Imam Al-Busyiri berkata dalam syairnya yang indah:
و النفس كا لطفل ان تهمله شب على # حب الرضاع و ان تفتطه ينفطم
Terjemah Indonesia:
Dan hawa nafsu itu, sama halnya seperti anak kecil, apabila ia engkau biarkan # Ia akan tetap menetek, tetapi apabila ia engkau pisah, ia pun akan berpisah dan tidak menyatu lagi
Terjemah Sunda:
Nafsu cara orok lamun teu disapih tonggoy resep # Kana nyusu mun disapih tangtos ereun moal lami
Dalam teori sastra semiotika, di sini Al-Busyiri mengambil simbol anak yang menetek sebagai nafsu. Selanjutnya, mengapa penulis mengambil dua terjemah sebagai contoh di atas?. Karena unik dan menarik, ada perbedaan antara struktur kata kedua terjemah di atas.
Jika dilihat dari teori sastra strukturalisme, terjemah Indonesia tidak mengikuti struktur kata bahasa aslinya (Arab). Sedangkan terjemah Sunda mengikuti struktur kata bahasa aslinya. Terjemah bahasa Indonesia lebih terpaku pada kesesuaian pada terjemahannya. Sedangkan terjemah Sunda lebih kepada makna dan maksud dari pada keseluruhan bait yang kemudian disesuaikan dengan struktur kata aslinya.
Dalam hal ini, telah kita ketahui bersama bahwa nafsu merupakan suatu keniscayaan yang selalu ada dalam diri setiap manusia. Adalah satu hal yang fitrah sebagai manusia memiliki hawa nafsu. Namun demikian, nafsu tentunya perlu dikendalikan oleh manusia.
Bait di atas menjelaskan bahwa nafsu ibarat anak yang sedang menetek ibunya. Ketika anak tersebut tidak disapih, maka ia akan terus menetek kepada ibunya. Begitupun dengan nafsu, ketika ia tidak dihindari dan dijauhi, maka ia akan selalu menggerogoti dan terus menguasai
Nafsu memang sejak pertama manusia diciptakan sudah menjadi musuh utama. Sebagaimana nabi Adam ketika di surga, ia melanggar ketentuan Allah swt karena ketidakmampuan dalam mengendalikan nafsu. Nafsu ketika itu adalah nafsu godaan setan dengan berbagai versi ceritanya.
Nafsu dan Rahmat Allah itu ibarat dua wajah koin mata uang, ia akan selalu bertolak belakang. Ketika kita selalu dalam Rahmat Allah, maka lenyaplah nafsu, demikian sebaliknya.
Mengendalikan nafsu, salah satu caranya adalah dengan selalu membersihkan hati. Hati ibarat kaca, ketika kita melakukan maksiat, maka ia akan kotor. Rahmat Allah ibarat cahaya. Ketika hati kotor, dan sampai menutupinya, ibarat kaca sampai tertutup penuh oleh debu, maka cahaya (Rahmat Allah swt) tidak akan menembus ke dalam kaca.
Dengan demikian, pembersihan hati menjadi suatu kewajiban yang harus selalu dilakukan untuk melenyapkan nafsu. Paling tidak, pembersihan hati itu dengan salah satunya dengan selalu bermuhasabah dan beristigfar di setiap harinya. Sedikit demi sedikit akan menjadi bukit, itulah adagium yang sudah biasa kita dengar. Begitupun dengan pembersihan hati, sedikit demi sedikit namun tetap istiqomah.
Nafsu yang diibaratkan anak menetek ini harus selalu dijauhi. Kita menjauhi nafsu, menjauhi dengan berbagai kegiatan yang melenyapkannya sebagaimana salah satunya disebutkan di atas. Butuh perjuangan yang konsisten untuk melawan dan melenyapkan nafsu.
Komentar
Posting Komentar