Tidur Tidur eh Tidur


Pagi itu terbangun dari tidur. Aku paksa-paksa mata untuk membuka menerima cahaya matahari yang menelusup melalui jendela kumuh tertutup debu mungil yang bersatu. Aku bangun dan duduk sejenak merenung karena menerima kembali kehidupan darinya.

Ah, betapa baik sekali dirinya, kembali menghidupkanku, membangunkanku dari mati sementara ini. Padahal tak sedikit aku justru sering mengkhianatinya. Mungkin perasaanku saja. Mana mungkin dirinya merasa terkhianati.

Aku bangun dan menuju ke luar pintu kamar. Terlihat dua kucing sedang bermain saling kejar mengejar. Aku tatapi kucing itu dengan muka manyun dan sedikit tersisa lendir-lendir di bibir. Aku merenung lagi. Betapa kucing-kucing itu tidak memiliki bebankah, kerjaannya hanya makan, main-main, senggama, tidur. Andai aku seperti dirinya. Ah ah tidak. Pungkas akalku. 

Kamu ini gimana, protes akalku. Orang sudah dikasih menjadi manusia yang terbaik, masa ingin jadi kucing. Hati memprotes, aah kau akal, sombong amat kau mengatakan lebih baik. Janganlah kau seperti itu. Meskipun ia binatang, tida seharusnya mengatakan lebih baik. Bukankah ada juga manusia yang bahkan lebih hina dari binatang. Jangan-jangan kamu termasuk juga, siapa tahu. 

Akal tidak diam, ia selalu protes. Ya begini nurani, bukankah Tuhan sendiri yang bilang? Ah ya sudah terserah kamu, jawab nurani. Aku bingung sendiri, antara akal dan nurani, kemana aku memihak? Aihh. Bukankah itu aku-aku juga, akal dan nuraniku. Ah sudah lah.

Aku pun ke kamar mandi setelah mendengarkan perdebatan akal dan nurani itu. Karena tiba-tiba aku kebelet, ya terpaksa aku bukan hanya cuci muka. Aku pun buang hajat sekalian. Betapa indahnya sesuatu yang dianggap kotor ini. Padahal kalau tak bisa buang hajat, justru menjadi masalah. Terkadang kita hanya berpikir sebagian tanpa menyeluruh. Dari kapan akun berpikir bijak begitu. 

Sudah. Keluar semua ampas itu. Ia mengalir ke bawah bersama air menuju ke tempat asalnya. Ya semuanya berasal dari tanah. Tidak. Semuanya berasal dari Tuhan. Ya aku setuju. Tuhan adalah sumber segala sesuatu pada hakikatnya. Cukup abstrak jika membahas tentang Tuhan. 

Intinya Tuhan itu bukan yang ada dalam segala sesuatu diri raga, akal kita. Lebih kepada perasaan, yang mana tentu Tuhan sendiri yang akan hadir kepada rasa yang telah sedemikian berusaha untuk mendekat padanya. Tuhan itu bukan di atas atau di bawah atau di samping atau di manapun. Tuhan itu tidak. Tuhan hanya Tunggal sebagaimana yang tunggal yang tak ada dalam benak, pikiran, akal kita. 

Kembali aku ke kamar. Di kamar, aku duduk. Membaca buku. Tiba-tiba aku terbangun dari tidur. Ternyata aku ketiduran lagi ketika baca buku. Ah, sungguh mati itu secara tiba-tiba tapi yang ini tak terasa. Kalau mati sebenarnya katanya sangat terasa. Tapi, semoga aku dan kamu yang membaca ini mati nya tak terasa seperti ketiduran dengan tenang. Ah sudahlah. Aku ingin tidur. Aiih akal protes sekarang. Tidur terus. Bodo amat. 

Komentar