Pondok pesantren merupakan sebuah lembaga
pendidikan Islam. Di dalamnya meliputi kiai, santri, asrama, masjid, dan ruang
pembelajaran. Ada 3 sebutan pondok pesantren, yaitu salafiyah, semi modern, dan
modern. Semuanya memiliki kesamaan yaitu untuk mendalami ilmu agama.
Sangat beragam budaya di pondok
pesantren, mulai dari yang positif dan ada pula yang negatif dan tentu yang
negatif ini tidaklah diajarkan melainkan tumbuh dengan sendirinya dan faktor
yang lainnya. Budaya positif tersebut meliputi pengajian kitab, membaca
al-Qur’an, bahstul masail (membahas suatu masalah), sorogan membaca kitab dan
lain sebagainya. Kemudian, budaya negatif meliputi, mandi bersama (masih ada di
beberapa pondok), makan bersama (negatif secara kesehatan) ghasab dan
lain-lain.
Hal yang ingin penulis jelaskan lebih
jauh adalah tentang budaya negatif ghasab. Budaya ini sudah menjadi
budaya yang mengakar di kalangan santri, seperti halnya perputaran mata uang.
Antara satu santri dengan satu santri dan yang lain biasa dengan budaya meng-ghasab.
Ghasab secara bahasa artinya mengambil sesuatu yang bukan miliknya
secara aniaya. Secara umum diartikan memakai sesuatu kepemilikan seseorang tanpa meinta izin terlibih dahulu.
Biasanya barang yang di-ghasab
adalah sandal. Tempat untuk meluncurkan rencana meng-ghasab itu biasanya
di masjid setelah usai shalat berjamaah. Rencana licik dan cerdik selalu ada,
ketika berangkat ke masjid mengenakan sandal capit, pulang-pulang mengenakan
sandal ardiles. Dan biasanya juga, orang
yang di-ghasab pun meng-ghasab juga.
Budaya seperti ini perlu kita pangkas
habis, mungkin ada alirannya, aliran ghasabiyah, dan ideologinya telah
mengakar dan mempengaruhi lingkungannya. Biasanya sasaran para peng-ghasab
adalah santri baru. Santri yang mungkin belum mengetahui dunia per-ghasaban.
Santri yang masih bersih dari ideologi-ideologi aliran ghasabiyah itu.
Telah menjadi suatu permasalahan yang
serius aliran tersebut. Berbagai cara digencarkan untuk menumpas budaya dari
aliran tersebut. Dan aliran ghasabiyah masih terus hidup, tidak pernah punah.
Mungkin di beberapa pondok pesantren telah punah, namun tidak di semua pondok
pesantren.
Jika meninjau dari hukumnya, menurut
fikih ahlussunah ghasab-meng-ghasab itu haram tetapi tidak
membatalkan shalat, sedangkan menurut fikih ahlulbait itu haram dan shalatnya
batal (https://ejajufri.wordpress.com). Dan untuk kehati-hatian sebaiknya kita
menghindari dan tidak melakukan ghasab. Di samping haram juga merugikan
bagi yang menjadi korban.
Lalu faktor apa yang kemudian menyebabkan
adanya ghasab. Dari hasil pengalaman pribadi penulis mondok selama 6 tahun yang
biasa melihat bahkan pernah melakukannya sesekali karena terpakasa, faktor nya
yaitu pertama, jika yang di-ghasab sandal, biasanya karena sandal
miliknya di-ghasab sehingga meng-ghasab juga. Kedua, jika ketika
berada di asrama, faktor malas mengambil sandal di dalam kamar. Ketiga,
karena sandalnya rusak. Keempat, sudah terbiasa dan menjadi kebiasaan
bagi dirinya.
Kemudian solusi menurut penulis adalah
dengan cara memberikan hukuman yang berat bagi siapa saja yang meng-ghasab.
Selanjutnya, jika dalam hal ini barang yang di-ghasab adalah sandal, maka perlu
diadakannya pengecekan sandal kepada seluruh santri setiap 3 bulan sekali.
Perlu tegas. Karena ini merupakan budaya negatif yang harus dihilangkan.
Maka dari itu, bagaimanapun beratnya
hukuman yang diberikan dan bagaimana pun caranya untuk menumpas aliran
ghasabiyah, tetap saja sebuah kebiasaan yang mengakar tidak akan hilang begitu
saja. Dan hilangnya aliran tersebut ketika setiap santri sadar untuk tidak
melakukannya. Maka hal yang paling utama yang harus dilakukan adalah untuk
selalu saling mengingatkan dan menyadarkan bahwa ghasab itu dilarang dan
haram.
Akhirnya, mari dengungkan dan suarakan
untuk sama-sama menumpas aliran ghasabiyah. Dan jika ada yang tercyduk
meng-ghasab maka tugas kita untuk
menergur, mengingatkan, dan menyadarkan. Mari tumpas aliran ghasabiyah
ini dari budaya pondok pesantren. Demi kepentingan dan kemaslahatan semua.
Komentar
Posting Komentar