![]() |
Gambar: Mulsitoday.com |
Biasanya, menjelang Idul Fitri, seorang yang ditugasi menjadi khatib, akan mencari teks khutbahnya atau menulis sendiri. Paling tidak, jika hendak berkhutbah, teks yang digunakan haruslah yang berbobot dan tidak provokasi.
Kali ini, saya menyarankan jika anda belum menemukan teks khutbah yang tepat untuk Idul Fitri, maka saya menawarkan tekh khutbah karya Prof. Dr. K.H Quraish Shihab, M.A yang mana teks ini pernah dikhutbahkan di Masjid Istiqlal Jakarta. Teks khutbahnya sebagaimana berikut:
__________________
Dengan takbir dan tahmid, kita melepas Ramadan yang insya
Allah telah menempa hati, mengasuh jiwa serta mengasah nalar kita. Dengan
takbir dan tahmid, kita melepas bulan suci dengan hati yang harus penuh harap,
dengan jiwa kuat penuh optimisme, betapa pun beratnya tantangan dan sulitnya
situasi. Ini karena kita menyadari bahwa Allah Maha Besar.
Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Semua kecil dan ringan selama kita bersama dengan Allah. Kita
bersama sebagai umat Islam dan sebagai bangsa, kendati mazhab, agama atau pandangan
politik kita berbeda. Karena kita semua ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita semua
satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air dan kita semua telah sepakat
ber-Bhineka Tunggal Ika, dan menyadari bahwa Islam, bahkan agama-agama lainnya,
tidak melarang kita berkelompok dan berbeda. Yang dilarang-Nya adalah
berkelompok dan berselisih.
Maksudnya: "Janganlah menjadi serupa dengan
orang-orang yang berkelompok-kelompok dan berselisih dalam tujuan, setelah
datang kepada mereka keterangan-keterangan. Mereka itulah yang mendapatkan
siksa yang pedih." Demikian Allah berfirman dalam Q.S. Ali ‘Imran ayat
105.
Saudara, keragaman dan perbedaan adalah keniscayaan yang
dikehendaki Allah untuk seluruh makhluk, termasuk manusia.
Seandainya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikannya satu
umat saja, tetapi (tidak demikian kehendak-Nya). Itu untuk menguji kamu
menyangkut apa yang dianugerahkan-Nya kepada kamu. Karena itu berlomba-lombalah
dalam kebajikan (Q.S. Al-Maidah ayat 48).
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Wa Lillahil Hamd!
Saudara, kini kita beridul fitri. Kata fithri atau fithrah
berarti “asal kejadian”, “bawaan sejak lahir”. Ia adalah naluri. Fitri juga
berarti “suci”, karena kita dilahirkan dalam keadaan suci bebas dari dosa.
Fithrah juga berarti “agama” karena keberagamaan mengantar manusia
mempertahankan kesuciannya. Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (Islam) dalam
keadaan lurus.
Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atasnya. Tidak
ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui. (Q.S. Ar-Rum ayat 30).
Dengan beridul fitri, kita harus sadar bahwa asal kejadian
kita adalah tanah: Allah Yang membuat sebaik-baiknya segala sesuatu yang Dia
ciptakan dan Dia telah memulai penciptaan manusia dari tanah. (Q.S.
AsSajadah ayat 7)
Kita semua lahir, hidup dan akan kembali dikebumikan ke
tanah. Dari bumi Kami menciptakan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan
kamu untuk dikuburkan dan darinya Kami akan membangkitkan kamu pada kali yang
lain. (Q.S. Thaha ayat 55).
Kesadaran bahwa asal kejadian manusia dari tanah, harus mampu
mengantar manusia memahami jati dirinya. Tanah berbeda dengan api yang
merupakan asal kejadian iblis. Sifat tanah stabil, tidak bergejolak seperti
api. Tanah menumbuhkan, tidak membakar. Tanah dibutuhkan oleh manusia, binatang
dan tumbuhan — tapi api tidak dibutuhkan oleh binatang, tidak juga oleh
tumbuhan. Jika demikian, manusia mestinya stabil dan konsisten, tidak
bergejolak, serta selalu memberi manfaat dan menjadi andalan yang dibutuhkan
oleh selainnya.
