Internalisasi Nilai Moderasi Agama di Jawa Barat Melalui Media Sosial



 Provinsi Jawa Barat terkenal dengan masyarakat suku Sunda terbesar di Indonesia. Suku Sunda sendiri terkenal dengan sopan, santun, someah hade ka semah dan juga memiliki falsafah silih asah, silih asih, silih asuh. Namun demikian, sungguh menyedihkan, bahwa provinsi Jawa Barat adalah provinsi yang paling intoleran di Indonesia. Ini menjadi momok dan tentu sangat memalukan bagi masyarakat Jawa Barat dan sekaligus menjadi bahan pertanyaan koreksi diri, di mana kemudian suku Sunda yang terkenal dengan falsafahnya tersebut.

Jawa Barat menjadi provinsi yang paling intoleran di Indonesia bukanlah merupakan opini atau spekulasi belaka, Setara Institute telah melakukan riset akan hal itu. Halali salah satu researcher di Setara Institute mengatakan bahwa terdapat 629 pelanggaran kebebasan beragama di Jawa Barat kurang lebih selama 12 tahun terakhir.

Pada tahun 2019, Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag melakukan survei indeks kerukunan umat beragama. Hasil survei menyebutkan bahwa provinsi Jawa Barat termasuk ke dalam Skors Indeks kerukunan umat beragama di bawah rata-rata nasional. Skors ini menjadi fakta lagi yang menguatkan bahwa Jawa Barat merupakan provinsi paling intoleran.

  Menurut Halali, penyebab intoleransi di Jawa Barat adalah konservatisme agama. Konservatisme agama adalah pemahaman dan praktik agama yang berlandaskan secara ketat pada kitab suci atau pada ajaran, ortodoksi, dan tradisi yang dianggap paling benar. Koservatisme agama menolak pemahaman, penafsiran, dan pembaharuan pemikiran dan praktik berdasarkan perkembangan zaman. 

Sebagai salah satu contoh daerah yang konservatisme agamanya terkenal berada di Jawa Barat yaitu di Tasikmalaya. Selain itu, umumnya salah satu yang menyebabkan intoleransi, menurut Sahiron Syamsudin, pakar tafsir Al-Qur’an Indonesia adalah truth claim (mengklaim paling benar dirinya diantara yang lain).

Dalam hal ini, penulis kira sikap moderat masyarakat Jawa Barat sangatlah kurang. Dengan demikian perlu adanya upaya internalisasi nilai moderasi agama. Di dunia digital salah satunya adanya dunia media sosial menjadi sangat strategis untuk internalisasi nilai moderasi agama. Bagaimana tidak, hampir setiap indvidu mengoperasikan gawai dan memiliki akun media sosial. Pertarungan dan pertukaran nilai di media sosial sangatlah cepat dan langsung tepat sasarannya.

Hemat penulis, pemerintah melakukan penjaringan santri atau siapapun untuk kemudian diberikan pelatihan dan workshop untuk membuat akun media sosial dan menyebarkan nilai-nilai moderasi di media sosial sebagai counter narasi nilai-nilai konservatisme agama yang kemudian menyebabkan intoleransi, radikalisme bahkan terorisme. 

Ini jelas adalah permasalah yang sangat nyata dan terbukti menjadi fakta Jawa Barat sebagai provinsi paling intoleran sebagai bibit nilai kea rah radikalisme dan terorisme. Jika terus hal ini dibiarkan, maka Jawa Barat yang di dalamnya ada suku Sunda yang terkenal dengan someah ke semah atau silih asah, silih asih dan silih asuh akan hilang bahkan berbanding balik. Sungguhh Menyedihkan.


Komentar