Kritik Syahrur atas rukun Islam yang telah lama diyakini oleh
setiap umat Islam di dunia begitu menohok, tajam dan cukup merangsang untuk kembali
memikirkan konsep rukun Islam tersebut. Bagaimana tidak, kritik yang
disampaikannya sangat baru, logis dan berdasar pada sumber primer Islam yaitu Alquran.
Dengan itu, penulis tertarik untuk memaparkannya dalam tulisan yang singkat
ini. Namun, sebelum masuk ke kritik yang disampaikanya, perlu kiranya untuk
mengenal terlebih dahulu siapa dan bagaimana seluk-beluk sosok Muhammad
Syahrur.
Biografi Singkat Syahrur
Nama lengkapnya adalah Muhammad Syahrur Ibn Daib. Ia merupakan
seorang pemikir Islam kontemporer. Ia dilahirkan di kota Damaskus, Syria 11
April 1938. Ia menempuh pendidikan mulai dari Ibtidaiyah, Idadiyah
dan Sanawiyah di kota Damaskus. Lulus dari Sanawiyah, ia mendapatkan
beasiswa dari pemerintah Damaskus. Ia melanjutkan pendidikannya ke Uni Soviet
mengambil studi Teknik Sipil di kota Moskow. Setelah menyelesaikan studinya, ia
kembali lagi ke Syiria untuk kemudian mengajar di Universitas Damaskus.
Ada tiga fase pemikiran dalam kehidupannya. Fase pertama adalah
saat Syahrur menempuh pendidikan Magister dan Doktor di Universitas Nasional
Irlandia. Pada fase ini adalah fase kontemplasi bagi Syahrur. Hasil kontemplasi
dirinya ini adalah bahwa selama penelitian ilmiah dan modern masih terjebak
dalam pemikiran klasik, maka Islam tidak akan mampu dalam menghadapi tantangan
abad 20.
Fase kedua adalah saat mana ia bertemu dengan karib lamanya, Dr.
Ja’far yang mana dulu mendalami studi bahasa. Pada fase ini, Syahrur belajar
banyak padanya tentang linguistk juga filologi. Ia mulai banyak mengenal
ulama-ulama yang ahli di bidang bahasa seperti al-Farra, Abu Ali Al-Farisi dan
lain-lain. Dari sini,Syahrur memiliki pandangan bahwa setiap kata hanya
memiliki satu makna dan bahasa Arab adalah bahasa yang tidak memiliki sinonim
(anti sinonimitas).
Pada fase ketiga, Syahrur mulai fokus dan intensif untuk menyusun
pemikirannya dalam tema-tema tertentu. Karya pertamanya yang berhasil ia susun
adalah Al-Kitab wa Al-Quran: Qira’ah Mu’assirah (Alkitab dan Alquran:
Sebuah Pembacaan Kontemporer). Karya pertamanya tersebut mendapatkan kecaman
dan tuduhan dari berbagai kalangan. Namun demikian, Syahrur tidak terlalu
menggubris dan tetap berkarya. Karya keduanya adalah al-Islamiyyah
al-Mu’assirah fi ad-Dawlah wa al-Mujtama’ah (Studi Islam Kontemporer
Mengenai Negara dan Masyarakat). Karya ketiganya adalah al-Islam wa al-Iman
(Islam dan Iman). Dalam karya ketiga inilah Syahrur mengkritik konsep rukun
Islam yang telah lama diyakini oleh umat Islam.
Rukun Islam dan Kritik Syahrur
Syahrur memulai penjelasannya dengan memaparkan “siapakah orang
Islam itu”. Dalam Alquran disebutkan bahwa Islam atau orangnya yang disebut
sebagai muslim bukan hanya sematan kata untuk nabi Muhammad dan umatnya, tetapi
juga disematkan kepada beberapa orang,
jin dan nabi-nabi sebelumnya. Misalnya, sematan kepada Jin (al-Jin: 14),
nabi Ibrahim (al-Imran: 67), nabi Ya’qub (al-Baqarah: 132), nabi Yusuf (Yusuf:
101), Fir’aun (al’Araf: 26), Hawariyyun (al-Imran: 52), nabi Nuh (Yunus: 72,
73), dan nabi Lut (al-Zariyat: 35, 36).
Selanjutnya, Syahrur menegaskan bahwa Islam dan Iman itu berbeda.
