Haikal Fadhil Anam
Disampaikan pada kegiatan “KUMAL”
HMI Korkom UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Perdebatan di antara para tokoh Islam tentang penggunaan
hermeneutika sebagai metode penafsiran Alquran bukanlah suatu hal yang
baru-baru kemarin ini terjadi. Perdebatan tersebut telah terjadi beberapa tahun
silam dengan ditandainya resepsi beberapa tokoh Islam terhadap hermeneutika.
Pro dan kontra tidak bisa dielakan lagi, bahkan tidak sedikit terjadi
kafirisasi terhadap sesama. Dalam artikel ini penulis bermaksud memaparkan
tentang kontroversi penggunaan hermeneutika sebagai metode penafsiran Alquran.
Penulis akan memaparkan terlebih dahulu pengetahuan dasar tentang hermeneutika
dan tafsir dan bagaimana persamaan dan perbedaan di antara keduanya.
Selanjutnya penulis akan memaparkan argumentasi-argumentasi yang menentang dan
menerima hermeneutika sebagai metode penafsiran Alquran. Dengan metode
deskriptif-analitis penulis paparkan artikel ini.
Tafsir dan Hermeneutika: Sebuah Komparasi
Terminologi tafsir muncul dari tradisi Islam. Beberapa pendapat
menyebut bahwa istilah tafsir muncul ketika Imam Bukhori membuat bab dalam
kitab hadisnya Kitab Tafsir Alquran. Secara etimologi tafsir berarti
penjelasan, penyingkapan. Secara terminologi tafsir menurut Al-Zakarsy adalah
ilmu untuk memahami Alquran yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw bai dari
segi penyingkapan maknanya, hukumnya dan hikmahnya.[1]
Al-Jazairi berpendapat bahwa tafsir adalah mensyarahkan lafadz yang sukar
dipahami oleh pendengar dengan uraian menjelaskan maksud. Sedangkan dalam
pandangan al-Jurjani tafsir adalah pada asalnya untuk membuka dan menjelaskan,
dalam istilahnya adalah untuk menjelaskan makna ayat, urusannya, sebab ayatnya,
kisahnya dengan lafadz yang menunjukan secara terang.[2]
Hemat penulis tafsir adalah penyingkapan, pejelasan terhadap Alquran meliputi
segala hal.
Jika terminologi tafsir
muncul dari tradisi Islam lain hal dengan hermeneutika. Embrio
hermeneutika paling tidak sudah ada dan disinggung dalam filsafat antik di
Yunani Kuno. Pada saat itu yang menjadi objek penafsiran adalah teks-teks
kanonik (telah dibuktikan) baik itu kitab suci, hukum, puisi ataupun mitos.
Pada saat itu banyak teks mitos dan epos seperti yang ditulis Homer, Ilias
dan Odysse juga oleh Hesiod, Theogonie dan Werke und Tage. Selanjutnya
hermeneutika dikembangkan oleh para teolog Kristen untuk memahami bible. Baru
setelah itu kemudian hermeneutika menjadi hermeneutika umum. Dapat dilihat
bahwa hermeneutika melalui beberapa tahapan dari hermeneutika teks kuno, ke
kitab suci Bibel baru kemudian hermeneutika umum.[3] Hermeneutika
umum di sini maksudnya adalah hermeneutika yang kemudian tidak terpaku hanya
pada penafsiran kitab suci saja. Pencetus
pertama hermeneutika umum sendiri adalah Johann Conrad Dannhauer. Selanjutnya
dipelopori oleh Ernst Shleiermacher dan Wilhelm Ditlhney.[4]
Hermeneutika
secara etimologi berasal dari kata Yunani, hermeneuein yang berarti
menafsirkan dan dari kata benda hermeneia yang berarti interpretasi.[5] Kata hermeneuein
sendiri diambil dari nama suci yaitu hermes yang konon katanya dianggap
sebagai dewa yang bertugas menjadi perantara antara Tuhan dengan manusia,
bertugas untuk menerjemahkan dan menyampaikan pesan Tuhan. Gadamer mengatakan
bahwa sebelum menjadi sebuah istilah, hermeneutika dipahami sebagai sebuah
aktivitas penafsiran dan pemahaman.[6] Secara terminologi Gadamer berpendapat hermeneutika
adalah seni praktis, yakni techne, yang digunakan dalam hal-hal seperti
ceramah, menafsirkan bahasa-bahasa lain, menerangkan, menjelaskan teks-teks,
dan ia merupakan seni memahami dari sebuah teks yang tidak jelas.[7] Frieddrich Shleiermacher,
hermeneutika adalah seni memahami, dalam artian mengacu pada proses
penyingkapan atau menangkap makna dalam bahasa, struktur smbol atau teks.
