Ilmu tafsir merupakan salah satu ilmu
yang digunakan untuk memahami al-Qur’an. Tafsir adalah penjelasan, maksudnya adalah
penjelasan mengenai ayat-ayat al-Qur’an. Al-Qur’an tidak dapat begitu saja
langsung dikonsumsi dengan hanya melihat dari sisi terjemahnya, perlu untuk
memahami ilmu tafsir, atau paling tidak dengan membaca hasil penafsiran para
ulama. Hal ini tentu sangat penting bagi yang ingin memahami al-Qur’an secara
mendalam. Ilmu Tafsir pun dapat disikapi secara ilmiah, dan dikelola dengan
metode ilmiah.
Sikap yang harus ditanamkan dalam
memperlajari ilmu tafsir menurut penulis paling tidak adalah keterbukaan pikiran
(open-mind). Mengapa demikian, karena
ilmu tafsir itu sangat luas tidak hanya muncul dari satu ulama saja, setiap
periode tentu memiliki perbedaan dalam penjelasan mengenai ilmu tafsir,
terlebih sudah berabad lamanya al-Qur’an di dunia ini. Maka dari itu,
keterbukaan pikiran (open-mind)
sangat penting untuk bisa menerima berbagai perbedaan-perbedaan dalam ilmu
tafsir.
Dalam ilmu tafsir, ada juga
metode-metode yang digunakannya. Metodenya pun sangat beragam tergantung dari
ulama atau pendapat yang diambil. Bisa single
method atau bahkan multi method.
Paling tidak, metode yang sudah masyhur di kalangan para mufassir ada 4, yaitu;
metode ijmali, tahlili, maudhui, dan
muqaran. Metode ijmali adalah
menafsirkan al-Qur’an secara umum. Metode tahlili
adalah menafsirkan al-Qur’an secara terperinci. Metode maudhui adalah menafsirkan al-Qur’an secara tematik. Terakhir,
metode muqaran adalah menafsirkan
al-Qur’an dengan membandingkan penafsiran yang sudah ada.
Setelah berusaha menafsirkan dengan
beberapa metode di atas, selanjutnya dapat disimpulkan dengan beberapa aspek
yang perlu diperhatikan di antaranya yang paling penting menurut penulis
adalah, menyimpulkan dengan tidak mengklaim kebenaran mutlak, dalam artian
kesimpulannya bersiaft tentatif dan bisa dalam bentuk penjelasan bagaimana
penerapannya. Karena bagaimanapun, penafsiran yang dilakukan tidak akan
bersifat mutlak benar, karena dalam hal ini, yang bisa membenarkan adalah
pengarangnya itu sendiri, daam hal ini Allah.
Aktivitas penafsiran ini tentu bisa
dilakukan secara individual ataupun sosial dalam artian lembaga. Misalnya, jika
secara individual adalah yang dilakukan oleh kebanyakan mufasir klasik, seperti
Ibnu Jarir at-Thabari dan lainnya. Secara sosial, misalnya lembaga tertentu
memberikan penafsiran dengan aturan tertentu dan dilakukan oleh lebih dari satu
orang. Atau contoh konkritnya, penafsirn yang dilakukan oleh dua orang yaitu
tafsir jalalain (al-Mahali dan
as-Suyuti) kemudian tafsir al-manar
(Abduh dan Rasyid Ridha).
Pengaruh atau efek penafsiran tentu
tergantung bagaimana hasil penafsirannya. Misalnya, jika tafsir itu berkenaan
tentang budaya, lantas mewarnai budaya itu sendiri, maka pengaruh yang
dihasilkan dari segi budaya. Jika hasil tafsirannya adalah sosial, maka efeknya
akan berdampaka pada pola sosial masyarakat. Namun pada intinya, karena ranah
penafsiran adalah dalam bingkai agama, tentu yang paling berpengaruh adalah
terhadap sisi perilaku keagamaan seseorang.
Komentar
Posting Komentar