Islam lebih dahulu daripada iman. Seorang muslim tidak hanya terbatas pada
mereka yang mengikuti nabi Muhammad. Mengapa demikian? Karena menurut Syahrur,
itu akan menimbulkan pertanyaan yang besar: bagaimana mungkin nabi Ibrahim,
Ya’qub, Isa dan lainnya disebut orang Islam (muslim) jikalah salah satu rukun Islamnya adalah
mengakui nabi Muhammad sebagai rasul (syahadat). Bukankah nabi Muhammad baru
diutus setelah nabi-nabi yang disebutkan di atas.
Dalam keyakinan yang lama, rukun Islam hanya dibatasi pada lima
pilar; syahadat (pengakuan yakin kepada Allah dan kerasulan Muhammad), salat,
puasa, zakat dan haji. Sementara dalam Alquran, justru ritual-ritual tersebut
dibebankan atas orang mukmin bukan orang muslim. Misalnya dalam al-Nisa: 103,
“...sesungguhnya salat itu kwajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang
mukmin” kemudian dalam al-Baqarah: 183, “Hai orang-orang yang beriman
diwajibkan atas kalian berpuasa”.
Di sisi lain, menurut Syahrur adanya inkonsistensi. Bukankah tema
tentang jihad, qisas, syura, memenuhi janji atau taklif (beban) lainnya
tidak dimasukan ke dalam rukun Islam, sedangkan tema tersebut memiliki nilai
hukum yang sama seperti salat, zakat, puasa dan haji. Dengan demikian,
menurutnya sangat fatal jika rukun Islam hanya mencakup ritual saja karena
tidak sesuai dengan apa yang ada dalam Alquran.
Agama yang di sisi Allah adalah agama Islam. Agama Islam adalah
agama fitrah insaniyyah (sejalan dengan fitrah manusia), telah diftrahkan oleh
Allah kepada manusia. hal ini disebutkan dalam Alquran, “Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), tetaplah atas fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan dalam fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”
(Al-Rum: 30).
Jika melihat dalil tersebut, maka rukun-rukun Islam adalah yang
sejalan dengan kecenderungan fitrah manusia. pertanyaannya adalah, apakah
salat, zakat, puasa, haji itu bersifat fitri (sejalan dengan kecenderungan
manusia)? Syahrur mengambil zakat sebagai contohnya. Zakat merupakan
mengeluarkan harta kekayaan padahal Allah menciptakan rasa cinta kepada harta
kekayaan sebagai bagian dari watak manusia. demikian juga dengan puasa,
seseorang pada fitrahnya memerlukan makan, dan minum, akan tetapi di sini
diperintahkan untuk menahan. Dengan demikian, menurut Syahrur kritik tersebut
perlu kiranya dipikirkan kembali, bahwa apa yang telah ditetapkan dan lama
diyakini berlawanan dengan Alquran.
Lantas bagaimana dengan hadist yang menyebutkan secara eksplisit
bahwa rukun Islam itu ada lima. Dalam menanggapi hal itu Syahrur menyebutkan
bahwa ulama yang mendasarkan pada hadist tersebut tidak juga mengambil hadist
lain yang senada menyebutkan tentang aspek-aspek yang masuk dalam rukun Islam.
Misalnya, “Memberi makan adalah sebaik-baik amalan Islam” (Bukhari no. 12),
“Menyebar salam adalah sebaik-baik amalan Islam” (Bukhari no. 28).
Sayangnya, Syahrur tidak menjelaskan mengapa ia lantas kemudian
tidak mengambilnya sebagai dari bagian bentuk dasar yang digunakan para ulama,
meski hanya mengambil satu hadis saja. Di sini terlihat bahwa Syahrur cenderung
lebih melebihkan segala sesuatunya dengan mendasarkan kepada Alquran. Namun
demikian, kritik yang dibangun oleh Syahrur sangat baru, kritis, logis dan
berdasar meski pada sisi yang lain kurang menggunakan aspek hadis sebagai
dasarnya. Akhirnya, paling tidak tulisan singkat ini dapat memaparkan sedikit
kritik yang disampaikan oleh Syahrur terhadap konsep rukun Islam.
*Untuk membaca lebih luas, jauh dan dalam kritik serta pemikiran yang disampaikan Syahrur tentang
rukun Islam salah satunya dan luasnya tentang Islam dan Iman, bisa langsung
membaca kitab al-Islam dan al-Iman atau terjemahannya.

Komentar
Posting Komentar