Malam itu,
sehabis ku pulang jajan ilmu dari masjid ISI, aku landing di depan gerobak
tukang sate yang ada di sisi jalan Krapyak, tepatnya sebelah alfamart. Aku
melihat begitu banyak pelanggan yang mengantri untuk mendapatkan sate. Turun
dari motor, aku pun langsung menghampiri tukang sate itu. Ya, tukang sate itu
suami istri, dan terlihat juga di pojokan denga sebilah tikar yang terhampar
ada dua orang anak kecil sedang tiduran.
Tak banyak pikir aku langsung pesan ke si
bapaknya. Dengan begitu tulus “mungkin” bapaknya menjawab dan memberikan
senyuman. Aku memesan sate untuk makan di tempat, dan aku duduk di tikar itu di
sebelah anak-anak yang sedang tidur. Mataku melihat-lihat seorang suami dan
istri berjuang bersama menjadi tukang sate penuh dengan semangat. Orang-orang pun (para pembeli) tidak berhenti
silih ganti berdatangan.
Aku yang belajar
di kampus dengan teori tentang kesetaraan gender, feminisme dan lain-lain
ternyata kali ini aku melihatnya secara langsung bagaimana seorang istri ikut
mendampingi suami kerja. Tentu mereka tidak akan paham apa itu feminisme dan
lain sebagainya, teori-teori yang dibuat untuk memperjuangkan kesetaraan.
Paling tidak dalam hal ini, mereka sebagai sebuah keluarga berjuang bersama
untuk menghidupi keluarganya.
Tetapi entah
juga jika dalam pikiran mereka bahwa seorang suami lebih baik derajatnya di
atas istri. Melihat realitas yang cukup singkat itu, ada kerja sama dan saling
bahu membahu antara seorang suami dan istri untuk mencapai tujuan yang sama
dengan menjadi tukang sate. Aku begitu tertegun. Aku yakin, perekonomian mereka
salah satu yang paling berharga dari jualan sate ini.
Tidak hanya
tentang kesetaraan itu, aku melihat mereka begitu akrab dengan pembelinya. Lah,
bagaimana tidak keren, beberapa pembeli diberikan senyuman, ditanyakan
kabarnya, dan setelah itu didoakan. Mungkin bagi mata yang sinis, keluarga
mereka dipenuhi penderitaan, anak-anaknya harus tidur di sisi jalan, istrinya
harus kerja. Tetapi jika aku melihat, mereka begitu menikmatinya.
Aku belajar banyak
dari tukang sate ini, belajar bagaimana menikmati hidup, belajar bersyukur,
belajar berjuang dengan semua keluarga, belajar senyum, belajar mendoakan,
belajar kesungguhan, belajar kesetaraan, dan banyak yang lainnya. Begitulah
hidup, terkadang yang paham teori belum tentu bisa mengamalkannya. Aku rasa ini
hanyalah salah satu dari sekian banyak keluarga yang seperti mereka, hidup
berjuang bersama, dengan penuh syukur. Semoga Allah senantiasa memberikan
ridha-Nya kepada mereka. Aamiin.
Komentar
Posting Komentar