
Perbedaan pendapat para
sarjana muslim mengenai ayat ini terletak pada makna kata nafs wahidah, minha, dan jaujaha. Perbedaan pendapat tersebut tentu
tidak akan lepas dari mana para sarjana tersebut merujuk sumber makna tersebut
dan sisi keilmuannya. Dalam hal ini terdapat dua pendapat mengenai ayat
tersebut, sebagai berikut:
Pertama,
dalam kitab Tafsir Al-Qurtubi, Ibnu
Katsir, Ruh al-Bayan, al-Kasyaf, Jami al-Bayan, al-Maraghi, dan al-Wasit dijelaskan
bahwa kata \nafs wahidah diafsrkan
dengan Adam, kata ganti minha ditafsirkan
dengan “dari bagian tubuh Adam” dan kata Jaujaha
ditafsirkan dengan Hawa. Alasannya merujuk pada adanya hadist yang
mengisyaratkan bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari tuang rusuk Adam (Hasan,
2009: 176). Pendapat ini pun sejalan dengan pendapat yang ada pada kitab Tafsi al-Furqan (Hasan, 2009: 179).
Kedua, Sayyid
Quthub, ia justru menegaskan bahwa riwayat-riwayat mengenai peciptaan perempuan
dari tulang rusuk adalah israilliyat yang tidak memiliki dasar epistemologi
yang benar. Dalam pandangan Ar-Razi perempuan bukan diciptakan dari tulang
rusuk Adam tetapi dari jenis Adam (Hasan, 2009: 177). Buya Hamka berpendapat bahwa nafs wahidah di sini berarti diri yang
satu bukan Adam, hal ini sejalan dengan Hasbi as-Shidiqiey yang menolak bahwa nafs wahidah adalah Adam. Buya Hamka pun
menolak bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk (Hasan, 2009: 178).
Kemudian dalam pandangan
Zaitunah, kata Adam berasal dari Adamah
dari bahasa Ibrani yang berarti tanah sebagai fungsi generik manusia bukan
menyangkut jenis kelamin. Sedangkan Nasaruddin Umar mengatakan bahwa tidak ada
satu kata pun kata nafs dalam
al-Qur’an diartikan sebagai Adam. Nasarudin berpendapat bahwa perempuan
diciptakan dari unsur yang sama dengan Adam, bukan dari tulang rusuk Adam
(Hasan, 2009: 181). Begitupun Abduh, ia
mengartikan nafs di sini diartikan sebagai
ruh yang bersifat non-materi, berarti tidak mungkin Adam yang bersifat materi.
Jadi, dalam pandangan hemat
penulis, yang dirasa cukup dan sesuai serta masuk akal juga mempunyai alasan
yang kuat adalah pendapat yang kedua. Untuk alasan yang pertama hanya berpegang
pada riwayat yang jelas ditegaskan itu hanya berupa riwayat israiliyat.
Demikian pula dikatakan oleh Nasarudin Umar bahwa tidak ada satu kata pun kata nafs yang berarti Adam. Pendapat yang
sangat relevan adalah bahwa perempuan dciptakan dari unsur tanah yang sama
dengan Adam.
Kepeimpinan Perempuan Dalam Q.S An-Nisa [4]: 34
Kepeimpinan Perempuan Dalam Q.S An-Nisa [4]: 34
Dalam ayat tersebut, terdapat penggalan ayat yang
menjadi penafsiran khusus oleh para sarjana muslim adalah ar-rijalu qowamuna
ala an-nisa. Maksud penafsiran khusus di sini adalah penafsiran para sarja
muslim yang banyak menitikberatkan perhatiannya terhadap penggalan ayat tersebut.
Dalam penggalan tersebut terdapat banyak perbedaan di antara para sarjana
muslim. Kebanyakan yang mengomentari ayat ini berkenaan tentang keabsahan
pemimpin lelaki, yakni pemimpin itu harus lelaki. Tapi tak sedikit pula yang
mengomentari lebih moderat.
Imam at-Thabari mengatakan bahwa bahwa kepemimpinan
diberikan kepada lelaki atas perempuan. Kemudian lanjutnya, bahwa kepemimipinan
lelaki atas peremnpuan didasarkan atas refleksi fisik, pendidikan dan
kewajibannyaseperti; membayar mahar, memberi nafkah, dan kifayah. Pendapat ini
pun sejalan dengan pendapat yang tertera dalam kitab Tafsir Jalalain,
Muqatil, Ruh al-Bayan, al-Baghawi, al-Alusi, Fathul Qadir, Zad al-Masir,
al-Biqai,dan as-Samarkandi (Hasan, 2009: 198).
