Makalah SejarahPerkembangan Ulumul Qur'an Abad Ke-4



Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Ulumul Quran I (Sejarah Ulumul Quran)
Dosen Pengampu: Muhammad Hidayat Noor, S.Ag., M.Ag.
Disusun  oleh:
Muslih Rifai                            17105030002
Mufida Nur Arifah                 17105030064
Fikru Jayyid Husain                17105031005


PROGRAM STUDI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2018

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, alhamdulillah wa syukru lillah, wassholatu wassalaamu ‘ala rasuulillah. Puji syukur Kami panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui yang telah melimpahkan segala rahmat, inayah, dan karunia-Nya sehingga Kami bisa menyelesaikan makalah ini  secara maksimal. Kemudian, shalawat dan salam Kami haturkan kepada Nabi agung akhir zaman, Muhammad shollallahu alaihi wa sallam yang menuntun manusia dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang.
Pertama, Kami ucapkan terima kasih yang mendalam kepada Bapak Prof. Muhammad Hidayat Noor, S.Ag., M.Ag. selaku dosen pengampu mata kuliah Ulumul Quran 1 yang telah membimbing kami dalam belajar. Kemudian Kami mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu dalam mempelajari Al-Qur’an dan Hadist dan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, sehingga Kami bisa menyelesaikannya tepat waktu.
Kedua, Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu Kami meminta maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan makalah ini. Kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat Kami perlukan demi perbaikan makalah ini.
Terakhir, semoga makalah ini bermanfaat untuk pembaca pada umumnya, dan Kami, sebagai penulis, pada khususnya.

Yogyakarta, 24 Februari 2018

Penulis


DAFTAR ISI








BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Al-Qur’an adalah kitab suci yang Allah turunkan sebagai karunia yang besar bagi Rasulullah SAW dan umatnya. Diturunkan Allah melalui Jibril untuk kemudian menjadi  penyempurna dari kitab-kitab sebelumnya. Keuniversalannya tak bisa diragukan lagi, segala aspek kehidupan manusia tercakup di dalamnya. Berbagai macam ilmu di dunia,  ketika dirunut ke belakang, memiliki korelasi erat dengan Al-Qur’an. Pada abad belakangan ini, kita telah mendengar cukup banyak ilmuan non muslim memeluk Islam tersebab hidayah Allah melalui penelitan mereka mengenai Al-Qur’an. Di sini terlihat bahwa Al-Qur’an memiliki pengaruh berarti bagi berkembangnya ilmu pengetahuan. Namun, Al-Qur’an takkan mampu memberi pengaruh ketika tidak ada ilmu-ilmu yang dapat digunakan untuk membahas kandungan Al- Qur’an.
Dahulu pada masa Rasulullah, ilmu yang membahas mengenai Al-Qur’an (Ulumul Qur’an) belum mengalami kodifikasi. Hal ini dikarenakan berbagai sebab, diantaranya adalah pada masa itu sahabat merupakan orang Arab asli sehingga mereka mudah memahami Al-Qur’an. Jikapun ada kesulitan pemahaman, mereka dapat menanyakannya secara langsung kepada Rasulullah. Zaman terus berputar dan kondisi telah berbeda.  Maka pada abad ke 2 sampai 3 hijriyah, Ulumul Qur’an mulai dikodifikasikan para ahli di bidangnya seperti Hasan Al-Bashri dan Qatadah. Di abad keempat, Ulumul Qur’an masih mengalami perkembangan. Diantara Ulama-ulama yang berperan aktif dalam pengembangannya seperti Abu Bakar Qasim al-Anbari, Abu Bakar as- Sijistani, dan Muh. Ibn Ali al- Afdawi. Dalam makalah ini, akan kami paparkan secara singkat mengenai perkembangan keilmuan umum maupun keagamaan, sikap pemerintah terhadap berkembangnya keilmuan, serta tokoh-tokoh yang berperan aktif dalam kodifikasi Ulumul Qur’an pada abad ke-4 hijriyah. 




B.  Rumusan Masalah

1.    Bagaimana sejarah Ulumul Qur’an pada abad ke 4 H ?
2.    Bagaimana perkembangan ilmu umum pada abad ke 4 H ?
3.    Bagaimana sikap khalifah abad tersebut terhadap perkembangan ilmu ?

C.  Tujuan

1.    Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an 1.
2.    Untuk mengetahui sejarah Ulumul Qur’an pada abad ke 4 H.
3.    Untuk mengetahui perkembangan ilmu umum pada abad ke 4 H.
4.    Untuk mengetahui sikap khalifah abad tersebut terhadap perkembangan ilmu.



