Hilangnya Suasana Kegembiraan Ramadhan di Kampung



Tadarus pun sama sekali tidak ada dari anak muda, kecuali bapak-bapak dan kakek-kakek. Mereka di mana? Ternyata mereka berkumpul di tempat yang ada wifinya. Untuk apa? MABAR.

Menjelang ramadhan 10 hari yang lalu, aku tidak mendengar satupun suara mercon ataupun lodong yang biasa hadir di ramadhan. Kemeriahan anak-anak yang gembira menyambut ramadhan hilang. Hilang entah kemana.

Waktuku masih kecil, ramadhan begitu menyenangkan. Sense of ramadhannya sangat terasa. Misalnya seperti di atas sudah disebutkan, menjelang ramadhan berdentuman suara lodong terbuat dari bambu atau mercon.

Setiap hari, di setiap subuh, setelah kuliah subuh, seringkali jalan-jalan ke sana kemari untuk mencari buah mangga yang jatuh. Menelusuri jalan-jalan nan menyenangkan. Kegiatan tersebut kita namai dengan nyubuh. Kita jamaah, di samping karena ada absen buku ramadhan, juga memang karena senang kumpul dengan teman.

Shalat tarawih menjadi momen yang ditunggu-tunggu, bukan karena sholatnya haha tetapi karena kumpul dengan temannya untuk bermain polisi-polisian. Permainan ini adalah permainan polisi menangkap penjahat, jadi kita dibagi dua, ada yang menjadi polisi dan penjahat.

Ah betapa indahnya mengenang masa-masa itu. Ketika sudah menjelang rakaat terakhir tarawih, polisi-polisian ini dihentikan dan semua berkumpul di masjid. Untuk apa? Untuk menabuh bedug-istilah sundanya Ngadulag. Saking inginnya menjadi yang pertama Ngadulag, anak-anak menyembunyikan alat pukulnya.

Setelah itu, kita pulang, dan terdengaridari mana-mana suara tadarus di masjid.

Di setiap sore, kita bermain ngabuburit bersama menyepeda ke taman atau alun-alun kota. Begitu menyenangkan membeli cimol cilok dengan hanya bekal seribu dua ribu rupiah. Pulang pas waktu adzan dan sampai rumah langsung makan.

Ramadhan saat ini, rasanya aku tidak melihat itu semua ada. Bahkan kian hilang. Ramadhan kali ini memang berbeda, karena di tengah pandemi korona. Tapi, aku yakin, itu bukan sebab satu-satunya. Karena shalat tarawih dan kegiatan di kampung tetap berjalan tanpa ada batasan apapun sampai saat ini.

Pergeseran ramadhan begitu terlihat nyata. Misalnya tentang ngadulag. Di hari awal-awal, anak-anak masih lumayan seru menabuh bedug atau ngadulag itu setelah tarawih, bergilir hari mulai ngadulag sebentar, dan malam ini, tidak ada satupun yang ngadulag setelah tarawih. Hilang kegembiraan ngadulag. Tradisi ini akankah hilang?

Tadarus pun sama sekali tidak ada dari anak muda, kecuali bapak-bapak dan kakek-kakek. Mereka di mana? Ternyata mereka berkumpul di tempat yang ada wifinya. Untuk apa? MABAR.

Hilang sudah sense of ramadhan saat ini. Generasi z dan tiktok ini begitu candu dengan teknologi dan permainan online, memang berbeda masanya. Untuk sekedar meramaikan dan menghidupkan suasana ramadhan pun tidak ada. Ramadhan kali ini terasa begitu sepi, sangat sepi.

Komentar