Selain dari pendapat at-Thabari, ar-Razi pun
berpendapat bahwa kepemimpinan lelaki atas perempuan karena dua hal; karena
Allah mengutamakannya atas yang lain dan keutamaan lelaki bersifat hakiki (Hasan,
2009: 199). Kemudian, al-Qurtubi mengartikan kata qowam dengan tanggungjawab.
Sedang Ibnu Katsir pun sesuai dengan pendapat at-Thabari bahwa lelaki berkuasa atas
perempuan (Sukri, 20002: 87).
Melihat dari berbagai pendapat di atas, umumnya
seseorang mengatakan bahwa pemimpin keluarga itu harus lelaki. Alasannya bahwa
lelaki memiliki kelebihan dari pada perempuan dan pendapat tersebut didasarkan pada
penggalan ayat di atas. Namun Menurut Umul Baroroh pendapat ini kurang bisa
dipertanggungjawabkan karena tidak adanya konsistensi terhadap pendapatnya. Kalau
memang kepemimpinan lelaki karena kelebihannya tersebut, seharusnya kelebihan
tersebutlah yang harus dijadikan kriteria kepemimpinan. Artinya, siapapun di
antara anggota keluarga yang memiliki kelebihan dibandingkan yang lain maka
dialah yang berhak sebagai pemimpin.
Mungkin timbul pertanyaa, kalau memang kriteria
bukan dari segi jenis kelaminnya, mengapa kemudian al-Qur’an menyebutkan ar-rijalu
qowamuna ala an-nisa? Hal ini dapat dipahami jika melihat konteks turunnya
ayat tersebut dalam budaya Arab patriarki. Dalam budaya Arab yang memiliki fadl
dan memberi nafaqah adalah suami. Kalau memang kepemimpinan itu
secara mutlak milik lelaki, tidaklah perlu dilengkapi dengan kriteria bima
faddla dan bima anfaqu. Hal ini kriteria tersebut tidak selalu
melekat pada setiap lelaki sehingga penyebutnya dalam al-Qur’an tersebut akan
bertentangan dengan kenyataan (Sukri, 20002: 88). Lebih jauh lagi baca buku “Bias
Jender Dalam Persoalan Keluarga”.
Saya menangkap alasan yang dipaparkan oleh Umul Baroroh
bahwa kepemimpinan dalam keluarga tidaklah harus selalu lelaki. Karena unsur
utama yang dituju oleh surat An-Nisa [4]: 34 adalah kriteria sebagai
pemimpinya, bukan jenis kelaminnya. Ketika memang perempuan memenuhi kriteria
sebagai pemimpinnya, misalnya keilmuannya yang mumpuni, menangung dan menafkahi
keluarga, maka ia berhak memimpin keluarganya, karena keluarga butuh pemimpin
yang memenuhi kriteria tersebut yang bisa memimpin.
Kemudian jika tolak ukur kepemimpinan dalam keluarga
dari segi jenis kelaminnya yaitu haru lelaki, bagaimana memang jika kondisi
menghendaki sang istri memenuhi kriteria sebagai pemimpin tersebut dari pada
sang suami. Maka di sini kedepannya akan menjadi permasalah dalam keluarga. Bagaimanapun,
konteks ayat tersebut dahulu turun berbeda dengan konteks zaman sekarang di
mana seorang perempuan bisa bertanggungjawab atas dirinya sendiri lain hal
dengan konteks ayat tersebut diturunkannya. Jadi, menurut hemat penulis dari
bacaan buku di atas, bahwa tolak ukur pemimpin atau kepemimpinan dalam keluarga
bukanlah dari segi jenis kelamin akan tetapi yang terpenting adalah memenuhi
kriterianya, entah itu perempaun ataupun lelaki. Wallahu’alam.
Referensi:
Suhra, Safira, “Kesetaraan Gender
Dalam Perspektif al-Qur’an” Dalam Jurnal al-Ulum Vol. 13 No. 02, Desember 2013.
Hasan, Hamka. 2009. Tafsir
Jender: Studi Perbandingan Antara Tokoh Indonesia dan Mesir. Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Departemen Agama RI
Sukri,
Sri Suhandjati. 2002. Bias Jender Dalam Islam. Yogyakarta: Gama Media
_________________ 2002. Rekontruksi
Metodologis Wacana Kesetaraan Gender Dalam Islam. Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga-McGill Icihep.
Komentar
Posting Komentar