Men-Jewer Telinga Pemimpin Ala K.H Irfan Hielmy


Ilustrasi, Gambar: kesekolah.com


Tulisan ini merupakan refleksi dari penulis setelah membaca tulisan K.H Irfan Hielmy yang berjudul “Men-Jewer Telingan Pemimpin”. Keunikan isi dari tulisannya membuat penulis ingin merefleksikannya. Terlebih tulisan ini sangatlah bagus untuk dibaca ulang oleh khalayak masyarakat secara luas, terkhusus bagi pemimpin-pemimpin yang sedang mengemban amanah dan bagi para pengkritik yang biasa mengkritik pemerintah. 

Dalam tulisannya, langsung menjelaskan bahwa perspektif keagamaan diambil sebagai perspektif tulisannya  dengan cara mengelaborasi  prinsip-prinsip syariah Islam terutama tentang kebebasan mengajukan sebuah kritikan dan pemantauan kegiatan pemerintah, hal ini dalam terminology syariah Islam biasa disebut dengan hurriyah al-muaradlah

Dalam hal ini, ia mengambil konsep amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai dasar pijakannya, bahwa diantara konsep  amar ma’ruf dan nahi munkar adalah memberikan kebebasan untuk mengkritik pemimpin melalui nasihat yang baik dan yang membangun. Ia mengatakan bahwa hurriyah al-muaradlah adalah sisi aplikasi dari amar ma’ruf dan nahi munkar, serta hal itu bukanlah hal yang baru lagi. 

Ia lantas memberikan salah satu contoh dari pernyataan Abu Bakar ketika terpilih menjadi pemimpin (khalifah), “Wahai kaumku, aku telah dipercaya untuk memerintah kalian. Tetapi aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Bantullah aku jika aku benar, dan ingatkan aku jika aku salah”. Dengan berdasar pada pidato tersebut, dan juga ada contoh dari Umar yang tidak penulis paparkan, K.H Irfan Hielmy memberikan kesimpulan bahwa Islam memberi hak kepada rakyat untuk memantau kegiatan kepala negara atau pemimpin-pemimpin dan para pejabat pemerintah apa-apa yang mereka lakukan dan yang mereka abaikan. 

Namun, ia memberikan batasan-batasan atau syarat ketika hendak mengkritik pemerintah, jangan asal mengkritik. Dalam hal ini, ia memaparkan beberapa syarat bagi siapa yang ingin mengkritik, terdapat tiga syarat yang ia paparkan, sebagai berikut:

Pertama, kritik haru disertai dengan fakta-fakta yang mendukungnya. Kedua, pengkritik harus yakin akan kebenaran moral dari pendapatnya. Ketiga, kritik harus bisa menyesuaikan situasi dan kondisi, dengan sopan dan efektif juga. Begitulah diantara syarat yang ia paparkan. 

Jadi, kata men-jewer telinga pemimpin merupakan metafora. Dalam hal ini, men-jewer berarti sebuah kritikan, akan tetapi kritikan yang memenuhi persyaratan yang telah dipaparkan di muka. Terlebih lagi, ia mengatakan bahwa kritikan lebih bagus disampaikan oleh orang yang memang secara proporsional berhak untuk mengkritiknya. Ia menegaskan diakhir tulisanny, bahwa anggaplah menjewer tersebut sebagai dari wacana demokrasi dan bagian dari hurriyah al-muaradlah yang mana menjadi hak bagi setiap warga negara.  

Akhirulkalam, setidaknya, antara pengkritik dan yang dikritik harus sama-sama memperhatikan beberapa hal, untuk yang dikritik jangan antikritik, karena kritikan merupakan hak, dan untuk yang mengkritik jangan asal ceplos kritik. Wallahu’alam.

Referensi
Hielmy, Irfan. 2000. Wacana Islam Bahan Telaah Anak  Bangsa. Ciamis: PIP

Komentar