Senyuman dan Sapaan si Tukang Sate (Mereguk Hikmah 1)


Malam itu, sehabis ku pulang jajan ilmu dari masjid ISI, aku landing di depan gerobak tukang sate yang ada di sisi jalan Krapyak, tepatnya sebelah alfamart. Aku melihat begitu banyak pelanggan yang mengantri untuk mendapatkan sate. Turun dari motor, aku pun langsung menghampiri tukang sate itu. Ya, tukang sate itu suami istri, dan terlihat juga di pojokan denga sebilah tikar yang terhampar ada dua orang anak kecil sedang tiduran.

Tak  banyak pikir aku langsung pesan ke si bapaknya. Dengan begitu tulus “mungkin” bapaknya menjawab dan memberikan senyuman. Aku memesan sate untuk makan di tempat, dan aku duduk di tikar itu di sebelah anak-anak yang sedang tidur. Mataku melihat-lihat seorang suami dan istri berjuang bersama menjadi tukang sate penuh dengan semangat.  Orang-orang pun (para pembeli) tidak berhenti silih ganti berdatangan.

Aku yang belajar di kampus dengan teori tentang kesetaraan gender, feminisme dan lain-lain ternyata kali ini aku melihatnya secara langsung bagaimana seorang istri ikut mendampingi suami kerja. Tentu mereka tidak akan paham apa itu feminisme dan lain sebagainya, teori-teori yang dibuat untuk memperjuangkan kesetaraan. Paling tidak dalam hal ini, mereka sebagai sebuah keluarga berjuang bersama untuk menghidupi keluarganya.

Tetapi entah juga jika dalam pikiran mereka bahwa seorang suami lebih baik derajatnya di atas istri. Melihat realitas yang cukup singkat itu, ada kerja sama dan saling bahu membahu antara seorang suami dan istri untuk mencapai tujuan yang sama dengan menjadi tukang sate. Aku begitu tertegun. Aku yakin, perekonomian mereka salah satu yang paling berharga dari jualan sate ini.

Tidak hanya tentang kesetaraan itu, aku melihat mereka begitu akrab dengan pembelinya. Lah, bagaimana tidak keren, beberapa pembeli diberikan senyuman, ditanyakan kabarnya, dan setelah itu didoakan. Mungkin bagi mata yang sinis, keluarga mereka dipenuhi penderitaan, anak-anaknya harus tidur di sisi jalan, istrinya harus kerja. Tetapi jika aku melihat, mereka begitu menikmatinya.

Aku belajar banyak dari tukang sate ini, belajar bagaimana menikmati hidup, belajar bersyukur, belajar berjuang dengan semua keluarga, belajar senyum, belajar mendoakan, belajar kesungguhan, belajar kesetaraan, dan banyak yang lainnya. Begitulah hidup, terkadang yang paham teori belum tentu bisa mengamalkannya. Aku rasa ini hanyalah salah satu dari sekian banyak keluarga yang seperti mereka, hidup berjuang bersama, dengan penuh syukur. Semoga Allah senantiasa memberikan ridha-Nya kepada mereka. Aamiin. 


Komentar