Menyemai Cinta Menuai Rindu


Bolehkah aku memulai tulisan ini dengan kata rindu? ah tidak sedikit ketika ku mulai dengan kata rindu, maka sedikit banyak berkata bahwa aku lebay dan lain sebagainya. Jangan begitulah, aku ini serius rindu. Rindu ini pun bermacam entah harus untuk siapa dahulu. Yang jelas dan pasti kini aku sedang merindu.

Baik, mari kita berbicara tentang rindu yang abstrak ini. Rindu memang selalu mengundang banyak tanya untuk selalu dijawab adanya. Mungkin dari sejak awal manusia ada, dalam tradisi agama semit mungkin nabi Adam dan Siti Hawa, adalah manusia pertama yang merasakan bagaimana itu rindu. Entah rindu kepada sesamanya atau rindu pada tempat atau rindu pada Allah atau rindu pada yang lainnya. 

Rindu tidak ada habisnya. Lalu? siapa pencipta rindu ini? Ah.. tentu adalah sang Maha Perindu. Adalah Allah ia sematkan nama dan sebut diri-Nya. Allah adalah sang Maha Perindu yang tidak pernah berhenti merindu. Ia adalah Puncak Kerinduan itu sendiri. Namun, tentu yang merindukan-Nya dan dirindukan-Nya adalah mereka yang memiliki kedekatan dan sering bercumbu dengan-Nya. Baik, rindu dengan-Nya memang merupakan rindu dari puncaknya rindu-rindu yang ada. Perlu proses yang panjang untuk sampai pada rindu yang demikian. 

Bagaimana dengan rindu yang membumi? maksudnya rindu antar sesama makhluk atau yang terlihat, teraba, terdengar, tercium oleh panca indera. Mungkin rindu ini kadang membara tak tertahan bagai seorang istri yang ditinggalkan oleh suaminya begitupun sebaliknya, yang mana telah lama menyemai cinta dan asmara. Akan terbayang jelas nantinya ketika mereka bertemu dan akan saling memeluk erat melepas rindu yang bahkan takkan terlepas, yang tentu inginnya selalu bersama. Begitulah cinta ada dan rindu di dalamnya. 

Namun, saat ini, terkadang rindu berkonotasi jelek. Rindu telah tergeser maknanya menjadi rindu yang tak dalam dan memiliki makna yang begitu luhur dan suci. Kata rindu saat ini hanya diucapkan sebatas ucapan yang tak lebih dari sekedar kata-kata biasa. Ya, adalah kata rindu yang dipenuhi nafsu-nafsu yang buruk. Rindu ini boleh jadi rindu, tetapi bukanlah rindu yang sebenarnya, hanya sebatas rindu yang tersamarkan oleh nafsu.

Penulis sendiri masih sering terjebak dalam rindu yang seperti itu, bagaimanapun begitu sulit untuk sampai pada rindu yang suci dan sebenarnya. Namun, amatlah penting untuk terus belajar bisa merindu sampai menjadi rindu yang sebenarnya dan tak terselipi oleh nafsu-nafsu di baliknya. Rindu yang sebenarnya adalah rindu yang didasarkan pada cinta yang cinta itu juga sebenarnya. Cinta yang dilandasi oleh kecintaan pada Allah. 

Begitulah, semua rindu dan landasan cinta tersebut perlu perjuangan. Bukankah hidup ini perjuangan? Akan tetapi seringkali banyak yang salah dalam orientasi yang diperjuangkannya. Terkadang sarana menjadi tujuan. Misalnya materi. Bukankah materi hanya sarana bukan tujuan. Bukankah tujuannya adalah Allah semata. Begitulah, kita terkadang lalai dan lupa. Maklum manusia. Paling tidak, kita harus terus memusatkan perjuangan untuk memperjuangkan cinta-Nya sehingga bisa merasakan nikmat merindu pada-Nya. 

Ahhh. .. Sudah ya, aku rindu. Semoga rindu ini terasa oleh siapa saja yang aku rindu. Malam Tahun Baru, semoga selalu tertanam rindu untuk kita semua. Mari menyemai cinta untuk menuai rindu.

31 Desember 2018

Komentar