Bumi di mana tanah berada, beredar dan stabil. Allah
menancapkan gunung-gunung di perut bumi agar penghuni bumi tidak oleng – begitu
firman-Nya dalam Q.S. An-Nahl ayat 15. Peredaran bumi pun mengelilingi matahari
sedemikian konsisten! Kehidupan manusia di dunia ini pun terus beredar,
berputar, sekali naik dan sekali turun, sekali senang di kali lain susah.
Saudara, jika tidak tertancap dalam hati manusia pasak yang
berfungsi seperti fungsinya gunung pada bumi, maka hidup manusia akan oleng,
kacau berantakan. Pasak yang harus ditancapkan ke lubuk hati itu adalah
keyakinan tentang Ketuhanan Yang Maha Esa. Itulah salah satu sebab mengapa idul
fitri disambut dengan takbir.
Kesadaran akan kehadiran dan keesaan Tuhan adalah inti
keberagamaan. Itulah fithrah atau fitri manusia yang atas dasarnya Allah
menciptakan manusia (Q.S. Ar-Rum ayat 30).
Selanjutnya karena manusia diciptakan Allah dari tanah, maka
tidak heran jika nasionalisme, patriotisme, cinta tanah air, merupakan fithrah
yakni naluri manusia. Tanah air adalah ibu pertiwi yang sangat mencintai kita
sehingga mempersembahkan segala buat kita, kita pun secara naluriah
mencintainya. Itulah fithrah, naluri manusiawi. Karena itulah, hubbu al-wathan
minal iman, cinta tanah air adalah manfestasi dan dampak keimanan. Tidak heran
jika Allah menyandingkan iman dengan tanah air (Q.S Al-Hasyr ayat 9).
Sebagaimana menyejajarkan agama dengan tanah air, Allah
berfirman: Allah tidak melarang kamu berlaku adil (memberi sebagian hartamu)
kepada siapapun - walau bukan muslim— selama mereka tidak memerangi kamu dalam
agama atau mengusir kamu dari negeri kamu (Q.S. Al-Mumtahanah ayat 8).
Demikian pembelaan agama dan pembelaan tanah air yang disejajarkan oleh Allah.
Saudara, (siapa) yang mencintai sesuatu akan memeliharanya,
menampakkan dan mendendangkan keindahannya serta menyempurnakan kekurangannya
bahkan bersedia berkorban untuknya. Tanah air kita, yang terbentang dari Sabang
sampai Merauke, harus dibangun dan dimakmurkan serta dipelihara persatuan dan
kesatuannya. Persatuan dan kesatuan adalah anugerah Allah yang tidak ternilai.
“Seandainya engkau, siapapun engkau, menafkahkan segala apa
yang di bumi untuk mempertautkan hati anggota masyarakat, engkau tidak akan
mampu, tetapi Allah yang mempertautkan hati mereka,” begitu Firman-Nya dalam Q.S. al-Anfal
ayat 63.
Sebaliknya, perpecahan dan tercabik-cabiknya masyarakat
adalah bentuk siksa Allah. Itulah antara lain yang diuraikan Al-Quran
menyangkut masyarakat Saba’, negeri yang tadinya dilukiskan Al-Quran sebagai
baldatun thayyibatum wa rabbun ghafur, negeri sejahtera yang dinaungi ampunan
Illahi tapi mereka durhaka dengan menganiaya diri mereka, menganiaya negeri
mereka.
Maka Kami jadikan mereka buah bibir dan kami cabik-cabik
mereka sepenuh pencabik-cabikan. (Q.S. Saba’ ayat 18).
Saudara, yang dikemukan ayat-ayat di atas adalah sunatullah.
Itu adalah hukum kemasyarakatan yang kepastiannya tidak berbeda dengan
kepastian “hukum-hukum alam”. Allah berfirman: “Sekali-kali engkau -– siapapun,
kapan dan di mana pun engkau — tidak akan mendapatkan bagi sunnatullah satu
perubahan pun dan sekali-kali engkau tidak akan mendapatkan bagi sunnatullah
Allah sedikit penyimpangan pun.
