Ethioshopia merupakan istilah baru yang dimunculkan oleh salah
seorang akademisi muslim Indonesia yaitu Fawaid Abrari. Istilah baru tersebut
muncul dan dikenalkan melalui karyanya yang berjudul “Ethioshopia: Sebuah
Tafsir Falsafi Menembus Batas Rasionalitas”. Saya sendiri mengetahui kata
Ethioshopia langsung dari pencetusnya ketika mengikuti salah satu seminar yang
diisi olehnya. Setelah beberapa minggu mengikuti seminar tersebut, akhirnya saya
mendapat kabar bahwa karyanya telah terbit dalam bentuk buku.
Dalam hal ini, saya tidak bermaksud untuk meresensi atau bahkan menjelaskan
isi buku ini. saya sangat mengakui kapasitas diri saya yang masih belum cukup
mampu untuk menjelaskannya. Hanya saja, saya hanya ingin menyadur/ mengutip
secarang langsung beberapa komentar-komentar atau redaksi-redaksi yang penting
dari buku tersebut yang kiranya dapat sedikit memberi gambaran apa yang
dimaksud dengan Ethioshopia.
Dalam kata pengantar yang ditulis oleh Dr. Phil. H. Sahiron
Syamsuddin, M.A., ia memberikan penjelasan secara ringkas mengenai buku
Ethioshopia tersebut sebagai berikut:
“Buku ini membangun satu gagasan tentang hubungan integral antara
iman dan etika, bahwa kualitas mukmin yang tinggi terukur dari moralitas
etiknya sehari-hari. Hubungan antara dimensi batin (iman) dan dhahir manusia
(moral etik), yang dilihat dari kacamata rasionalitas, tentu hal itu buka
sesuatu yang mudah. Buku Ethioshopia ini menjadi permulaan awal, yang cukup
berani, setidaknya untuk membangun tradisi ilmiah tersendiri bagi orang-orng
Indonesia”
Lanjut komentar Sahiron:
“Tafsir falsafi Ethioshopia adalah salah satu model kritik cerdik
yang halus atas berbagai pandangan dunia filsafat bahwa diskursus iman hanya
akan mempertebal inferioritas iman di hadapan rasionalitas. Pemetaan antara
percaya, yakin dan iman adalah suatu usaha yang cukup baik untuk menepis salah
kaprah tentang pemaknaan iman.”
Saya juga ingin mengutip secara langsung untuk penjelasan Ethioshopia
secara singkat dari yang penulisnya langsung di bagian Bab “IkhtisarEthioshopia”
sebagai berikut:
“Tafsir falsafai Ethioshopia memasukan unsur-unsur teori filsafat
dalam memahami ayat tentang etika dan keagungan moralitas figur universal
tersebut (Muhammad)”
“Ethioshopia meyakini adanya sebuah proses untuk sampai pada tahap
iman yang ssungguhnya. Akhirnya Ethioshopia menyandingkan iman dengan hidayah.
Ethioshopia memaknai hidayah secara rasional sebagai proses perjalanan dan
pengalaman manusia menuju puncak rasionalitas, hingga pada akhirnya ia
menemukan pijakan terakhir sebagai suatu keadaan kepasrahan penuh. Pada kondisi
tersebut, iman baru saja dimulai. Selanjutnya iman dikaji secara rasional
sebagai ungkapan metaforis yang menggambarkan pengalaman transenden-teologis
seseorang.”
“Kajian tentang etika Islam dan kefiguran Nabi Muhammad,
Ethioshopia melakukan pendekatan model analisis-rasional-filosofis, yang
penekanannya tertuju pada moralitas Nabi dan nilai moral dalam akal budi murni.”
“Kajian etika dalam Alquran, Ethioshopia menghadirkan Fakhruddin
ar-Razi dengan pendekatan rasional sebagai referensi yang cukup, mengingat secara rasional ar-Razi
menganggap bahwa keagungan moralitas Nabi Muhammad bukanlah semata-mata karena
agama agung yang dibawa, melainkan secara tabiat Nabi Muhammad adalah sosok
yang mulia. Pada tahap selanjtnya, ar-Razi melakukan penegasan bahwa Nabi
Muhammad tidak dipengaruhi oleh apapun dalam tindakan baiknya, kecuali kehendak
baik dalam dirinya sendiri. Ar-Razi dalam tafsirnya juga menegaskan bahwa Nabi
Muhammad mampu keluar dari unsur-unsur keterpaksaan dan tujuan imbalan dari
perilaku baik yang dimilikinya. Ethioshopia mengintegrasikan hal tersebut
dengan menghadirkan Immanuel kant, sang bapak filsafat etika, sebagai pisau
analisis dalam menelisik lebih tajam mengenai moralitas dan nilai moral Nabi
Muhammad.”
Terakhir, yang juga menjadi penting menurut saya adalah paragraf
penutu dari buku tersebut sebagai berikut:
“Ethioshopia memaknai iman sebagai hukum moral an sich,
sebuah perintah penuh pada maksim, yang melahirkan sikap moral, dalam artian
bahwa iman dan moralitas seperti dua muka mata uang, antara satu dengan yang
lainnya saling memiliki berpautan. Kesinambungan inilah yang menurut
Ethioshopia menjadi landasan dalam menelaah mengenai iman, sebagai hubungan
romantis manusia dengan Tuhan, sekaligus kajian etika sebagai gambaran kualitas
iman seseorang, sebagai hubungan humanis-harmonis antara manusia dengan realitas.
Iman dan moralitas adalah ibarat kidung kembar dua benua yang berhlu-hilir ke
muara yang sama.”
Saya hanya masih bisa menyadur sedikit apa yang kiranya menurut
saya pokok atau penting, dan belum tentu juga menjadi pokok atau penting
menurut pembaca jika langsung membaca bukunya, atau bahkan bukan redaksi-redaksi
tersebut yang meneurut penulisnya langsung penting. Namun demikian, saya hanya ingin
memberikan cuplikan atau gambaran sedikit tentang buku yang memiliki gagasan
dan ide yang baru dalam dunia keilmuan tersebut, sehingga dapat memantik
pembaca untuk langsung membacanya. Semoga gambaran yang sedikit tersebut dapat
memantik untuk selalu memeiliki ketertarikan kepada isu-isu atau ide-ide yang
baru dalam dunia keilmuan.
Komentar
Posting Komentar