BAB II

PEMBAHASAN

A.  Sejarah Ulumul Qur’an abad 4

1.      Pengertian Ulumul Qur’an
Secara bahasa, istilah ‘Ulumul Qur’an berarti ilmu-ilmu al-Qur’an. Yakni dari kata bahasa arab ‘ulum bentuk jamak kata ‘ilm, yang berarti ilmu atau pengetahuan;[1] dan al-qur’an adalah kitab suci umat islam yang merupakan kalam (firman) Allah yang berbahasa arab yang di wahyukan kepada Nabi Muhammad Saw melalui perantara malaikat jibril secara mutawatir dan membacanya dinilai ibadah di awali dari surat al-fatihah dan diakhiri surat an-nass.
Dengan demikian secara terminologi ‘Ulumul Qur’an menurut T.M Hasbi As-Shiddiqie adalah pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan al-qur’an, dari segi nuzulnya, tertibnya, mengumpulnya, menulisnya, membacanya dan menafsirkannya, i’jaznya, nasikh mansukhnya, menolak syubhat-syubhat yang dihadapankan kepadanya.[2]
2.      Ruang Lingkup ‘Ulumul Qur’an
Berdasarkan pengertian ‘ulum al-qur’an di atas dapat dipahami tentang ruang lingkup ulum al-qur’an, yaitu semua yang berhubungan dengan al-qur’an berupa ilmu agama dan ilmu ‘ibrah al-qur’an. Bahkan As-Suyuthi sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syadali memperluasnya sehingga memasukkan kedokteran, ilmu ukur, astronomi dan sebagainya ke dalam pembahasan ‘Ulumul Qur’an.
Namun As-Shiddiqie sebagaimana yang dikutip oleh Ramli Abdul Wahid mengatakan bahwa segala macam pembahasan ‘ulumul qur’an kembali kepada beberapa pokok persoalan sebagai berikut:
a.       Persoalan nuzul, ayat-ayat makiyah atau madaniyah, sebab turun ayat, yang mula-mula turun dan yang terakhir turun.
b.      Persoalan sanad, meliputi hal-hal yang berhubungan dengan sanad, yang ahad, yang syaz, bentuk-bentuk qira’at, dll.
c.       Persoalan adab qira’at, masalah waqaf, ibtida’, imalah, takhfif hamzah, idgham.
d.      Persoalan yang menyangkut lafadz al-qur’an.
e.       Persoalan makna al-qur’an yang berhubungan dengan hukum.
f.       Persoalan makna al-qur’an yang berhubungan dengan lafadz fashl.[3]
3.       Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan ‘Ulumul Qur’an
Sebagai ilmu yang terdiri dari cabang dan macamnya, ‘ulumul qur’an tidak langsung lahir begitu saja. ‘Ulumul Qur’an menjadi suatu cabang ilmu yang disiplin melalu proses pertumbuhan dan perkembagan. Berikut ini adalah alur pertumbuhan dan perkembangan ‘ulumul qur’an.
a.       Masa Sebelum Penulisan
Di masa Rasulullah dan sahabat, ‘ulumul qur’an belum begitu dikenal di masa itu. Jadi, pada masa itu apabila sahabat menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat langsung menanyakannya kepada Rasulullah Saw.
Ada tiga faktor yang menyebabkan ‘ulumul qur’an tidak dibukukan pada masa Rasulullah dan sahabat.
1)      Kondisinya tidak terlalu dibutuhkan karena kemampuan mereka yang besar.
2)      Para sahabat sedikit sekali yang ahli dalam menulis.
3)      Adanya larangan Rasul dalam menulis selain al-qur’an.[4]
b.      Masa Penulisan ‘Ulumul Qur’an
Di zaman khalifah usman bin affan wilayah islam semakin bertambah luas sehingga terjadi pembaruan antara penakluk arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa arab. Keadaan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan sahabat akan terjadinya perpecahan di kalangan muslimin tentang bacaan al-qur’an. Sehingga disalinlah dari tulisan aslinya yang disebut Mushaf Imam. Dengan terlaksananya penyalinan ini, Usman berarti telah meletakkan suatu dasar ‘ulumul qur’an yang disebut Rasm Al-Qur’an atau al-Rasm al-Utsmani.[5]
Di masa Ali terjadi perkembangan dalam ilmu qur’an. Karena melihat banyaknya umat islam yang berasal dari bangsa non arab, kemerosotan dalam bahasa arab, dan kesalahan pembacaan al-qur’an. Pada abad ke-2 H, ulumul qur’an memasuki masa pembukuan. Para ulama memberikan prioritas perhatian kepada ilmu tafsir karena fungsinya sebagai Umm al-‘ulum al-qur’aniah.[6]
Pada abad ke-3 H terkenal seorang tokoh tafsir, yaitu Ibn Jarir al-Thabari. Ia juga mengemukakan I’rab dan Istinbath (penggalian hukum dari al-qur’an). Di abad ini juga lahir ilmu asbab al-nuzul, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu tentang ayat-ayat makiyah dan madaniyah.
Pada abad ke-4 H, banyak persoalan seputar al-qur’an yang muncul seperti keingintahuan mereka tentang cara pewahyuan, apa dan bagaimana memahami ayat secara benar, konteks ayat dan kronologis turunnya ayat. Pada masa dinasti umayyah sebagai kelanjutan khalifah Rasyidah, kekuasaan politik islam semakin luas dan tidak lagi terkonsentrasi di mekkah dan madinah. Pembukuan hadis berlangsung di masa ini, sedangkan al-qur’an karena sudah dibukukan maka langkah-langkah utama adalah pemahaman al-qur’an dan penafsiran al-qur’an.[7]
Selain itu tercatat beberapa nama penulis kitab-kitab yang muncul pada abad ke-4 H, yaitu:
1)      Abu Bakar Muhammad Ibn al-Qasim al-Anbari, kitabnya ‘Ajaib ‘Ulumul Qur’an.
2)      Abu Hasan al-Asy’ari, kitabnya Al-Mukhtazan fi ‘Ulumul Qur’an.
3)      Abu Bakar al-Sijistani, kitabnya Gharib al-Qur’an.
4)      Muhammad Ibn Ali al-Adwafi, kitabnya Al-Istighna fi ‘Ulumul Qur’an.
    4. Urgensi Mempelajari Al-Qur’an
Adapun tujuan dari mempelajari ‘Ulumul Qur’an adalah :
a.       Agar dapat memahami kalam Allah sejalan dengan keterangan yang dikutip oleh para sahabat dan para tabi’in tentang interpretasi mereka terhadap al-qur’an.
b.      Agar mengetahui cara dan gaya yang digunakan oleh para mufassir dalam menafsirkan al-qur’an.
c.       Agar mengetahui persyaratan-persyaratan dalam menafsirkan al-qur’an
d.      Agar mengetahui ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan dalam menafsirkan al-qur’an.

