Agama dan Dimensi Sosial di Dalamnya




DEFINISI AGAMA
Edward Burnett Tylor seorang pria otodidak Inggris pencetus teori animisme[1], mendefinisikan agama sebagai suatu keyakinan terhadap sesuatu yang spiritual. Menurutnya definisi tersebut dapat diterima dan memiliki kelebihan tersendiri karena sederhana gamblang dan mencakup secara luas.[2]

Taylor menyebutkan bahwa setiap agama memiliki satu karakteristik yang sama adalah tentang keyakinannya terhadap roh-roh yang berpikir, berperilaku, berperasaan seperti manusia. Ia memiliki kecenderungan definisi terhadap agama, animisme yang berarti kepercayaan terhadap sesuatu yang hidup dan punya kekuatan yang ada dibalik segala sesuatu.[3]

Frazer mendefinisikan agama sebagai suatu kepercayaan terhadap keliatan supranatural dan usaha-usaha manusia untuk memperoleh pertolongan-Nya dengan cara berdoa atau melakukan ritual-ritual lain, ia telah membebaskan pikiran manusia dari magis. Agama menurutnya tidak pernah mengklaim memiliki prinsip yang tidak bisa dirubah. Agama mengakui bahwa alam berada di bawah kekuasaan dewa-dewi yang mengatur kekuatan alam bagi kepentingan mereka sendiri. [4]

Lain hal dengan, Freud ia menempatkan agama hanya sebagai satu objek studi lanjutan yang menantang. Freud sendiri meruoakan salah satu penolak yang begitu kompleks terhadap agama. Ia sampai akhir hidupnya ateis. Freud menganggap bahwa agama itu takhayul. Namun ia memiliki ketertarikan pada agama yang kemudian banyak memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang penting tentang manusia kenapa masih juga percaya terhadap agama.[5]

Carl Jung Salah satu Freudian mendefinisikan agama sebagai sesuatu yang berisi sekumpulan imajinasi dan ide-ide yang dimiliki secara kolektif oleh setiap umat manusia dan terekspresi dalam mitologi, folklore, filsafat dan kesusastraan. Agama menggunakan alam bawah sadar kolektif.[6]

Setelah agama dianggap takhayul oleh Freud, muncullah seorang Sosiologi yang juga tertarik pada agama, Emile Durkheim. Ia mengatakan bahwa agama adalah satu sistem kepercayaan dengan perilaku-perilaku yang utuh, dan selalu dikaitkan dengan Yang Sakral, yaitu sesuatu yang terpisah dan terkadang.[7]

Salah satu tokoh yang fenomenal Karl Marx mendefinisikan agama sebagai sebuah ilusi. Agama adalah bentuk ideologi, sebuah sistem kepercayaan yang tujuan utamanya adalah dapat memberikan alasan-alasan dan hukum-hukum agar seluruh tatanan dalam masyarakat bisa berjalan sesuai keinginan penguasa.[8] Marx hanya menganggap agama sebatas ideologi. Agama sama saja dengan tatanan negara, seni, tatanan moral dan hasil karya intelektual lain.[9]

Clifford Geertz menyatakan bahwa agama sebagai sebuah sistem kebudayaan. Suatu sistem simbol yang menciptakan perasaan dan motivasi kita, mudah menyebar, dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang dengan cara membentuk konsepsi tentang sebuah tatanan umum eksistensi, melekatkan konsepsi ini kepada pacaran faktual dan pada akhirnya perasaan dan motivasi ini akan terlihat sebagai suatu realitas yang unik. Spiro mendefinisikan agama sebagai suatu institusi yang terdiri dari interaksi yang dipola secara kuktural dengan ada di luar manusia yang dipostulasikan secara kultural.[10]

Allan Menzies menganggap agama sebagai penyembuhan terhadap kekuatan yang lebih tinggi karena adanya rasa membutuhkan. George Galloway merumuskan agama sebagai keyakinan manusia kepada sebuah kekuatan yang melampaui dirinya, kemana ia mencari pemuasan kebutuhan emosional dan mendapatkan ketenangan hidup yang diekspresikan dalam bentuk penyembahan dan pengabdian.

Whitehead mendefinisikan, agama adalah apa yang dilakukan seseorang dalam kesendiriannya. William James menambah perasaan,tindakan, pengalaman manusia individual dalam kesendirian mereka sejauh hal itu membawanya ke dalam posisi yang berhubungan dengan apapun yang dianggap sebagai yang sakral. Milton Yinger merumuskan agama sebagai sebuah sistem kepercayaan dan perilaku yang dengannya sekelompok manusia bergulat dengan problem kehidupan manusiawi yang bersifat Ultima.

