Dari Silaturahim ke Wejangan dan Diskusi Akademis (Sebuah Ikhtiar Menjalin Konektivitas Dengan Dosen)
Pagi hari di kala sinar mulai
menyinari, aku bergegas mandi untuk siap-siap berangkat ke kediaman para dosen
yang akan dikunjungi. Mengunjungi para dosen memang sudah menjadi tradisi yang
melekat pada mahasiswa fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga khususnya prodi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Tidak
lain karena latar belakang kebanyakan mahasiswa IAT santri pondok pesantren.
Tradisi sowan (kunjungan ke para guru/kyai untuk silaturahhim) sudah mengakar
di kalangan santri, khususnya pondok pesantren Nahdliyyin.
Kontinuitas dari pada tradisi yang
baik ini tidak bisa dihindari lagi, tujuannya tidak lain untuk mempererat
hubungan antara mahasiswa dan dosen. Hanya saja perbedaannya adalah status,
situasi dan kondisi. Jika dulu masih sebagai santri, kini berbeda sebagai
mahasiswa. Jika dulu sedikit canggung ke kediaman rumah kyai, mungkin saja kini
bisa lebih santai. Ya, buktinya memang seperti itu, aku mengunjungi dosen pun
lebih santai tidak terlalu tegang dan kaku.
Dimulai dari kunjungan ke Gus Hilmy,
salah satu dosen yang kini sudah non-aktif. Ia memilih jalan lain setelah lama mengabdikan
dirinya di dunia akademisi, kini ia sedang berusaha untuk mengabdi di jangkauan
yang lebih besar, yaitu sebagai politisi. Tentu ia memilih untuk mengabdikan di
dunia politik bukan semata-mata pilihannya sendir, jelasnya ia didorong oleh
masyrakat. Ia didukung oleh masyarakat untuk mengisi dunia politik. Bagaimana
tidak, tentu seorang kyai yang pasti terpandang sebagai orang yang saleh,
ketika masuk dunia politik, akan ada poltisasi dari pihak lain untuk
mengalahkannya. Tetapi ia sudah siap dengan semua itu semua.
Dalam kunjunganku dengan teman-teman
angkatan, kita disambut dengan sangat baik. Berbagai makanan disuguhkan kepada
kita, bahkan disodorkan langsung untuk mengambil. Sungguh luar biasa ramahnya
dan kedermawanannya. Ia mulai berbicara dengan temanku yang ia kenal, karena
dulu temanku dibawah bimibingannya. Ia tanya-tanya siapa penggantinya dan
kondisi kampus bagaimana.
Lanjutnya, ia memberi wejangan/nasihat
kepada kita, bahwa menjadi orang itu harus mempunyai dua unsur. Pertama adalah
integritas, dan kedua adalah kompetensi/kemampuan/skill. Tanpa keduanya, orang
akan mengambang. Seseorang boleh saja mempunyai skill atau kemampuan yang
handal, tetapi ia tidak memiliki integritas, percuma saja. Ia mencontohkan,
orang-orang yang korupsi itu, mumpuni dalam kemampuannya sebagai politisi,
hanya saja ia tidak memiliki integritas, jadi ia tergoda dengan korupsi. Begitu
sebaliknya, orang yang mempunyai intgritas tetapi tidak mempunyai kompetensi
percuma, karena ia tidak akan bisa bersaing dengan orang lain. Ini yang menjadi
nasihatnya yang aku ingat.
Tidak hanya sampai pada nasihat itu,
setelah ia memberi nasihat, temanku tiba-tiba bertanya. Pak kyai, sering kali,
sebagian ustad atau kyai mengangap politik itu tabu. Karena biasanya politik itu
dipandang sebagai tempat kotor. Bagaimana menyikapinya? Ia lansung menjawab,
pada dasarnya, semua pun bisa menjadi kotor, tidak hanya dalam urusan politik saja,
dalam berdagang itu kotornya adalah riba dll, dalam dunia akademik kotornya
adalah plagiat dll, dan lain sebagainya. Jadi kita tidak bisa melihat secara
sekilas, harus secara menyeluruh. Begitu ucapnya. Ya aku pun setuju dengannya.
Beberapa menit setelah itu pun, kita
izin pamit dan minta doa darinya untuk kelancaran pencarian ilmu kita. Setelah berdoa
kita pun mengabdikannya dengan foto bersama, ia sangat bergemberi atas
kedatangan kita, bagaimana pun menurutnya, sebuah kebaikan itu datang dan
berkumpul dari kebaiakn-kebaikan kecil yang tidak terlihat. Kita pun pamit dan
melanjutkan ke dosen selanjutnya.
Setelah melaksanakan shalat dhuhu,
kita pun siap-siap untuk berkunjung ke rumah Bu Lien salah satu dosen di IAT
mengajar bahasa Inggris semester II, yang juga kebetulan sebagai dosen pembimbing
akademikku (DPA). Perjalanan menuju kediamanya lumayan jauh, kisaran 20 menit
dari kediaman Gus Hilmy. Aku dibonceng temanku karena motorku sedang dipakai
oleh kakaku yang juga kuliah di Yogyakarta.
Kita pun sampai di kediaman Bu Lien. Ia
sangat antusias menyambut kita, dan langsung menyuruh untuk masuk ke dalam
rumahnya. Satu langkah kaki masuk melewati pintu, aku disuguhi pemandangan
buku-buku dan kitab-kitab. Dari judulnya kebanyakan kajian al-Qur’an dan hadist
serta ilmu-ilmu kontemporer lainnya, seperti hermeunetika, fenomenologi,
sosiolgi dan lain-lain. Mantaap dalam hatiku.
Sama dengan di kediaman Gus Hilmy,
beliau pun menyuguhi kita berbagai makanan, sampai-sampai ada tukang pempek
yang kebetulan lewat depan rumahnya pun, langsung dibeli untuk kita, semoga
rezeki beliau dilancarkan selalu. Mulai dari prakata ketua angkatan, maksud dan
tujuannya untuk ke kediamannya, tidak lain untuk silaturahim. Kemudian tanya-tanya
nama, karena beliau tidak mengenal namanya semua, hanya saja wajah tentu kenal,
ucap beliau.
Bincang-bincang asyik dan santai
sekali di rumah beliau, karena ya tentu berbeda dengan di rumah Gus Hilmy,
sedikit canggung, dan tentu di kediaman Bu Lien pun demikian, hanya saja lebih
santai. Kita pun mulai cerita-cerita tentang dunia akademisi, bahkan
menyinggung-nyinggung tentang mata kuliah yang diambil yang seharusnya belum
saatnya diambil.
Bahkan kita pun diskusi tentang
liberalisme, sampai membahas tentang pemikiran Haidar Bagir dan latar
belakangnya. Membahas sejarah teologi Syiah, membahas Filsafat Ibnu Arabi dan
lain sebagainya, walaupun hanya sekilas-sekilas. Kemudian cerita-cerita tentang
muridnya yang terlihat biasa saja, tetapi memiliki motivasi kua dalam belajar
dan memilik cita-cita ke luar negeri, sampai tergapai cita-cita itu.
Begitulah seterusnya kita
berbincang-bincang, sampai akhirnya makanan hampir habis semua, bahkan
dibungkuskan untuk teman yang sedang berpuasa. Kita pun sudahi silaturahim itu,
meminta pamit, sebelumnya bersih-bersih dahulu. Setelah itu kita pun seperti
biasa, mengabdikannya dengan berfoto bersama. Setelah itu kita pulang, beberapa
teman melanjutkan hunting ke Candi Ijo.
Komentar
Posting Komentar