Dagang Terminologi di Dunia Akademis


Saya adalah mahasiswa. Sebagai seorang mahasiswa, saya harus kritis-akademis. Berbicara di forum khsususnya ilmiah harus bersumber dan berdata. Ketika berbicara dengan dengan lancar, baik dan benar tetapi tidak mengatakan referensinya dari mana, maka kredibilitasnya dipertanyakan, mengapa? karena saya masih mahasiswa, belum profesor. 

Sebentar, kalau logika ilmiah seperti ini, bagaimana mungkin memunculkan sikap kritis, yang ada sikap tekstual. Seorang mahasiswa dilihat dari argumennya jangan hanya terpaku kepada siapa ia mendasarkannya tetapi dilihat dari seberapa jauh dan benar argumen yang disampaikannya. Akal sendiri sudah bisa melihat kebenaran dan tidaknya selama akalnya sehat. 

Kekuatan ingatan seorang berbeda-beda ketika ia berargumen dan lupa sumbernya, namun yang pasti ia sudah memasukan ide dari manapun entah itu buku, ceramahn intelektual atau hasil renungannya. Selama ide yang muncul itu sebagai sebuah kebenaran, kebaikan maka sebaiknya tidak perlu kemudian dipertentangkan dan ngotot ditanyakan sumbernya dari mana. Saya setuju ketika sudah dalam dunia tulisan ilmiah wajib hukumnya untuk mencantumkan sumbernya. Tetapi ketika dalam argumen tidak wajib. 

Berbincang tentang dunia akademis memang tidak akan lepas dari yang namanya sumber data dan hasil analisis kemudian dikritik lantas memunculan ide baru. Dialektika antara hasil analisis satu atau pemikiran satu dengan yang lain merupakan hal yang wajib ada dalam dunia akademis. Karena dengan itulah akan selalu hidup ruh intelektual dan kebaruannya. 

Perdebatan-perdebatan intelektual menumbuhkan ide-ide baru. Terminologi-terminologi baru kemudian muncul dari proses kreatif dialektika pikiran manusia. Dalam dunia akademis juga ada perang dagang. Apa yang kemudian didagangkan di dunia akademis? Terminologi/konsep keilmuan tertentu. Ada pertarungan wacana dan terminologi. 

Ibarat kata, terminologi yang menang pada saat ini di dunia akademis adalah terminologi-terminologi dari Barat. Seolah term akademis yang berbau Barat itu sangat akadems dan ilmiah. Maka, para akademis pun banyak kemudian yang membahasakan term-term yang sejatinya tidak berbahasa Barat kemudian di-Baratkan agar lebih akademis dan wah. Misalnya, Kuntowijoyo dengan konsep liberasi, emanasi, dan transendensi nya yang diambil dari saripati ayat Alquran.

Dagang terminologi, tapi mungkin kasar sekali saya bahasakannya. Tetapi memang kenyataannya demikian, seorang akademis membuat istilah baru dan diiklankan dengan cara mengadakan seminar dan dialog-dialog. Tidak dilarang. Justru kita sebagai bangsa yang katanya masih tidak ilmiah harus memperdagangkan terminologi-terminologi dengan bahasa kita sendiri ke kancah dunia.

Lebih-lebih terminologi kita kemudian yang bisa muncul dominan di dunia. Tentunya pertarungan dan perlawanan terhadapa hegemoni terminologi Barat ini sangatlah susah. Tetapi paling tidak seharusnya di ranah akademis kampus kita menggunakan terminologi-terminologi bahasa kita. Karena saya yakin, bahwa pada intinya keilmuan itu di manapun sama, hanya corak-coraknya saja dan terminologinya yang berbeda. 

Komentar