Franz-Peter Burkard, hermeneutika adalah seni menafsirkan teks dalam arti luas
refleksi Teoritis tentang metode-metode dan syarat-syarat pemahaman. Werner
secara sederhana mendefinsakan hanya sebaga sebuah teori penafsiran.[8]
Hemat penulis, keduanya adalah
sama-sama berbicara tentang sebuah proses atau langkah metodis untuk memahami
sesuatu. Perbedaan keduanya adala terletak pada sasaran obyeknya. Jika tafsir,
yang menjadi obyek kajiannya adalah Alquran sedangkan hermeneutika setelah
menjadi hermeneutika umum tidak hanya terbatasa pada kitab suci saja melainkan
semua teks yang bisa ditafsirkan atau bahkan semua symbol dan segala sesuatu
yang bisa diatafsirkan tergantung mendasarkan kepada tokoh siapa. Dalam hal ini
yang menjadi permasalahan adalah bahwa apakah kemudian hermeneutika bisa
diaplikasikan untuk kitab suci Alqurana atau tidak. Apakah kemudian relevan
penafsiran yang berangkat bukan dari tradisi Islam atau teori penafsiran untuk
segala teks digunakan kepada Alquran. Di kalangan para tokoh Islam banyak
perdebatan mengenai hal itu. Selanjutnya penulis akan paparkan pro-kontranya
terhadap hermeneutika sebagai metode penafsiran Alquran.
Dalil Kontra Hermeneutika
Paling tidak ada
beberapa dalil/argumen kontra hermeneutika sebagai metode penafsiran Alquran
sebagai berikut:
1.
Hermeneutika berasal dari tradisi Barat
Kristen sehingga tidak mustahil di dalamnya terselubung ideology dan
nilai-nilai Kristiani.
2.
Umat Islam tidak perlu repot-repot
lagi mencari atau bahkan menggunakan metode penafsiran lain, karena di internal
umat Islam sudah banyak metodologi.
3.
Ruang lingkup hermeneutika terlalu
umum sehingga tidak bisa memberika penjelasan yang rinci untuk menemukan sebuah
penafsiran yang benar dan representative.
4.
Dalam teori hermeneutika cenderung
bisa menafsirkan segala sesuatu, sedangkan Alquran itu ada beberapa yang tidak
bisa ditafsirkan oleh nalar manusia.
5.
Dalam teori hermeneutika seorang
penafsir bisa lebih memahami disbanding pengarang itu sendiri.[9]
Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, guru besar di ISTAC Malaysia
mengatakan penafsiran Alquran tidak boleh disamakan dengan hermeneutika dengan
alasan karena hermeneutika berangkat dari tradisi Yunan dan Kristiani sementara
tafsir dari Kristen.[10] Selain itu, Adian Husaini salah satu sarjana Muslim
Indonesia mengatakan bahwa hermeneutika cenderung memandang bahwa Alquran
adalah sebagai teks produk budaya dan abai kepada sifat-sifat transenden
(Ilahiyah), juga hermeneutika sangat plural, karenanya kebenaran tafsir menjadi
relatif dan pada gilirannya sulit untuk diterapkan.[11] Fahmi
Salim misalnya memandang bahwa proyek penggunaan metode pembacaan baru atas
Alquran salah satu di dalamnya hermeneutika adalah proyek sekularisme dan
liberalisme. Ia memandang bahwa para peminat kajia Barat (hermeneutika) adalah
bentuk peniruan pihak kalah kepada pihak menang.[12]
Sahiron dengan mengutip pendapat Yudian bahwa penolakan terhadap
hermeneutika disebabkan latar belakang hermeeutika yang mana hermeneutika
awalnya Hermes memberikan pesan kepada manusia dengan hasil olahan pikiranya
tidak secara verbatim. Dalam hal ini para ulama menentang karena kalau
diaplikasikan kepada Alquran, berbeda. Alquran diwahyukan secara verbatim
langsung oleh Allah dengan lafadznya. Selain itu Sahiron mengutip pendapat
Imarah bahwa hermeneutika itu ilmu tentang kematian pengarang. Hermeneutika
membuka lebar pintu pluraltas makna bagi satu teks tertentu.[13] Begitulah
beberapa argument penolakan terhadap hermeneutika.
