Refleksi Terhadap Film Robinson Crusoe



Film Robinson Crusoe bukan saja hanya berbicara tentang cara bagaimana harus survival di tengah kesendirian di pulau yang tak tahu menahu sebelumnya, tetapi juga bagaimana proses interaksi sosial dengan lingkungan sekitar. Di dalam film tersebut banyak tersirat berbagai macam pelajaran yang bisa diambil. Mulai dari survival seperti telah tadi saya sebutkan di atas, kemudian, cara interaksi sosial, mengamati adat istiadat yang sangat berbeda dan memahami keyakinan yang berbeda.

Hal pertama yang membuat penulis penasaran dalam film tersebut saat mana ia harus berkomunikasi dengan Friday, yang bahasanya pun berbeda. Bagaimana kemudian, Robinson berusaha untuk memahamkan Friday. Ia terus berusaha untuk berkomunikasi, sampai akhirnya Friday tersebut bisa berkomunikasi berkat Robinson.

Kemudian, hal yang menarik yang kedua adalah, di saat Robinson berusaha untuk mengajarkan atau menyampaikan tentang ketuhanan. Ia menjelaskan bahwa yang menciptakan dirinya adalah Tuhan. Friday mengatakan bahwa Tuhannya adalah Pakia (Buaya Besar). Bahwa Tuhan dia berupa Tuhan yang bersifat praksis. Ia menjelaskan jika ingin segar bugar makan jantung manusia, jika ingin yang lainnya makan ini itu dan lain sebagainya. Robinson membantah, dan berkata kasar terhadap Friday bahwa itu bukanlah Tuhan. Tetapi Friday tetap bersikukuh dengan keyakinannya, dan begitu pun Robinson tetap membantah dan menyalahkan. Akhirnya, sebab perdebatan itu, keduanya justru malah saling menjauh dan saling diam.

Jika dianalisis menggunakan definisi agama menurut Meredith, yang menjadi dua kategori yang agama bersifat substantif dan fungsional, dapat kita ketahui perbedaannya bahwa agama yang diyakini oleh Friday lebih bersifat fungsional dan sebaliknya Robinson bersifat substantif. Fungsional memfokuskan perhatian pada apa yang dibuat oleh agama bagi individu dan kelompok sosialnya, sedangkan substantif sebagaimana didefinisikan oleh Melford Spiro, agama yaitu satu institusi yang terdiri dari pola-pola interaksi kultural dengan makhluk-makhluk adikrodati yang dipercayai secara kultural (Marzali, 2016: 60)

Dari sana, saya mengambil pelajaran yang walaupun sudah tahu, bahwa ketika berbicara dalam masalah keyakinan, kita tidaklah seharusnya memaksakan apa yang kita yakini terhadap orang lain yakini. Apa yang menurut kita salah belum tentu salah menurut orang lain, begitu sebaliknya. Keyakinan merupakan hal yang paling fundamental. Paling primer dalam diri setiap orang yang memiliki keyakinan, terlebih urusan Tuhan.

Hal ketiga yang menurut saya menarik adalah, bagaimana kemudian, dua latar belakang yang berbeda pada yang bersamaan bisa bersatu an saling mengenal. Ini sangat berbeda sekali latar belakangnya, antara yang satu sangat mengenal dunia modernitas dan yang satu terkungkung dengan adat istiadat mitosnya. Hal ini tentu bukan persoalan mudah untuk saling mengenali, hanya saja, kepintaran dari Robinson dan kesabarannya membuat ia bisa berteman dengan orang yang sangat berbeda latar belakangnya.
Referensi
Mirzail, Amri. 2016. “Agama dan Kebudayaan” dalam Umbara: Indonesian Journal of Anthropologis, Vol. 1 (1) Juli 2016

Komentar