Itulah yang terjadi di Uni Soviet dan Yugoslavia dan yang
prosesnya bisa jadi yang kita saksikan dewasa ini di sekian negara di Timur
Tengah.
Allahu Akbar, Allah Akbar, Wa Lillahil Hamd.
Saudara-saudara sekalian, Allah berpesan bahwa bila hari raya
fithrah tiba, maka hendaklah kita bertakbir. Kalimat takbir merupakan satu prinsip lengkap menembus
semua dimensi yang mengatur seluruh khazanah fundamental keimanan dan aktivitas
manusia. Dia adalah pusat yang beredar, di sekelilingnya sejumlah orbit
unisentris serupa dengan matahari, yang beredar di sekelilingnya planet-planet
tata surya. Di sekeliling tauhid itu beredar kesatuan-kesatuan yang tidak boleh
berpisah atau memisahkan diri dari tauhid, sebagaimana halnya planet-planet
tata surya — karena bila berpisah akan terjadi bencana kehancuran.
Kesatuan-kesatuan tersebut antara lain. Pertama, kesatuan
seluruh makhluk karena semua makhluk kendati berbeda-beda namun semua
diciptakan dan di bawah kendali Allah. Itulah “wahdat al-wujud/Kesatuan wujud”
– dalam pengertiannya yang sahih.
Kedua, kesatuan kemanusiaan. Semua manusia berasal dari
tanah, sejak Adam, sehingga semua sama kemanusiaannya. Semua harus dihormati
kemanusiaannya, baik masih hidup maupun telah wafat, walau mereka durhaka.
Karena itu: “Siapa yang membunuh seseorang tanpa alasan yang benar, maka dia
bagaikan membunuh semua manusia dan siapa yang memberi kesempatan hidup bagi
seseorang maka dia bagaikan telah menghidupkan semua manusia.“ [Q.S. al-Maidah
ayat 32]
Memang jika ada yang manusia yang menyebarkan teror, mencegah
tegaknya keadilan, menempuh jalan yang bukan jalan kedamaian, maka kemanusiaan
harus mencegahnya. Hal ini dikarenakan, menurut Q.S. Al-Hajj ayat 40:
Seandainya Allah tidak mengizinkan manusia mencegah yang lain melakukan
penganiayaan niscaya akan diruntuhkan biara-biara, gereja-gereja,
sinagog-sinagog, dan masjid-masjid, yang merupakan tempat-tempat yang di
dalamnya banyak disebut nama Allah. Tetapi Allah tidak menghendaki
roboh-robohnya tempat-tempat peribadatan itu. Karena itu pula kemanusiaan harus
bersifat adil dan beradab.
Ketiga, di pusat tauhid beredar juga kesatuan bangsa. Kendati mereka berbeda
agama, dan suku, berbeda kepercayaan atau pandangan politik, mereka semua
bersaudara, dan berkedudukan sama dari kebangsaan. Karena itu sejak zaman Nabi
Muhammad SAW., beliau telah memperkenalkan istilah “Lahum Ma Lanaa Wa ‘Alaihim
Maa ‘Alaina”. Mereka yang tidak seagama dengan kita mempunyai hak kewargaan
sebagaimana hak kita kaum muslimin dan mereka juga mempunyai kewajiban
kewargaan sebagaimana kewajiban kita.
Dan karena itu pula, pemimpin tertinggi Al-Azhar, Prof. Dr.
Ahmad At-Thayyib, berkata: “Dalam tinjauan kebangsaan dan kewargaannegaraan,
tidak wajar ada istilah mayoritas dan minoritas karena semua telah sama dalam
kewargaan negara dan lebur dalam kebangsaan yang sama."
“Kesadaran tentang kesatuan dan persatuan itulah yang
mengharuskan kita duduk bersama bermusyawarah demi kemaslahatan dan itulah
makna “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawatan
perwakilan”.
