Tafsir Psikologi: Amin Al-Khulli



A.    TERJEMAH
Tafsir Psikologi:

Balaghah dan Ilmu psikologi memiliki keterkaitan. Oleh karena itu fakta ini memungkinkan kita mengakui adanya kemukjizatan Alquran secara psikologis. Selain itu, harus diakui pula bahwa tafsir psikologis terhadap Alquran sangat diperlukan. Tafsir ini harus didasarkan pada pengetahuan yang komperehensif dan sejauh mungkin terhadap gerak-gerak jiwa manusia sebagaimana yang diketahui dalam kajian ilmu ini. Tafsir psikologi Alquran juga berkaitan dengan kemampuan ruang lingkup seseorang, sebagaimana diketahui rahasia-rahasia potensi psikologi manusiawi di medan-medan yang mana berhubungan dengan dakwah Alquran yang bersifat keagamaan dan argumentasi yang bersifat ideologis, dan sebuah pelatihan bagi jiwa dan hati seeorang, dan memantapkannya pada suatu perkara yang sudah berlalu yang mana perkara itu sudah baku, dan merelevankan dari masa yang sudah lalu dan masa yang akan datang, dan menghiasinya dengan perkara yang menyeru kepada keimanan, membatalkan perkara lalu yang dianggap final, dan merombak dasa-dasarnya. bagaimana bisa Alquran itu fleksibel terhadap perkara-perkara itu? Dan bagaimana cara untuk meminta pelayanan dari tuntutan-tuntutan yang bersifat psikologis, dari sebuah hasrat yang bersifat kejiwaan, dan bagaimana cara menemukan perhatian dari keseluruhan perkara tersebut, dari pencapain dakwah dan penegakan Alquran.

Adapun tafsir psikologi berdiri di atas asas yang kokoh dari hubungannya terhadap seni retoris dengan psikologi manusia,  dan bahwasannya ada macam-macam keilmuan dan perbedaan atasnya, diantaranya adalah sastra dan etika, tidak ada yang dapat menerjemahkan kecuali dapat dirasakan oleh jiwa. Dan saya pernah merasakan itu ketika belajar balaghah, dan saya tidak berargumentasi banyak bahwasannya pandangan sekilas dari dalam sebuah makna Alquran. Dan dari pandangannya sekilas tadi, diharapkan dapat menjadi pencegah adanya perbedaan. Pandangan itu adalah sebuah opini yang kurang tepat. Dan kajian seperti ini adalah sebuah perkara yang pelik. Dan para ulama itu membangun argumentasi yang ilmiah dan analogi yang filosofis. Tetapi tempat terbentuknya kebahasaan mereka itu jauh dari spirit keilmuan Alquran atau sebuah percobaan penjelasan yang ekslusif.  Lihat contoh tafsir Asyuaro 193-195 dalam karya Fahrurrozi dan dalam surat 6: 145.
Tafsir dan Sosiologi:
Ilmu Tafsir tanpa adanya ilmu sosial tidak akan pernah sempurna. Jadi seorang mufasir tidak boleh tidak harus memiliki perspektif sosial dalam setiap masa, seperti dalam lemah dan kuatnya, mulia dan hinanya, pintar dan bodohnya, iman dan kufurnya. Dari perspektif itu saya berkesimpulan bahwa penafsiran butuh ilmu sosial dan jika tidak maka kurang sempurna. Pengetahuan mengenai kondisi-kondisi dunia makro atas dunia bawah dan dunia atas itu semua dibutuhkan. Banyak disiplin ilmu yang dibutuhkan diantaranya yang terpenting adalah sejarah dengan segala macamnya.

Dan atas segala sesuatu itu, yang paling penting adalah pemahaman secara sastra terhadap Alquran, dan itu harus dikedepankan atas pemahaman apapun yang lainya. Setelah itu baru kepentingan-kepentingan lain seperti memberi petunjuk kepada manusia atau memperbaiki keadaan mereka atau membuat hukum-hukum bagi mereka. Maka semua ini harus berdasarkan pada dasar kajian sastra yang kokoh sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Setelah itu semua, saya teringat akan sesuatu yang tidak pernah saya lupakan setiap kali saya menjelaskan metode yang kaku tentang kajian sastra atau lainnya. Saya berkata: betapapun tuntutan-tuntutan ini membawa pengaruh yang dapat memperberat langkah kami baru akan muncul di kemudian hari, menjadikan kami merasakan kurang, dan harus menerima kritikan yang mencemooh, tetapi inilah kebenarannya. Kami tidak akan membohongi diri sendiri dan generasi selanjutnya. Setelah itu, kami menganggap sangat memadai dan telah memiliki kemampuan yan sempurna. Kalaupun kami  tidak memiliki kesempurnaan kecuali perasaan kurang, itu lebih baik bagi kita daripada melakukan penipuan.

