Gambar: https://bloomp.net
Dewasa ini, toleransi
merupakan sesuatu yang sangat berharga dan lantas kemudian menjadi mahal.
Bagaimana tidak, di saat situasi ketegangan entah itu faktor politik, budaya,
agama dan lainnya, toleransi menjadi sangat penting adanya. Toleransi akan
menciptakan kedamaian bagi siapa saja yang menjalankannya. Namun, acapkali
toleransi hanya sekadar istilah yang kita ketahui tanpa aktualisasinya. Memang
demikian adanya, karena tidak semua orang bisa menjalankan gagasan tersebut.
Ada beberapa faktor yang
kemudian toleransi berada dalam harga yang mahal dalam artian toleransi berada
pada level atas yang mungkin hanya dapat dijalankan oleh sebagian orang. Robert
Setio, PhD mengatakan dalam acara simposium dan peluncuran buku tentang “Costly
Tolerance” bahwa terdapat beberapafaktor yang menjadikan toleransi mahal
adalah; pertama, ketika mayoritas memosisikan minoritas sama dengan yang
mayoritas. Kedua, ketika yang moderat dapat bersikap toleran kepada yang
radikal.
Untuk faktor yang pertama
misalnya, di negara kita, umat Islam menjadi mayoritas, ketika umat Islam
memosisikan minoritas, sebutlah Umat Kristiani, Hindu, Budha dan yang lainnya
sama dengan Umat Islam, maka mereka yang telah menjalankannya berada dalam
toleransi yang mahal dalam artian pada level atas. Kemudian untuk faktor kedua
misalnya, seorang muslim yang sudah jelas dalam kesehariannya selalu
berperilaku moderat kemudian ketika ia dihadapkan dengan seorang muslim yang
radikal, ia tetap bersikap moderat, maka ia telah berada pada toleransi yang
mahal. Begitulah yang dikatakan oleh Robert Setio, PhD tentang faktor yang
menjadikan toleransi mahal.
Sikap intoleransi
merupakan sikap yang harus kita lawan bersama. Terlebih yang menjadi sangat
sensitif adalah intoleransi antar pemeluk agama. Adanya sikap tersebut karena
beberapa faktor yang kemudian menjadikan timbul ke permukaan kehidupan. Seorang
pakar tafsir al-Qur’an di Indonesia, Dr. Sahiron Syamsudin mengatakan bahwa
salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya intoleransi adalah karena Truth
Claim (Klaim Kebenaran). Mengklaim paling benar diantara yang lainnya. Hal
ini kemudian yang memicu adanya percikan pergesekan di antara pemeluk beragama.
Ia lantas memberikan
contoh dengan penafsiran salah satu ayat al-Qur’an yaitu surat al-Baqarah ayat
111-113. Ia menafsirkan dengan metide Ma’na-Cum-Maghza, yaitu dengan
melihat makna asli dari suatu ayatnya, kemudian melihat historisitasnya, dan
menarik signifikansinya ke kondisi sekarang. Ia sebut metode-nya hampir mirip
dengan metode Double Movement- Nya Fazlur Rahman atau Contextualist-nya
Abdullah Saeed.
Hanya saja perbedaan metode Fazlur Rahman dan
Abdullah Saed lebih fokus kepada ayat-ayat hukum tetapi metodenya lebih umum
tidak terikat pada ayat hukum saja. Inti dari penafsiran ayat 111-113 surat
al-Baqarah ditekankan pada keselamatan bagi siapa saja yang menyerahkan diri
kepada Tuhannya dan berbuat baik. Lebih jauh Baca Buku Costly Tolerance
editor Suhadi 2018 terbitan CRCS UGM
halaman 67. Agar pemahannya lebih komperehensif.
Akhirnya, untuk
mendapatkan sebuah toleransi yang mahal butuh pengorbanan dan perjuangan. Serta
untuk menghindari sikap intoleransi, jauhkan diri kita dari sikap Truth
Claim ketika dihadapkan dengan perbedaan pendapat. Dalam hal apapun
perbedaannya, berikanlah ruang untuk menerima di sisi lainnya yang akan
menimbulkan kesamaan untuk kemudian kita dapat bersikap toleransi kepada
siapapun. Toleransi itu mahal. Wallahu'alam..
Komentar
Posting Komentar