J. B Pratt mengusulkan Rumusan agama sebagai pengalaman-pengalaman di mana manusia merasakan komunikasi dengan realitas ilahi. G. Schmid mengatakan agama sebagai suatu jalan untuk melampaui benda-benda individual menuju keseluruhan. Ninnian Smart mengatakan bahwa agama adalah serangkaian ritual yang dilembagakan yang diidentikan Dengan suatu tradisi dan memunculkan perasan sakral yang diarahkan pada fokus ilahi dalam konteks lingkungan fenomena manusia paling tidak secara parsial memiliki penjelasan dalam bentuk mitos atau donktrin.[11]

McGuire mengartikan bahwa agama menjadi dua, substansi dan fungsional. Substansi dengan melihat dari isi keyakinannya dan fungsional sebagai suatu fungsi dari doktrin dan praktik keagamaan.[12] Menurut Bowie ada yang disebut dengan “world religio”, adalah agama yang memilki karakter mendasarkan pada kitab suci yang tertulis, system didasarkan pada wahyu, universal, memiliki potensi menggantikan agama lokal, ritual atau doktrin agama terpisah dari ritual keseharian.[13]

Sidi Gazalba salah satu tokoh Islam di Indonesia mendefinisikan bahwa agama adalah kepercayaan pada dan hubungan manusia dengan Yang Kudus, dihayati sebagai hakikat yang gaib, hubungan mana menyatakan diri dalam bentuk serta system kultus, ritus dan permohonan berdasrkan doktrin tertentu yang biasanya membentuk sikap hidup menghadapi dunia.[14]

Tokoh Islam kontroversial, Ibnu Arabi paling tidak memberikan definisi terhadap agama dapat terlihat dari puisinya “Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk; ia merupakan padang rumputnya menjangan, biaranya para rahib, rumahnya berhala, ka’bah tempat bertawaf, sabaknya Taurat, dan mushafnya Alquran. Agamaku adalah agama cinta, yang kuikuti ke manapun langkahnya, itulah agama keimananku”.[15] Ia mendefinisikan agama sebagai cinta. Wajar jika ia mendefinisikannya seperti itu, karena dengan latar belakag sufismenya yang tinggi, tentu ia akan memandang dari sisi intuisi.

DIMENSI SOSIAL AGAMA

Menurut Robert N. Bellah, ranah kajian ilmu sosial dalam studi agama mencakup tiga aspek. Pertama, mengkaji agama sebagai persoalan teoritis, khususnya dalam memahami tindak sosial. Kedua, mengkaji hubungan agama dan berbagai bidang kehidupan sosial lain, seperti ekonomi, politik, budaya. Ketiga, mempelajari peran organisasi dan gerakan-gerakan sosial keagamaan.[16]

Dapat dipahami bahwa dimensi sosial dalam agama, maksudnya sesuatu yang bisa dikaji dari agama ditinjau dari sisi sosial paling tidak ada tiga sebagaimana disebutkan di atas. Agama kemudian tidak hanya semata sebagai sebuah dogma yang absolut dan juga sesuatu yang semata transcendental tetapi juga bersifat sosial. Maka dalam hal sosial ini, ranah kajian agama dapat pula dikaji dari pendekatan-pendekatan ilmu sosial.

REFERENSI
Aliade, Mircea, W.C Smith, J.M Kitagama, Ninian Smart, and Joachim Wach. Metodologi Studi Agam. Edited and translated by Ahmad Norma Permata. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Bagir, Haidar. Semesta Cinta: Pengantar Kepada Pemikiran Ibnu Arabi. Jakarta: Mizan Media Utama, 2015.
Connoly, Peter. Aneka Pendekatan Studi Agama. Translated by Imam Khoiri. Yogyakarta: PT LKiS Printing Cemerlang, 2011.
Gazalba, Sidi. Mesjid Pusat Ibadat Dan Kebudayaan Islam: Pemikiran Dan Penafsiran Kembali Ajaran Esensi Dan Masalah Islam. Jakarta: PT Pustaka Antara, 1975.
L. Pals, Daniel. Seven Theories of Religion. Translated by Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: IRCiSoD, 2011.
Soehadha, Mohammad. Metode Penelitian Sosial Kualitatif Untuk Studi Agama. Yogyakarta: SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga, 2012.




[1] Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, trans. Inyiak Ridwan Muzir (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011), 30.
[2] L. Pals, 41.
[3] L. Pals, 41.
[4] L. Pals, 59.
[5] L. Pals, 97–98.
[6] L. Pals, 115.
[7] L. Pals, 145.
[8] L. Pals, 201.
[9] L. Pals, 213.
[10] Peter Connoly, Aneka Pendekatan Studi Agama, trans. Imam Khoiri (Yogyakarta: PT LKiS Printing Cemerlang, 2011), 55.
[11] Mircea Aliade et al., Metodologi Studi Agam, ed. and trans. Ahmad Norma Permata (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 14–15.
[12] Mohammad Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif Untuk Studi Agama (Yogyakarta: SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga, 2012), 8.
[13] Soehadha, 17.
[14] Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat Dan Kebudayaan Islam: Pemikiran Dan Penafsiran Kembali Ajaran Esensi Dan Masalah Islam (Jakarta: PT Pustaka Antara, 1975), 12.
[15] Haidar Bagir, Semesta Cinta: Pengantar Kepada Pemikiran Ibnu Arabi (Jakarta: Mizan Media Utama, 2015), 120.
[16] Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif Untuk Studi Agama, 30.

Komentar