Terakhir tulisan ini secara umum sangat ringkas. Namun tulisan ini dapat menggerakan mereka yang memiliki minat terhadap kajian tafsir dan penelitian yang luas. Bukan salah saya apabila setiap pembaca tidak menemukan kepentingannya di sini. Ini bukan merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan itu.


B.     RESPON PAPER
a.      Inti Gagasan Teks
Tafsir psikologi ini berbicara tentang adanya fakta kemujizatan Alquran secara psikologis. Di sisi lain, tafsir psikologis terhadap Alquran sangat diperlukan Amin menyebutkan bahwa untuk memahami tafsir ini perlu pengetahuan yang komperehensif atas sastra Alquran. Amin ingin berbicara tentang ijaz Alquran dari sisi teksnya.Ia berusaha untuk memunculkan tafsir yang mana produk pemahaman tafsirnya dari dalam teks itu sendiri dari unsur kesustraannya, rasanya, dan batin teksnya.
Tafsir harus didasarkan pada upaya menangkap hal-hal yang digunakan oleh Alquran itu sendiri, yaitu gejala-gejala jiwa dan hukum spiritualitas. Yang paling tepat untuk dijadikan landasan tafsir adalah kaidah-kaidah psikologis. Analisis psikologis terhadap Alquran akan mampu menghilangkan perbedaan-perbedaan di kalangan mufasir. Mereka hanya berusaha melalui analisis bahasa, logika ilmiah, itu semua kering.

Selain perlunya mengetahui psikologi, seorang mufasir juga perlu mengetahui sisi sosial seseorang baik itu dari masanya, kuat lemahnya, mulia hinanya, pintar bodohnya, iman dan kufurnya. Dengan demikian pemahamannya akan lebih sempurna. Unsur makna dalam dan unsur makna luar atau dalam bahasa Amin adalah Ma Fi Alquran dan Ma Hawla Alquran akan diketahui dan hasilnya akan lebih komperehensif.

b.      Kelebihan dan Kekurangan
Menurut penulis, metode tafsir psikologi yang ditawarkan Amin ini menarik dan bagus. Hal ini sebagaimana yang ingin dicapainya adalah paling tidak untuk menghilangkan sedikit banyak perbedaan-perbedaan pemahaman yang ditimbulkan oleh para mufasir. Di sisi lain, tafsir ini lebih ingin menggapai sisi makna dalam atau ruh Alquran itu sendiri. Tafsir ini ditujukan untuk menggapai sisi spiritualitasnya. Bagaimanapun memang agama itu banyak berbicara tentang spiritualitas terlebih Tuhan sendiri hanya dapat dikenali dari sisi spirtualitas. Tafsir ini juga mencegah dari pemahaman yang kering, yang hanya mengandalkan nalar yang logis, dan ilmiah.

Namun, demikian, tentu tafsir ini juga memiliki kekurangannya. Pertama, untuk sampai pada pemahaman makna spiritualitas akan berbeda-beda sesuai latar belakangnya masing-masing. Di sini justru akan menimbulkan lebih banyak perbedaan dalam pengungkapan makna batin, karena akan lebih banyak produk pemahaman yang subjektif.

c.       Kontekstualisasi dan Pengembangannya
Sebagaimana pada teori umum, bahwa kontekstualisasi adalah bentuk usaha untuk menyesuaikan pemahaman yang dulu ke masa sekarang. Jika melihat karya ini muncul, maka sebenarnya masih terbilang di masa-masa yang tidak terlalu jauh dengan masa penulis. Kontekstualisasinya yang dapat penulis singgung adalah bahwa memang, kontemporer saat ini butuh produk tafsir yang psikologis, terlebih di era media sosial dan khususnya sekarang masa politik yang mana ujaran kebencian dan caci maki banyak beredar. Di mana juga, produk-produk tafsir banyak yang bersifat politis, maka seharusnya perlu untuk digunakan tafsir psikologi ini.

Berbicara tentang bagaimana kemudian pengembangan dari tafsir ini, penulis rasa penulis masih terlalu dini untuk membicarakannya, terlebih dengan kapasitas keilmuan penulis yang masih sangat kurang kompeten. Namun demikian, penulis hanya ingin berangan-angan kalaulah boleh, penulis ingin mengembangkan tafsir psikologi dengan mensintesiskan kepada keilmuan sosial dan filsafat. Bagaimanapun dalam Alquran tidak hanya makan batin yang harus dicari tetapi juga bagaimana kemudian makna secara filosofis juga sosial. Makna batin ditujukan untuk pribadi masing-masing secara kejiwaan, di sisi lain juga perlu kiranya makna filosofis untuk diterima oleh akal yang mana kemudian dari makna psikologis dan filososif itu dapat teraplikasikan dalam ranah sosial. Sehingga kalua boleh penulis sebut, tafsir dengan metode psikologis-filosofis-sosialis.


Komentar