Menyoal Sekilas Filsafat Ketuhanan Al-Kindi



Salah satu karya al-Kindi yang berbicara tentang ketuhanan adalah Fi al-Falsafat al-Ula dan Fi Wahdaniyyat Allah wa Tanahi Jirm al-Alam. Dalam tulisan tersebut dapat dilihat bahwa pandangan al-Kindi tentang ketuhanan sesuai dengan ajaran Islam dan bertentangan dengan pandangan Aristoteles, Plato, dan Plotinus. Menurutnya, Allah adalah wujud yang sebenarnya, bukan berasal dari tiada kemudian menjadi ada. Ia mustahil untuk tidak ada, Ia selalu ada dan akan ada selamanya. Allah adalah wujud yang sempurna yang awal dan tidak didahului wujud yang lain. Allah adalah yang maha Esa yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak mungkin ada zat lain yang menyamai-Nya.[1]

Allah bagi al-Kindi adalah pencipta dan bukan penggerak pertama sebagaimana dikatakan Aristoteles. Karena itu dalam hal ini, pendapatnya lebih dekat dengan filsafat Plotinus yang mengatakan bahwa Tuhan Maha Satu adalah sumber dari alam ini dan sumber dari segala yang ada.[2] Allah tidak mempunyai hakikat dalam arti aniah dan mahiah. Allah tidak aniah karena Allah bukan benda yang mempunyai fisik. Allah juga tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiah karena Allah bukan merupakan genus dan species. Bagi al-Kindi Alah itu unik. Ia hanya satu dan tidak ada yang setara dengan-Nya. Dialah Yang Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan dan Yang Benar Yang Tunggal (al-Haqq al-Wahhid). Selain daripada-Nya mengandung arti banyak.[3]

Allah dalam pandangan al-Kindi hanya bisa digambarkan dengan penegasian dalam artian disematkan dengan kata-kata negatif. Misalnya Allah tidak sama dengan ciptaan-Nya, Allah tidak berbentu, Allah tidak berbilang, Allah tidak berhubungan, Allah tidak berbagi, dan tidak-tidak yang lainnya. Dalam kaitan ini, peniadaan sifat Allah bagi Mu’tazilah salah satu teolog yang biasa dicap dengan rasionalitasnya mengatakan bahwa Allah berarti memiliki hakikat. Lain dengan al-Kindi yang justru menyebut bahwa Allah tidak memiliki hakikat. Al-Kindi sangat menegaskan dan menekankan ketidaksamaan-Nya dengan ciptaan-Nya.[4]

Dalam hal pembuktian bahwa Allah itu ada, al-Kindi menawarkan tiga argumennya, sebagai berikut:

1.      Barunya Alam.
2.      Keanekaragaman Wujud’
3.      Kerapian Alam

Adapun argumen barunya alam, Al-Kindi mengemukakan bahwa tidak mungkin alam ini mempunyai permulaan waktu dan setiap yang mempunyai permulaan akan berkesudahan (mutanahi). Setiap benda ada yang menyebebabkan wujudnya dan mustahil benda itu sendiri yang menjadi sebabnya. Dengan demikian bahwa alam semesta baru dan diciptakan dari tiada oleh yang menciptakannya, yakni Allah.

Kemudian argumen yang kedua, keanekaragaman dalam wujud, Al-Kindi berargumen bahwa tidak mungkin ada keanekaragaman terjadi dengan sendirinya atau secara kebetulan, tetapi ada yang menyebabkan atau merancangnya. Sebagai penyebabnya mustahil alam itu sendiri dan jika alam yang menjadi sebab (Illat’)-nya akan terjadi tasalsul (rangkaian) yang tidak akan habis-habisnya. Dengan demikian bahwa yang menjadi penyebab harus berada diluar alam itu sendiri, yakni Zat Yang Maha Baik, Maha Mulia, yang mendahului adanya alam, yang disebut Allah Swt.

Al-Kindi menyebutkan bahwa ada dua sebab atau ‘illat: Pertama, sebab yang sebenarnya dan aksinya adalah ciptaan dari ketiadaan (ibda’) adalah Allah Yang Maha Esa, Pencipta Tunggal alam semesta. Kedua, sebab yang tidak sebenarnya, sebab yang menyebabkan sebab-sebab itu sendiri. Sebab ini jelas membutuhkan yang lain tanpa berkesudahan. Ia bukanlah bukanlah sebab yang menciptakan alam ini.

Adapun argumen yang ketiga, kerapian alam. Al-Kindi menegaskan bahwa alam empiris ini tidak mungkin dan terkendali begitu saja tanpa ada yang mengatur dan mengendalikannya. Pengatur dan pengendalinya tetntu yang berada diluar alam dan tidak sama dengan alam. Zat itu tidak terlihat, tetapi dapat diketahui dengan melihat fenomena atau tanda-tanda yang terdapat di alam. Zat itulah yang disebut Allah

Demikianlah bahwa sekalipun Al-Kindi bergelut dalam dunia filsafat Yunani, ia tidak begitu saja menerima ide-ide yang ada didalamnya tetapi ia menyesuaikan dengan ajaran Islam sehingga nuansa keislaman tetap terjaga.[5]




[1] Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 50
[2] Muhammad Hasbi, Pemikiran Emanasi Dalam Filsafat Islam dan Hubungannya Dengan Sains Modern,  dalam Jurnal Al-Fikr, Volume 14 Nomer 3 Tahun 2010, hlm. 367
[3] Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya., hlm. 51
[4] Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya., hlm. 52
[5] Zulfian Awaludin, Al-Kindi dan Filsafat Ketuhanan, dalam https://www.qureta.com/post/al-kindi-dan-filsafat-ketuhanan, diakses pada 22 September 2018

Komentar