Keberislaman dan Dalil Instan di Era Digital, Bagaimana Sikap Kita?



Era kita adalah era digital. Era di mana berseliweran alat-alat canggih yang hanya dikuasai oleh 10 jari tangan kita. Era yang hanya dengan menekan satu tombol kita bisa melihat dunia secara luas. Era di mana kita bisa belanja tanpa keluar rumah sekalipun, dan lain sebagainya. Era ini kemudian menimbulkan perubahan dari pada pola keberislaman masyarakat secara umum.

Masyarakat di era ini dapat belajar Islam dengan mudah. Digitalisasi materi keislaman dari mulai sejarah Islam, akhlak, akidah dan lain sebagainya telah berseliweran di dunia maya. Masyarakat secara bebas dapat mengaksesnya kapan saja atau bisa menerima materi keislaman kapan saja. Kemudahan seperti ini membuat suatu masalah yang perlu diantisipasi, yaitu berislam secara instan.

Berislam secara instan memang tidaklah dilarang oleh siapapun, hanya saja, perlu memilah dan memilih mana sumber yang kredibel, yang jelas arah dan bobot isi materi keislamannya yang dilatarbelakangi dengan keilmuan yang mumpuni. Lah ini sudah berislam secara instan, bersumber ke sumber yang merujuk dalil secara instan juga, tanpa keilmuan yang mumpuni. Bahaya.

Misalnya, banyak sekali akun-akun (Instagram, Twitter, Facebook)/media-media yang mana menampilkan materi-materi yang isinya hanya menyalahkan keberislaman kelompok lain, mensesatkan, bahkan melebeli munafik terhadap orang lain. Hal ini disebabkan karena tidak sesuai atau sejalan dengan pendapatnya. Akun seperti ini bahaya, terlebih bagi para generasi milenial yang latarbelakang pengetahuan keislamannya masih minim. Tentu mereka bisa menerimanya dengan mentah-mentah, terlebih materi akun-akun tersebut  dikuatkan dengan dalil-dalil agama seperti Qur’an dan hadist.

Pola-pola pembingkaian agama Islam yang begitu kaku ini, disadari atau tidak telah masuk ke dalam wilayah kerangkeng besi (Iron Cage), meminjam istilah Max Weber. Hal ini tidak lain karena selalu dirujukan ke ajaran agama yang normative. Segala sesuatu yang telah manjadi kebiasaan masyarakat harus diatur oleh dalil litereleknya saja, nash secara jelas. Seolah yang dilakukan oleh kebiasaan masyarakat tidak sesuai dengan yang dimau Tuhan atau Nabi.

Begitulah era berislam kita, semua serba mudah. Instan boleh, hanya saja perlu meneliti lebih jauh, latar belakang akun-akun atau media nya terlebih dahulu. Lebih baik lagi berislam secara mendalam, berguru kepada para kyai yang jelas kemampuannya, keilmuannya, kezuhudannya dan lain-lainnya. Masuk ke pondok pesantren yang juga jelas latar belakang keilmuannya.

Pola-pola keberislaman seperti itu sudah seharusnya diejawantahkan. Amin Abdullah menawarkan pandangannya untuk mengcounter dari hal yang bersifat leterlek-tekstual, dengan mengembangkan dalil-dalil agama Islam secara dinamis sesuai realitas sosial. Dalam kaitannya tersebut ada tiga hal diantaranya sebagai berikut:

Pertama, dalil yang disampaikan harus dipertemukan dengan pengetahuan serta pengalaman lain supaya bisa mengatahu makna utuh dari dalil tersebut. Kedua, setiap dalil yang akan disajikan ke masyarakat lebih luas harus menggunakan metode atau pendekatan yang lebih kontekstual. Ketiga, dalil harus diimaginasikan sebagai cara pandang kreatif, juga menjelaskan berbagai perubahan di masyarakat yang berkorelasi antara teologis dan sosiologis yang seimbang.

Jika seperti itu, setiap menerima atau ingin mengambil materi Islam secara instan, dan kemudian dianalisis terlebih dahulu dengan menggunakan pandangan Amin Abdullah, maka sikap-sikap penyalahan, pembid’ahan, pencapan munafik terhadap kelompok atau orang lain akan hilang secara perlahan dan justru akan menimbulkan sikap yang toleran dan pikiran yang luas.

Maka, di era digital dengan segala kemudahanya, jangan kemudian mempermudah setiap pengambilan materi-materi keislaman atau menerima materi keislaman. Perlu dianalisis kembali atau paling tidak dilihat latar belakang keilmuan dari pada penyaji materi tersebut. Hal ini tidak lain demi mendapatkan materi keislamn yang layak dan terpercaya untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Wallahuallam.





Komentar