Saudara, kesadaran tentang kesamaan dan kebersamaan itu
merupakan salah satu sebab mengapa dalam rangkaian idul fithri, setiap muslim
berkewajiban menunaikan zakat fitrah yang merupakan simbol kepedulian sosial
serta upaya kecil dalam menyebarkan keadilan sosial. Selain kesatuan-kesatuan
di atas, masih banyak yang lain, seperti: kesatuan suami isteri, yakni kendati
mereka berbeda jenis kelamin namun mereka harus menyatu. Tidak ada lagi yang
berkata “saya” tetapi “kita”, karena mereka sama-sama hidup, sama-sama cinta
serta sama-sama menuju tujuan yang sama.
Akhirnya, walau bukan yang terakhir, perlu juga disebut kesatuan
jati diri manusia yang terdiri dari ruh dan jasad. Penyatuan jiwa dan raga,
mengantar “binatang cerdas yang menyusui” ini menjadi manusia utuh sehingga
tidak terjadi pemisahan antara keimanan dan pengamalan, tidak juga antara
perasaan dan perilaku, perbuatan dengan moral, idealitas dengan realitas. Akan
tetapi, masing-masing merupakan bagian yang saling melengkapi. Jasad tidak
mengalahkan ruh dan ruh pun tidak merintangi kebutuhan jasad.
Kecenderungan individu memperkukuh keutuhan kolektif dan
kesatuan kolektif mendukung kepentingan individu. Pandangan tidak hanya terpaku
di bumi dan tidak juga hanya mengawang-awang di angkasa. Demikian itulah
manusia yang ber-‘idul fithri, yang kembali ke asal kejadiannya.
Anda menemukan dia teguh dalam keyakinan. Teguh tetapi
bijaksana, senantiasa bersih walau miskin, hemat dan sederhana walau kaya,
murah hati dan murah tangan, tidak menghina dan tidak mengejek, tidak menyebar
fitnah tidak menuntut yang bukan haknya dan tidak menahan hak orang lain.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Wa lillahil Hamd.
Saudara, kitab suci Al-Qur’an menguraikan bahwa sebelum
manusia ditugaskan ke bumi, Allah memerintahkannya transit terlebih dahulu di
surga. Itu dimaksudkan agar Adam dan ibu kita Hawa memperoleh pelajaran
berharga di sana. Di surga, hidup bersifat sejahtera. Di sana, menurut
Al-Qur’an Surah Thaha ayat 118-119, "tersedia sandang, papan dan pangan
yang merupakan tiga kebutuhan pokok manusia. Di sana juga tidak terdengar,
jangankan ujaran kebencian, ucapan yang tidak bermanfaat pun tidak ada
wujudnya. Yang ada hanya damai… damai dan damai.
Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak
pula yang menimbulkan dosa, akan tetapi ucapan salam lagi sejahtera. (Q.S. Al-Waqiaah ayat 25-26).
Situasi demikian, dialami oleh manusia modern pertama itu, bukan saja agar jika mereka tiba di pentas bumi mereka rindu kepada surga sehingga berusaha kembali ke sana, tetapi juga agar berusaha mewujudkan bayang-bayang surga itu dalam kehidupan di bumi ini, yakni hidup sejahtera, terpenuhi kebutuhan pokok setiap individu, dalam suasana damai, bebas dari rasa takut yang mencekam, bebas juga dari kesedihan yang berlarut. ْ
Saudara! Di surga juga keduanya menghadapi tipu daya iblis dan mengalami kepahitan akibat memperturutkannya. Sementara pakar berkata bahwa kata “iblis” terambil dari bahasa Yunani Kuno yakni Diabolos, yang berarti "sosok yang memfitnah, yang memecah belah". Iblis memfitnah Tuhan dengan berkata bahwa Allah tidak melarang Adam dan pasangannya mencicipi buah terlarang, kecuali karena Allah enggan keduanya menjadi malaikat atau hidup kekal (Q.S. Al-’Araf ayat 20). Iblis memfitnah, memecah belah, dan menanamkan prasangka buruk.
Dengan beridul fitri, kita hendaknya sadar tentang peranan Iblis dan pengikut-pengikutnya dalam menyebar luaskan fitnah dan hoax serta menanamkan prilaku buruk serta untuk memecah belah persatuan dan kesatuan.