B. Perkembangan Ilmu Umum Pada Abad Ke-4 Hijriyah

            Abad keempat hijriyah adalah masa kekuasaan dinasti Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H/750 M. oleh Abdul Abbas al-Saffaah yang sekaligus sebagai khalifah pertama. Kekuasaan dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang pajang yaitu selama lima abad dari tahun 132 H – 656 H / 750 M – 1258 M.[8] Zaman ini adalah zaman keemasan Islam, demikian Jarji Zaidan memulai lukisannya tentang Daulah Abbasiyah. Dalam zaman ini, bermacam-macam keilmuan Islam lahir dan berbagi ilmu penting telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab.
            Istana para khalifah menjadi meannya para penyair, para pujangga, para ulama, dan para sarjana. Daulah Abbasiyah mempunyai kedaulatan atas dunia Islam, pada saat Eropa tenggelam dalam kegelapan. Pada saat itu, Timur sedang berada dalam periode kebangkitan pikiran, dimana Islam datang menghembuskan semangat ini. Maka bangkitlah Persia, Turki, Tatar, Hindia, bahkan penduduk Cina dan Jepang turut bangkit kebudayaannya di masa daulah Abbasiyah.[9]
            Selama masa Daulah Abbasiyaah, terjadi berkali-kali perubahan corak kebudayaan Islam, sesuai dengan terjadinya perubahan dalam bidanng ekonomi, poitik, dan sosial. Berdasarkan perubahan demikian, maka para ahli budaya Islam di zaman Daulah Abbasiyah membagi masa kebudayaan zaman ini kepada empat masa, yaitu[10] :
1. Masa Abbasy I (132 H / 750 M – 232 H / 847 M)
2. Masa Abbasy II (232 H / 847 M - 334 H / 946 M)
3. Masa Abbasy III (334 H / 946 M – 447 H / 1055 M)
4. Masa Abbasy IV (447 H / 1055 M - 656 H / 1268 M)
            Dari pembagian masa di atas, dapat kita lihat bahwa abad ke-4 hijriyah berada pada masa Abbasy II hingga mansa Abbasy III. Pada 3 masa terakhir yakni masa Abbasy II, III, dan IV kekuasaan politik dari Daulah Islamiyyah ini mulai menurun.[11] Namun, walaupun keadaan politik dan militernya telah merosot, tidaklah demikian halnya keadaan ilmu pengetahuan. Bahkan, dalam zaman ini ilmu pengetahuan tambah menanjak maju seperti yang digambarkan oleh Ahmad Amin, “... Kalau yang demikian dianggap kelemahan dari segi politik, maka sesungguhnya zaman itu (Daulah Abbasiyah III – IV) tidaklah lemah
dalam bidang ilmu pengetahuan...”.[12]
            Seperti telah diterangkan bahwa dalam zaman Abbasiyah berbagai cabang ilmu Islam telah tumbuh subur, seperti yang dilukiskan oleh ahli sejarah George Zaidan, “Pada awal sejarahnya, ilmu-ilmu Islam berkembang dalam bidang qira’ah, tafsir, dan hadits.”  
Kemudian menyusul Ilmu Fiqh. Ilmu-ilmu ini bertambah subur dan berkembang, sesuai dengan evolusi kemajuan masyarakat. Telah diketahui, bahwa ilmu fiqh telah matang dan berhunjam kaidah-kaidahnya pada masa Abbasiyah I, dan hadits pada masa daulah Abbasiyah II. Di tengah-tengah itu, lahir cabang ilmu-ilmu Islam yang lain mengiringi berkembangnya filsafat dan ilmu-ilmu lama lainnya, sementara zaman-zaman berikutnya, tumbuh pula berbagai cabang ilmu yang lain.
Siapa saja pernah memperhatikan kesibukan kaum Muslimin dalam pengembangan ilmu-ilmu Islam, akan kagum terhadap keilmuan mereka mempergunakan pikiran dan akal...terutama fiqh, yang merupakan hasil karya akal ijtihad mereka melulu, tidak ikut campur umat-umat lain...”.[13]

