Hermeneutika
Alquran sebagai sebuah istilah yang tidak asing di kalangan sarjana muslim
kontemporer tidak hadir begitu saja. Ia telah melalui perdebatan-pertentangan
di antara sarjana kontemporer Islam. Untuk memahami hermeneutika Alquran paling
tidak kita perlu mengetahui sejarah dan teoritisasinya sehingga kemudian
diadopsi-dikawikan yang pada gilirannya muncul sebagai sebuah istilah
hermeneutika Alquran. Dengan itu, sebelum memasuki hermeneutika Alquran,
baiknya kita merunut terlebih dahulu dari sejarah hingga definisi dasarnya.
Sejarah Singkat
Embrio
hermeneutika paling tidak sudah ada dan disinggung dalam filsafat antik di Yunani
Kuno. Pada saat itu yang menjadi objek penafsiran adalah teks-teks kanonik
(telah dibuktikan) baik itu kitab suci, hukum, puisi ataupun mitos. Pada saat
itu banyak teks mitos dan epos seperti yang ditulis Homer, Ilias dan Odysse
juga oleh Hesiod, Theogonie dan Werke und Tage. Selanjutnya
hermeneutika dikembangkan oleh para teolog Kristen untuk memahami bible. Baru
setelah itu kemudian hermeneutika menjadi hermeneutika umum.
Dari sana,
dapat dilihat bahwa hermeneutika melalui beberapa tahapan dari hermeneutika
teks kuno, ke kitab suci Bibel baru kemudian hermeneutika umum. Hermeneutika
umum di sini maksudnya adalah hermeneutika yang kemudian tidak terpaku hanya
pada penafsiran kitab suci saja. Pencetus pertama hermeneutika umum sendiri
adalah Johann Conrad Dannhauer. Selanjutnya dipelopori oleh Ernst Shleiermacher
dan Wilhelm Ditlhney.
Hermeneutika:
Etimologis dan Terminologis
Hermeneutika
secara etimologi berasal dari kata Yunani, hermeneuein yang berarti
menafsirkan dan dari kata benda hermeneia yang berarti interpretasi.
Kata hermeneuein sendiri diambil dari nama suci yaitu hermes yang
konon katanya dianggap sebagai dewa yang bertugas menjadi perantara antara
Tuhan dengan manusia, bertugas untuk menerjemahkan dan menyampaikan pesan
Tuhan. Gadamer mengatakan bahwa sebelum menjadi sebuah istilah, hermeneutika
dipahami sebagai sebuah aktivitas penafsiran dan pemahaman.
Secara
terminologi Gadamer berpendapat hermeneutika adalah seni praktis, yakni techne,
yang digunakan dalam hal-hal seperti ceramah, menafsirkan bahasa-bahasa lain,
menerangkan, menjelaskan teks-teks, dan ia merupakan seni memahami dari sebuah
teks yang tidak jelas. Frieddrich Shleiermacher mengungkapkan hermeneutika
adalah seni memahami, dalam artian mengacu pada proses penyingkapan atau
menangkap makna dalam bahasa, struktur smbol atau teks. Franz-Peter Burkard,
hermeneutika adalah seni menafsirkan teks dalam arti luas refleksi teoritis
tentang metode-metode dan syarat-syarat pemahaman. Werner secara sederhana
mendefinsakan hermeneutika hanya sebagai sebuah teori penafsiran. Adapun
Lawrence menyatakan, hermeneutika berkaitan dengan cara atau teori menafsirkan
dengan benar.
Aliran
Hermeneutika Tinjauan Pemaknaannya
Sahiron membagi
aliran hermeneutika dari sudut pandang pemaknaan teksnya ke dalam 3 aliran;
obyektivis, subyektivis, dan obyektivisi-cum-subyektivis. Aliran obyektivis
berusaha menafsirkan sesuai dengan makna asalnya atau makna yang dimaksud oleh
pengarang. Aliran ini berpendapat untuk sampai pada hal tersebut harus
menggunakan analisis kebahasaan atau linguistik. Adapun aliran subyektivis
menekankan pada pemaknaan sesuai penafsir/pembacanya. Aliran ini menjelaskan
bahwa makna itu selalu berubah dan tidak tertutup sehingga bersifat
relative-individualistik. Sedangkan aliran obyektivis-cum-subyektivis berada di
tengah-tengahnya. Aliran ini berusaha untuk menggali makna orsinilnya di satu
sisi, tetapi di sisi lain melakukan pengembangan makna untuk masa di mana teks
ditafsirkan.
Hermeneutika
dan Penggunaanya Terhadap Alquran
Secara operasona Muhammad Abduh sejatinya
telah melakukan operasi hermeneutis dengan bertumpu pada analisis
sosial-kemasyarakatan. Selanjutnya, pada tahun 1960 sampai 1970-an, muncul
Hassan Hanafi yang membahas tetang metodologi hermeneutika untuk aplikasinya
terhadap Alquran.
Selain itu, Nashr Hamid Abu Zayd, dengan
teori ma’na dan maghza-nya yang terpengaruh oleh
hermeneutika Gadamer dan Hirsch. Abid al-Jabiri dengan teori al-Fashl (memisahkan subyektifitas
penafsir untuk mendapatkan data obyektifitas teks) dan al-Washl (menghubungkan
subyektifitas penafsir dalam proses penafsiran lanjutan), terpengaruh oleh
teorinya Paul Ricoeur. Fazlur Rahman dengan teori double-movement-nya.
Abdullah Saeed berinovasi dengan teori double movement-nya Rahman
menjadi tafsir kontekstual. Sahiron dengan teori Ma’na-Cum-Maghza-nya terpengaruh
oleh Gadamer, dan lain sebagainya.
Perbedaan mendasar antara tafsir
Alquran dengan hermeneutika Alquran adalah bahwa tafsir, pendekatannya
cenderung normativ-teologis sementara hermeneutika Alquran
historis-kontekstual. Hermeneutika Alquran selalu menekankan akan pentingnya
pendekatan historis untuk memahami Alquran. Bagaimanapun Alquran adalah kitab
historis yang tidak serta-merta langsung muncul begitu saja. Melalui hermeneutika,
Alquran dipahami dan ditafsirkan dengan melihat konteks historis, sosial,
budaya pada masa awal pewahyuan yang kemudian diambil signifikansinya untuk
kehidupan saat ini. Dengan begitu, Alquran yang historis tersebut dapat
diketahui semangatnya dan makna yang dimaksud juga dapat digunakan untuk
menjawab berbagai problematika kontemporer. Hermeneutika juga sebagai upaya
untuk menjembatani antara realitas dengan teks, dan sehingga dapat membumi.
Sumber Bacaan
Faiz, Fahruddin. Hermeneutika Alquran: Tema-Tema Kontroversial.
Yogyakarta: Kalimeda, 2015.
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik Dari
Schleiermacher Sampai Derrida. Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015.
Palmer, Richard E. Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi.
Translated by Musnur Hery and Damanhuri Muhammed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2016
Saeed, Abdullah. Al-Qur’an
Abad 21: Tafsir Kontekstual. Bandung: Mizan Pustaka, 2016.
Schimdt, Lawrence K. Understanding Hermeneutics. Durham:
Acuman Publishing, 2010.
Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika Dan Pengembangan Ulumul Qur’an.
Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2017.

Komentar
Posting Komentar