Saudara, Al-Qur’an melukiskan bahwa mempercayai ujaran Iblis, mengakibatkan tanggalnya pakaian Adam dan Hawa. (Q.S. Al-araf ayat 27). Pakaian adalah hiasan, pakaian juga menandai identitas dan melindungi manusia dari sengatan panas dan dingin sambil menutupi bagian yang enggan diperlihatkan. Selama bulan puasa ini, kita menenun pakaian takwa dengan nilai-nilai luhur.
Nilai yang telah disepakati oleh bangsa kita adalah nilai-nilai yang bersumber dari agama dan budaya bangsa yang tersimpul dalam Pancasila. Itulah pakaian kita sebagai bangsa. Itulah yang membedakan kita dari bangsa-bangsa lain. Itulah hiasan kita dan itu pula yang dengan menghayatinya kita dapat terlindungi — atas bantuan Allah — dari aneka sengatan panas dan dingin, dari aneka bahaya yang mengganggu eksistensi kita sebagai bangsa.
Allah berpesan: Jangan menjadi seperti seorang perempuan gila dalam cerita lama yang merombak kembali tenunannya sehelai benang demi sehelai setelah ditenunkannya (Q.S. An Nahl ayat 92).
Saudara-saudara, para ‘Â’idîn dan ‘Â’idât, yakinlah bahwa kita memiliki nilai-nilai luhur yang dapat mengantarkan kita ke cita-cita proklamasi. Tetapi agaknya kita kurang mampu merekat nilai-nilai itu dalam diri dan kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai inilah yang membentuk kepribadian anggota masyarakat; semakin matang dan dewasa masyarakat, semakin mantap pula pengejawantahan nilai-nilai tersebut. Masyarakat yang sakit adalah yang mengabaikan nilai-nilai tersebut.
Ada orang atau masyarakat yang sakit tapi tidak menyadari bahwa dia sakit. Sayyidina Ali pernah berucap melukiskan keadaan seseorang atau masyarakat: “Penyakitmu disebabkan oleh ulahmu tapi engkau tidak lihat obatnya ada di tanganmu tapi engkau tak sadar.”
Keadaan yang lebih parah adalah tahu dirinya sakit, obat pun telah dimilikinya, tapi obatnya dia buang jauh-jauh. Semoga bukan kita yang demikian.
Akhirnya, mari kita jadikan ‘idul fithri, sebagai momentum untuk membina dan memperkukuh ikatan kesatuan dan persatuan kita, menyatupadukan hubungan kasih sayang antara kita semua, sebangsa dan setanah air.
Marilah dengan hati terbuka, dengan dada yang lapang, dan dengan muka yang jernih, serta dengan tangan terulurkan, kita saling memaafkan, sambil mengibarkan bendera as-Salâm, bendera kedamaian di tanah air tercinta, bahkan di seluruh penjuru dunia.
“Ya Allah, Engkaulah as-Salâm (kedamaian), dari-Mu bersumber as-Salâm, dan kepada-Mu pula kembalinya. Hidupkanlah kami, Ya Allah, di dunia ini dengan as-Salâm, dengan aman dan damai, dan masukkanlah kami kelak di negeri as-Salâm (surga) yang penuh kedamaian. Maha Suci Engkau, Maha Mulia Engkau, Yâ Dzal Jalâli wal Ikrâm.
Situasi demikian, dialami oleh manusia modern pertama itu, bukan saja agar jika mereka tiba di pentas bumi mereka rindu kepada surga sehingga berusaha kembali ke sana, tetapi juga agar berusaha mewujudkan bayang-bayang surga itu dalam kehidupan di bumi ini, yakni hidup sejahtera, terpenuhi kebutuhan pokok setiap individu, dalam suasana damai, bebas dari rasa takut yang mencekam, bebas juga dari kesedihan yang berlarut. ْ
Saudara! Di surga juga keduanya menghadapi tipu daya iblis dan mengalami kepahitan akibat memperturutkannya. Sementara pakar berkata bahwa kata “iblis” terambil dari bahasa Yunani Kuno yakni Diabolos, yang berarti "sosok yang memfitnah, yang memecah belah". Iblis memfitnah Tuhan dengan berkata bahwa Allah tidak melarang Adam dan pasangannya mencicipi buah terlarang, kecuali karena Allah enggan keduanya menjadi malaikat atau hidup kekal (Q.S. Al-’Araf ayat 20). Iblis memfitnah, memecah belah, dan menanamkan prasangka buruk.