C. Khalifah Abbasiyah dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan pada Masa  Abbasiyah Abad 4 Hijriah

            Abad keempat Hijriyah merupakan masa Dinasti Abbasiyah berkuasa di tanah arab. Tetapi, pada masa Daulah Abbasiyah II, III, IV, kekuasaan Khalifah melemah bahkan terkadang hanya sebagai lambang saja. Kekuasaan politik pusat jatuh wibawanya karena negara-negara bagian (kerajaan kecil) tidak lagi menghiraukan pemerintah pusat kecuali pengakuan secara politisi saja. Demikian juga militer pemerintah pusat menurun, karena masing-masing panglima membentuk kekuasaan dan pemerintahan masing-masing.[14]
Dengan keadaan politik dan militer yang merosot, ilmu pengetahuan bisa maju dengan pesatnya. Hal itu disebabkan karena masing-masing khalifah kerajaan, berlomba-lomba untuk memajukan ilmu pengetahuan, berlomba-lomba untuk mendirikan perpustakaan, mengumpulkan para ilmuwan, para pengarang, penerjemah, memberi kedudukan terhormat kepada ulama dan pujangga. Sehingga membuat bidang ilmu pengetahuan pada abad ke-4 H menjadi maju dibandingkan abad sebelumnya. Penyebabnya karena pada masa itu berbagai ilmu pengetahuan telah matang dan sempurna. Serta berbagai kitab yang bermutu telah cukup banyak diterjemahkan kemudian dikarang kembali, terutama ilmu bahasa, sejarah, geografi, adab, dan filsafat.[15]
Perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat maju tersebut diawali dengan penerjemahan naskah asing terutama yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, pendirian pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan dan terbentuknya mazhab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai buah dari kebebasan berfikir. Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang paling berhasil dalam mengembangkan peradaban Islam. Para ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja para pakar pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah dalam memajukan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam.
Khalifah Abbasiyah pun sangat antusias dengan perkembangan keilmuan yang terjadi pada masyarakat. Para Khalifah sangat mengapresiasi para cendikiawan yang ingin mencurahkan ilmunya lewat tulisan dengan memberinya hadiah emas sesuai dengan berat buku yang telah ditulis oleh cendikiawan tersebut.
Khalifah juga membangun sarana pendidikan pada awal-awal perkembangan pada saat masa itu dengan membaginya kepada dua tingkat :
1.      Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
2.      Tingkat pendalaman, dimana para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.[16]
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, juga dapat digunakan untuk  membaca, menulis, dan berdiskusi.[17] Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. kemajuan tersebut  paling tidak ditentukan oleh dua hal : Pertama, terjadinysa asimilasi antar bangsa, bangsa Arab belajar kepada bangsa-bangsa yang terlebih dahulu telah mengalami perkembangan ilmu pengetahuan. Misalnya Persia dengan ilmu filsafat dan sastra, India dengan ilmu kedokteran, matematika, dan astronomi, dan Yunani melaui ilmu filsafat dan ilmu lainnya melalui terjemahan buku-buku ke dalam bahasa Arab. Kedua, adanya gerakan terjemahan karya ilmuwan asing ke dalam bahasa Arab. Fase pertama dimulai pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga abad 4 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah abab ke-4 Hijriah, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas[18]
