Aku Pulang dan Teladan dari Bapak


Perjalananku dari Jogja ke Banjarsari kemarin cukup melelahkan. Aku sedari pagi, bangun, dan langsung menuju stasiun kereta api. Aku memang sudah merencanakan untuk tidak kuliah, demi bertemu orangtuaku. Ya. Orangtuaku (bapak) sakit.

Aku naik kereta dua kali. Dari stasiun Lempuyangan Jogja, aku naik kereta Joglosemakerto ke stasiun Kutoarjo. Di Kutoarjo, aku menunggu kereta selanjutnya kisaran 1 jam.

Di jalan dan di kereta aku sendirian. Setelah sampai di stasiun Kroya, aku tidak sendirian lagi, sepasang suami istri yang baru menikah telat duduk di depanku. Kau tau, kursi kereta ekonomi hadap-hadapan dua. Sampingku kosong, dan depanku mereka berdua. Beginilah jomblo.

Karna aku muak lihat mereka saling senderan dan aku senderan ke besi kaca, aku pun menidurkan diri. Beberapa jam kemudian aku bangun dengan wajah kusam, bibir manyun, leher susah gerak. Aku lihat mereka berdua masih saling sender.

Sampai di stasiun Banjar, aku langsung jalan kaki menuju tempat bis lewat. Yaa lumayan jalan kaki 4km lah. Di bawah panas terik matahari, aku kaya gembel jalan di trotoar. Sengaja, aku ga minta dijemput, karna ga mau repotin.

Aku menunggu di perempatan lampu merah, selang beberapa menit bis pun datang. Naik bis ini mengingatkanku kalau dulu hendak pulang dari pondok Darussalam. Biasanya aku pulang 3 bulan sekali atau bahkan pas hanya liburan, dan bareng teman-temanku. 

Bis pun nyampe di jalan ke arah rumahku. Aku pun jalan kaki kembali, dan selang beberapa meter, ada pemuda yang aku kenal dan dia nawarin aku naik motornya. Ya aji mumpung, aku pun naik langsung. 

Ku buka pintu rumah, dan ku lihat ada bibiku di samping bapaku. Bapakku keliatan pucat sekali. Aku Salim ke bapaku. Masuk ke kamar dan ganti pakai sarung. Gerah. 

Aku tanya ini itu ke bapaku. Kenapa ko pulang ke rumah, ga di rawat di rumah sakit aja? Ia jawab. Bapak ga ingin merepotin orang lain yang jenguk ke rumah sakit, harus bolak balik jauh, kasian. Jadi bapak pulang aja. 

Ya Allah, dalam hatiku, ko bisa sampai begitu, bapak masih memikirkan orang lain. Kondisi sendirinya seharusnya yang diperhatikan. Ia justru mikirin orang lain. 

Benar saja, aku datang siang, sorenya banyak yang terus menjenguk. Kata ibu udah seminggu yang jenguk ga berhenti-henti. Bapak sendiri pun bilang ke orang ga kenapa-kenapa. Ia bahkan hilang untuk ga ngasih tau orang lain. 

Selain itu, bapaku juga masih mikirin orang yang juga sedang sakit, jamaah masjidnya. Katanya kalo bapak sakit banyak yg jenguk, harusnya jamaah masjid itu juga banyak yg jenguk, kasian. Hmm keren. 

Aku tertegun sama bapaku sendiri. Ia masih terus tetap memikirkan orang lain. Aku pun bisa mengambil hikmah terus dari bapaku. Ia selalu memberiku teladan-teladan. Ungkapnya, cara untuk menghidupkan hati adakah dengan merasa simpati, empati kepada orang lain. 

Al-Isaar itulah sifat nabi. Mementingkan kepentingan umum daripada pribadi. Semoga aku kita kamu pun bisa memiliki sifat seperti itu. Aku tidak bermaksud membanggakan bapaku, aku hanya ingin ini bisa menjadi hikmah bagi semua. Semoga.. 

Komentar