Dengan beridul fitri, kita hendaknya sadar tentang peranan Iblis dan pengikut-pengikutnya dalam menyebar luaskan fitnah dan hoax serta menanamkan prilaku buruk serta untuk memecah belah persatuan dan kesatuan.
Saudara, Al-Qur’an melukiskan bahwa mempercayai ujaran Iblis, mengakibatkan tanggalnya pakaian Adam dan Hawa. (Q.S. Al-araf ayat 27). Pakaian adalah hiasan, pakaian juga menandai identitas dan melindungi manusia dari sengatan panas dan dingin sambil menutupi bagian yang enggan diperlihatkan. Selama bulan puasa ini, kita menenun pakaian takwa dengan nilai-nilai luhur.
Nilai yang telah disepakati oleh bangsa kita adalah nilai-nilai yang bersumber dari agama dan budaya bangsa yang tersimpul dalam Pancasila. Itulah pakaian kita sebagai bangsa. Itulah yang membedakan kita dari bangsa-bangsa lain. Itulah hiasan kita dan itu pula yang dengan menghayatinya kita dapat terlindungi — atas bantuan Allah — dari aneka sengatan panas dan dingin, dari aneka bahaya yang mengganggu eksistensi kita sebagai bangsa.
Allah berpesan: Jangan menjadi seperti seorang perempuan gila dalam cerita lama yang merombak kembali tenunannya sehelai benang demi sehelai setelah ditenunkannya (Q.S. An Nahl ayat 92).
Saudara-saudara, para ‘Â’idîn dan ‘Â’idât, yakinlah bahwa kita memiliki nilai-nilai luhur yang dapat mengantarkan kita ke cita-cita proklamasi. Tetapi agaknya kita kurang mampu merekat nilai-nilai itu dalam diri dan kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai inilah yang membentuk kepribadian anggota masyarakat; semakin matang dan dewasa masyarakat, semakin mantap pula pengejawantahan nilai-nilai tersebut. Masyarakat yang sakit adalah yang mengabaikan nilai-nilai tersebut.
Ada orang atau masyarakat yang sakit tapi tidak menyadari bahwa dia sakit. Sayyidina Ali pernah berucap melukiskan keadaan seseorang atau masyarakat: “Penyakitmu disebabkan oleh ulahmu tapi engkau tidak lihat obatnya ada di tanganmu tapi engkau tak sadar.”
Keadaan yang lebih parah adalah tahu dirinya sakit, obat pun telah dimilikinya, tapi obatnya dia buang jauh-jauh. Semoga bukan kita yang demikian.
Akhirnya, mari kita jadikan ‘idul fithri, sebagai momentum untuk membina dan memperkukuh ikatan kesatuan dan persatuan kita, menyatupadukan hubungan kasih sayang antara kita semua, sebangsa dan setanah air.
Marilah dengan hati terbuka, dengan dada yang lapang, dan dengan muka yang jernih, serta dengan tangan terulurkan, kita saling memaafkan, sambil mengibarkan bendera as-Salâm, bendera kedamaian di tanah air tercinta, bahkan di seluruh penjuru dunia.
“Ya Allah, Engkaulah as-Salâm (kedamaian), dari-Mu bersumber as-Salâm, dan kepada-Mu pula kembalinya. Hidupkanlah kami, Ya Allah, di dunia ini dengan as-Salâm, dengan aman dan damai, dan masukkanlah kami kelak di negeri as-Salâm (surga) yang penuh kedamaian. Maha Suci Engkau, Maha Mulia Engkau, Yâ Dzal Jalâli wal Ikrâm.
Teks Khutbah dilansir dari: tirto.id
Komentar
Posting Komentar