Dalil Pro Hermeneutika
Quraish Shihab berpendapat bahwa tidak semua hermeneutika itu
salah. Dengan demikian kalangan yang menolak mentah-mentah itu salah karena
bagaimanapun setiap tawaran akan selalu ada sisi baik dan buruknya. Dalam hal
ini Quraish memandang bahwa dalam hermeneutika pun ada sesuatu baiknya.
Misalnya tawaran Gadamer tentang hermeneutikanya yang berbicara tentang proses
dialektika antara penafsir dengan teks.[14]
Sahiron memberikan argumentasinya bahwa hermeneutika dapat
diterapkan kepada Alquran dikarenakan perbedaan dengan tafsir tidak berbeda
jauh. Meskipun dalam hal jika Bibel wahyu diturunkan dalam bentuk inspirasi
bukan secara verbatim namun keduanya tetap menggunakan bahasa manusia, bisa
diteliti dan ditelusuri. Selain itu proyek pemadun antara keilmuan luar Islam
dan Islam sudah ada sejak dahulu. Misalnya kaum muktazilah menggabungkan
filsafat Yunani dengan Islam.[15]
Adapun tokoh-tokoh Islam lainnya yang menerima hermeneutika
misalnya Muhammad Abduh yan secara operasona melakukan operasi hermeneutidengan
bertumpu pada analisis sosial-kemasyarakatan. Pada tahun 1960 sampai 1970-an,
muncul Hassan Hanafi yang membahas tetang metodologi hermeneutika untuk
aplikasinya terhadap Alquran.[16]
Nashr Hamid Abu Zayd misalnya dengan teori ma’na dan maghza-nya
yang terpengaruh oleh hermeneutika Gadamer dan Hirsch. Abid al-Jabiri dengan
teori al-Fashl (memisahkan
subyektifitas penafsir untuk mendapatkan data obyektifitas teks) dan al-Washl
(menghubungkan subyektifitas penafsir dalam proses penafsiran lanjutan), ia
terpengaruh oleh teorinya Paul Ricoeur. Fazlur Rahman dengan teori double-movement-nya.
Abdullah Saeed berinovasi dengan teori double movementnya Rahman menjadi
kontekstual.[17]
Sahiron dengan teori Ma’na-Cum-Maghza-nya[18]
terpengaruh oleh Gadamer, dan lain sebagainya.
Sumber Bacaan
Al-Dzahabi, Muhammad Husain. Al-Tafsir Wal
Mufassirun. Mesir: Maktabah Wahbah, 1947.
Ash-Shiddiqiey, Hasbi. Sejarah Dan Pengantar Ilmu
Al-Qur’an Dan Tafsir. Semarang: Putsaka Rizkia, 2016.
Faiz, Fahruddin. Hermeneutika Alquran: Tema-Tema
Kontroversial. Yogyakarta: Kalimeda, 2015.
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik Dari
Schleiermacher Sampai Derrida. Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015.
Palmer, Richard E. Hermeneutika Teori Baru Mengenai
Interpretasi. Translated by Musnur Hery and Damanhuri Muhammed. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2016.
Salim, Fahmi. Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum
Liberal. Jakarta: Gema Insani Perspektif, 2010.
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir. Jakarta:
Lentera Hati, 2015.
Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika Dan Pengembangan
Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2017.
[2] Hasbi Ash-Shiddiqiey, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an Dan
Tafsir (Semarang: Putsaka Rizkia, 2016), 154.
[3] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika Dan Pengembangan Ulumul Qur’an
(Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2017), 20–22.
[5] Richard E Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi,
trans. Musnur Hery and Damanhuri Muhammed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016),
14.
[7] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik Dari Schleiermacher
Sampai Derrida (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015), 31.
[9] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Alquran: Tema-Tema Kontroversial
(Yogyakarta: Kalimeda, 2015), 32–26.
[10] Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal
(Jakarta: Gema Insani Perspektif, 2010), 79.
Komentar
Posting Komentar