Khusus pada abad ke-4 Hijriyah, ilmu pengetahuan berkembang terutama di bidang ilmu hadis. Pada masa ini ulama mutaakhirin sudah mulai memetik atau menukil dari kitab-kitab susunan ulama mutaqaddimin menggunakan sistem istidrak dan istikhraj. Berbeda dengan ulama mutaqaddimin yang mengumpulkan hadisnya dengan menemui langsung para penghafalnya yang tersebar di seluruh jazirah Arab, Persia, dan lain-lain. Sistem Istidrak ialah sistem yang mengumpulkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim atau selain daripada keduanya, namun memenuhi syarat-syarat yang dipergunakan oleh Bukhari ataupun Muslim. Sedangkan yang dimaksud dengan istikhraj ialah mengambil hadis contohnya dari Bukhari atau Muslim, lalu meriwayatkan dengan cara sendiri, bukan dari sanad Bukhari atau Muslim. Dengan demikian pada akhir abad keempat dapat dikatakan pembinaan dan pelestarian hadis yang diterima dari Rasul telah selesai.[19]
Pada abad ke-4 Hijriah perhatian para ulama terhadap ilmu-ilmu Quran semakin besar. Hal ini terbukti dengan maraknya para ulama yang menyusun dan mendokumentasikan ulum al-Quran. Pada abad inilah munculnya ilmu-ilmu baru yang disebut dengan istilah ilmu Gharib al-Quran. Di antara para ulama yang mencurahkan perhatiannya dalam bidang itu pada abad ini ialah:
a.       Abu ‘Ali al-Hufi (346 H), menyusun kitab yang diberi judul Fadla’il al-Quran.
b.      Abdullah bin Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy-ats (316 H), menyusun kitab al-Mashanif.
c.       Sayyid as-Syarif ar-Radli (406 H), dengan kitabnya Talkhish al-Bayan fi Majazat al-Quran.
d.      Abu Bakar Muhammad Ibn Qasim, al-Anbariy (328 H), kitabnya berjudul ‘Aja’ib Ulum al-Quran. Dalam kitab tersebut dibicarakan tentang keutamaan dan keistimewaan al-Quran, tentang turunnya al-Quran dalam tujuh huruf, penulisan mushaf, jumlah surat dan ayat serta kalimat-kalimatnya.
e.       Abu Hasan al-Asy’ariy (324 H), dengan kitabnya yang berjudul al-Muhtazzan fi ‘Ulum al-Quran
f.       Abu Bakar as-Sijistaniy (330 H), dengan kitabnya ‘Ilmu Gharib al-Quran. Menurut riwayat, kitab tersebut ditulisnya selama lima belas tahun.
g.      Abu Muhammad al-Qashshab Muhammad bin ‘Ali al-Karkhi (360 H), kitabnya diberi judul Nukat al-Quran al-Dallah ‘Ala al-Bayan fi Anwa’ al-‘Ulum wa al-Ahkam al-Munbi’ah an Ikhtilaf al-anam.
h.      Muhammad bin ‘Ali al-Adfuwiy (388 H), dengan kitabnya yang berjudul al-Istighna’ fi ‘Ulum al-Quran.[20]
i.       Abu Ishaq Az-Zujjaj Ibrahim ibnu As-Sirri An-Nahwy (310 H). Kitab tafsirnya berjudul Ma‘anil Qur'an.
j.        Abu Ali Al-Farisy, wafat pada tahun 377 H.
k.      Abu Bakar Muhammad ibnu Hasan, dikenal dengan panggilan An-Naqqasy al-
 Maushul. Ia wafat pada tahun 351 H.
l.        Abu Ja‘far An-Nahhas An-Nahwy dari Mesir (338 H).
m.   Makki ibnu Abi Thalib Al-Qaisy An-Nahwy dari Maroko (437 H).
n.      Abul ‘Abbas Ahmad ibnu Ammar al-Mahdawy (430 H). Kitab tafsirnya berjudul at- Tafshilul Jami‘ Li‘ulumit Tanzil.[21]











