Aku dan Hukuman Pondok Untukku! Antara Telat dan Kabur (Pergumulan Keadilan dan Kecemburuan Sosial)



Cerita ini nyata dan semua berasal dari sudut pandangku dan bebrapa temanku. Sebuah pembelaan terhadap diri, untuk mendapat keringanan hukum pondok pesantren.

Di pinggir jalan, di kerumunan malam KYK yang indah, aku duduk bersama temanku menikmati jajanan angkringan di depan pondok pesantren al-Mnwr KYK. Rasanya indah dan santai aku menikmatinya tanpa ada beban pikiran sedikitpun. Aku makan gorengan dan nasi kecil khas angkringan, juga es jeruk menambah kesegaran rasa.

Habis sudah makanan dan minuman suguhan angkringan itu. Aku pun kembali ke pondokku, pondok pesantren Al-Mhsn KYK. Karena ada janjian dengan pengurus organisasi pondok bidang PPSDM, yang di sana aku menjadi bagiannya, aku pun menghampiri ke tempat yang telah disepakati. Setelah duduk, aku buka hp, dan ada pesan dari salah satu pengurus pondok bidang kesantrian mengirim pesan melalui WA, yang intinya aku sudah ditunggu di kantor pondok untuk mengajukan banding.

Bukan tanpa sebab aku dipanggil ke kanrtor untuk ajukan banding. Beberapa hari ke belakang, aku sudah dipanggil oleh pengurus bidang kesantrian itu. Ya, aku dikenai hukuman karena aku keluar dari pondok. Waktu itu, ketika sebelum liburan, aku dengan sopan datang kekediaman pak kyai untuk izin pulang, karena sudah liburan semester genap perkuliahan. Waktu itu, ak,u diterima oleh bu nyai, dan bu nyai pun memnberikan izin hanya 30 hari.  Aku kaget. Ko pondok mahasiswa, yang juga nama pondoknya dicantumin tulisan mahasiswa liburannya tidak menyesuaikan liburan perkuliahan, padahal liburan perkuliahan sampai 3 bulan. Entahlah.

Kembali lagi ke panggilan pertama aku ke kantor oleh pengurus bidang kesantrian. Malam hari kisaran jam 9 aku datang ke kantor dengan satu  orang teman. Kebetulan dia juga dipanggil karena telah melanggar aturan. Cuma karena menginap se hari di luar pondok. Takziran dia bayar 1 rim kertas atau sama dengan 30 ribu rupiah. Mantaaap hha. Dari sana aku mulai sedikit geleng-geleng kepala, ko segitunya ya, entahlah.

Aturan-aturan ini baru bermunculan. Tak lain karena pergantian direktur pondok pesantren, se tahun aku di pondok ini, aku sudah tenang, walaupun terkadang sedikit tegang menghadapi direkturnya, yang terlihat galak, walaupun sebenernya tegas dan baik., lebih nyantai. Ia sangat dinamis tidak kaku dalam hukuman, tidak seperti yang sekarang ini, sedikit kaku, walaupun menurutnya sudah longgar.

Giliran aku sekarang yang diomongin sama bidang kesantrian pondok. Ia bilang bahwa aku telat masuk ke pondok sudah selama 45 hari. Sebenarnya itu bukan kategori telat, tetapi kategori kabur setekah di pondok, dan kabur itu pun bukan karena alesan yang simpel. Pulang lagi ke rumah karena disuruh orang tua untuk pulang, yang awalnya disuruh nyetir ke pemalang, terus setelah beberapa lama di rumah disuruh ngurusin berkas-berkas untuk pendirian yayasan di rumah. Dan sampe juga sempat menunggu tiket kereta api yang memang sudah habis, jadi terpaksa tambah lama juga di rumah. Begitulah.

Ia, pengurus pondok itu menjelaskan bahwa hukum satu hari telat itu satu sak semen. Bayangakan!. Satu sak semen harganya 50 ribu, kali 45 hari, 2juta lebih. Waaaw fantastis. Langsung otak menuju opsi pikiran, dan menyuruh, keluar saja kal. Langsung, aku pun berpikir dan tanya-tanya negosiasi dengan pengurus itu. Tetapi akhirnya dia bilang semua keputusan ada di pengelola pondok. Tetapi dia malam-malam ngajakn ngobrol, dia yang memutuskan, untuk bayar 800 ribu dan buang sampai selama 4 bulan. Tidak jelas emang pengurus pondoknya, katanya pengelola yang memutuskan tapi dia yang nawarin dan memutuskan. Akhirnya dia menunda keputusan untuk pengajuan banding ke direktur pondok pesantren.

Kembali lagi ke awal, setelah aku dikirimi pesan oleh pengurs kesantrian, aku pun langsung jalan menuju kantor pondok. Di sana, sudah ada santri yang juga sedang membahas takziran untuknya, dan juga sedang diberi nasihat untuk tidak mengulangi lagi dan meningkatkan. Setelah beberapa lama kemudian, giliranku untuk banding tentang hukumannya ke direktur pondok pesantren yang tepat di mukaku.

Tanpa basa-basi, direktur itu mulai berbicara tentang hukumannya akan diberikan kepadaku. Ia mulai menanyakan, kenapa dan karena apa aku telat. Aku kemudian bantah, karena sebenarnya aku bukan telat, tetapi kabur dari pondok yang dalam hal ini sebenarnya, aku minimal sudah berbicara ke bidang kesantrian pondok, walaupun katanya ia lepas tanggungjawab. Potong langsung bandinganku itu oleh pengurus pondok itu, yang kebetulan ada di samping direktur pondok. Ia katakan bahwa, dirinya tidak berhak memberikan izin, dan sudah menyuruhku untuk izin ke pak kyai, hanya saja katanya, aku tidak merespon dan justru malah menjawab tidak mungkin diizinkan. Oke.

Setelah itu kemudian aku jelaskan bahwa aku kabur dadakan karena panggilan orang tua, kemudian beberapa hari di rumah aku ditugasi untuk mengurus berkas-berkas pendirian yayasan. Kemudian direktur pondok itu bertanya, apa selama itu mengurusi yayasan, aku jawab, ya karena ada salah satu pengurus yayasan yang di Jakarta yang harus dimintai tanda tangan, jadi otomatis harus dikirim ke Jakarta berkasnya dan menunggu. Satu lagi alasan yang aku tak utarakan, karena kehabisan tiket kereta api.

Aku tidak sanggup untuk naik bus. Bagaimana tidak, aku pernah sekali pulang naik bus, turun dari bus, aku langsung ke kamar mandi dan muntah menguras semua persediaan makanan yang ada di perut. Pikirkan!. Oleh karenanya, terpaksa aku harus membeli tiket yang masih lama.

Setelah itu, aku berdebat lagi dengan direktur pondok dan pengurus bidang kesantrian. Yang aku sesalkan adalah, pengurus bidang kesantrian. Ia sama sekali tidak membelaku, bahkan terlihat seperti memojokkanku dengan segala argumennya. Padahal dia sendiri baru beberapa bulan menjadi pengurus bidang kesantrian, yang sebelumnya ia juga sama santri seperti aku. Yang juga kata teman-temanku, ia juga pernah di karantina. Alias dia juga sering melanggar aturan. Tetapi namanya juga watak, dan kaku, bagaimana lagi.

Di sana aku banding dan menyesalkan hukuman yang sangat berat itu, menurut ukuranku. Karena bayangkan, harus membayar 1 juta 200 ribu. Atau paling tidak, aku harus membuang sampah pondok setiap hari selama 4 bulan, maka hukuman materinya dikurangi menjadi 1 juta atau 800 ribu. Masih tetap menurut ukuranku, itu terbilang tinggi. Aku pun hanya bisa menahan diri dalam hati. Sebegitunyakah hukuman pondok, bak pengadilan saja, melihat secara hitam putih.

Alasan mereka hanya karena takut terjadinya kecemburuan sosial terhadap santri yang sudah dihukum. Padahal, ada satu temanku yang dihukum justru ingin agar hukumanku diringankan. Begitulah teman yang baik. Aku pun terus mendebat dan mengajukan banding dngan para pejabat pondok itu. Tetapi lagi-lagi usahaku hanya sebatas ungkapan pendapat pribadi, tetap saja, hukumannya begitu kaku. Tak ada keringanan diberikan kepadaku, seolah telah diberi keringanan, dari satu sak semen menjadi satu rim kertas, padahal seharusnya, aku memang seharusnya masuk kategori hukuman satu rim kertas, karena aku bukan telat, tetapi kabur yang juga masih dengan baik kaburnya.

Tetapi apalah daya, pondok pesantren sudah seprti pengadilan saja, hitam-putih dalam melihat perkara, tidak ada keringana dan humanis terhadap hukuman, saklek. Aku pun menyudahi dan menerima dahulu, untuk aku konfirmasikan kepada orangtuaku. Karena bagaimanapun, aku masih menrima dari orang tua, dan orang tua yang memutuskan kesanggupannya. Tetapi di situ, aku merasa seperti diintimidasi. Oleh perkataan direktur, setiap kali aku mengatakan kalau jawaban orang tua tidak mampu, bagaimana tanyaku, ia menjawab, ya OUT (keluar). Di depan mukaku ia mengatakan seperti itu, seolah tidak ada lagi rasa humanis yang diberikan.

Faktanya, aku cukup terbilang rajin dalam setiap kegiatan di pondok. Hanya beberapa kali aku tidak ada di pondok. Pengajian dan jamaah selalu aku ikuti, karena memang itu sudah kewajibanku dan memang juga ketertarikanku. Tetapi, hanya karena telat saja menurut annggapannya, hanya karena hukuman yang ditetapkan terbaru, aku menjadi korban hukum di awal penetapan hukum. Sudah tentu, awal-awal masih semangat dalam penerapan hukuman, biasanya seprrti itu, nanti beberapa bulan ke depan sudah longgar lagi.

Aku tidak ingin menjadi korban dalam penetapan hukum pondok yang hanya semangat di awal saja dalam penerapannya. Karena sudah ada temanku yang menjadi korban yang hanya karena telat, dan tidak sanggup membayar hukuman, dia harus keluar dari pondok. Tetapi, aku yakin, ini hanyalah sebuah awal hukuman yang masih semangat, beberapa bulan ke depan pun akan longgar kembali. Tetapi semoga tidak seprti itu, agar tidak terjadi kecemburuan sosial, dan ketidakadlian bagi yang sudah terlanjur keluar. Begitu pun aku yang masih bingun antara akan melanjutkan tetap di sini dengan membayar hukumannya atau tidak.

Begitulah ceritaku, saat ini pun, pergulatan pikiranku terus menerus terjadi untuk memutuskan, di satu sisi, aku sudah terbiasa dan nyaman dengan pondok ini, dengan segala fasilitas dan temannya, tetapi di sisi lain, ada beban berat dan intimidasi secara tidak langsung terhadapku. Biarkanlah aku memikirkannya dengan matang terlebih dahulu. Aku akan memutuskan setelah aku merenungkan bagaimana ke depannya aku, dan hidupku di Yogyakarta ini selama kuliah. Semoga Allah memberikan jalan kepada ku yang terbaik,. Aamiin.


Komentar

Posting Komentar