BAB III

PENUTUP

A.  Kesimpulan

Ulumul Quran pada abad ke-4 Hijriah mengalami perkembangan terutama dalam ilmu Garib al-Quran yang dikarang oleh tokoh yang bernama Abu Bakar As-Sijistani. Bidang lainnya terdapat Muhammad al-Baqilani yang menulis kitab I’jaz al-Quran, Abu Bakar Muhammad Ibn al-Qasim al-Anbari dengan kitabnya ‘Ajaib ‘Ulumul Qur’an, Abu Hasan al-Asy’ari dengan kitabnya Al-Mukhtazan fi ‘Ulumul Qur’an, Muhammad Ibn Ali al-Adwafi dengan kitabnya Al-Istighna fi ‘Ulumul Qur’an, dan az-Zajaj yang menulis kitab Ma’anil Quran.

B.  Saran

Demikian pembahasan kami dalam makalah yang sederhana ini. Pepatah mengatakan, “Tak ada gading yang tak retak”, maka tentulah makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Kritik dan saran sangatlah kami harapkan dari para pembaca sekalian. Semoga makalah yang ringkas ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.




DAFTAR PUSTAKA


Al-Maraghi, Ahmad Ibnu Musthafa. 1946. Tafsir al-Maraghi. Mesir :
            Mustafa al-Babi al-Halbi.

Aminullah, A. Najili. Dinasti Bani Abbasiyah, Politk, Peradaban, dan
Intelektual. Dalam Jurnal UIN Banten..

As-Shiddiqie, T.M. Hasbi. 1993. Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Bulan
            Bintang.

Hasjmy, A. 1973. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta : Bulan Bintang.
Saefuddin, Machfud dkk. 2013. Dinamika Peradaban Islam. Yogyakarta :
            Pustaka Ilmu Group.

Sunanto, Musyrifah. 2004. Sejarah Islam Klasik (Perkembangan Ilmu        
            Pengetahuan Islam). Jakarta: Prenada Media.

Syamruddin. 2007. Sejarah Peradaban Islam. Riau : Badan Penelitian
dan Pengembangan Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau.

Usman. 2009. Ulumul Quran. Yogyakarta: Teras.





[1]H.M. Rusydi Khalid, Jurnal Adabiyah Vol. X Nomor 2/2010.
[2]Abd. Gani Isa, Ulumul Qur’an (Kajian Sejarah dan Perkembangannya), mengutip dari T.M. Hasbi As-Shiddiqie, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hlm. 10-11.
[3]Ibid., hlm. 8
[4]Ibid., hlm. 120.
[5]Ibid., hlm. 30
[6]Ibid., hlm. 30
[7]H.M. Rusydi Khalid, Jurnal Adabiyah Vol. X Nomor 2/2010.
[8] Machfud Saefuddin dkk, Dinamika Peradaban Islam, Yogyakarta : Pustaka Ilmu Group, 2013, hlm. 91.
[9] A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1973, hlm. 187.
[10] Ibid., hlm 187.
[11] Ibid., hlm. 188.
[12] Ibid., hlm. 190.
[13] Ibid., hlm. 190-191.
[14] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik (Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam), Jakarta: Prenada Media, 2004, hlm. 51.
[15] Ibid., hlm. 54.
[16] A. Najili Aminullah, Dinasti Bani Abbasiyah, Politk, Peradaban, dan Intelektual, Dalam Jurnal UIN Banten, hlm. 25.
[17] Syamruddin, Sejarah Peradaban Islam, Riau : Badan Penelitian dan Pengembangan Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau, 2007,  hlm. 83.
[18] Ibid., hlm. 83
[19] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik (Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam), Jakarta: Prenada Media, 2004, hlm. 65-66.
[20] Usman, Ulumul Quran, Yogyakarta: Teras, 2009, hlm. 24-25.
[21] Ahmad Ibnu Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Mesir, Mustafa al-Babi al-Halbi, 1946, hlm. 10.


Komentar