Cerita ini
nyata dan semua berasal dari sudut pandangku dan bebrapa temanku. Sebuah
pembelaan terhadap diri, untuk mendapat keringanan hukum pondok pesantren.
Di pinggir
jalan, di kerumunan malam KYK yang indah, aku duduk bersama temanku menikmati
jajanan angkringan di depan pondok pesantren al-Mnwr KYK. Rasanya indah dan
santai aku menikmatinya tanpa ada beban pikiran sedikitpun. Aku makan gorengan
dan nasi kecil khas angkringan, juga es jeruk menambah kesegaran rasa.
Habis sudah
makanan dan minuman suguhan angkringan itu. Aku pun kembali ke pondokku, pondok
pesantren Al-Mhsn KYK. Karena ada janjian dengan pengurus organisasi pondok
bidang PPSDM, yang di sana aku menjadi bagiannya, aku pun menghampiri ke tempat
yang telah disepakati. Setelah duduk, aku buka hp, dan ada pesan dari salah
satu pengurus pondok bidang kesantrian mengirim pesan melalui WA, yang intinya
aku sudah ditunggu di kantor pondok untuk mengajukan banding.
Bukan tanpa
sebab aku dipanggil ke kanrtor untuk ajukan banding. Beberapa hari ke belakang,
aku sudah dipanggil oleh pengurus bidang kesantrian itu. Ya, aku dikenai
hukuman karena aku keluar dari pondok. Waktu itu, ketika sebelum liburan, aku
dengan sopan datang kekediaman pak kyai untuk izin pulang, karena sudah liburan
semester genap perkuliahan. Waktu itu, ak,u diterima oleh bu nyai, dan bu nyai
pun memnberikan izin hanya 30 hari. Aku
kaget. Ko pondok mahasiswa, yang juga nama pondoknya dicantumin tulisan
mahasiswa liburannya tidak menyesuaikan liburan perkuliahan, padahal liburan
perkuliahan sampai 3 bulan. Entahlah.
Kembali lagi ke
panggilan pertama aku ke kantor oleh pengurus bidang kesantrian. Malam hari
kisaran jam 9 aku datang ke kantor dengan satu
orang teman. Kebetulan dia juga dipanggil karena telah melanggar aturan.
Cuma karena menginap se hari di luar pondok. Takziran dia bayar 1 rim kertas
atau sama dengan 30 ribu rupiah. Mantaaap hha. Dari sana aku mulai sedikit
geleng-geleng kepala, ko segitunya ya, entahlah.
Aturan-aturan
ini baru bermunculan. Tak lain karena pergantian direktur pondok pesantren, se
tahun aku di pondok ini, aku sudah tenang, walaupun terkadang sedikit tegang
menghadapi direkturnya, yang terlihat galak, walaupun sebenernya tegas dan
baik., lebih nyantai. Ia sangat dinamis tidak kaku dalam hukuman, tidak seperti
yang sekarang ini, sedikit kaku, walaupun menurutnya sudah longgar.
Giliran aku
sekarang yang diomongin sama bidang kesantrian pondok. Ia bilang bahwa aku
telat masuk ke pondok sudah selama 45 hari. Sebenarnya itu bukan kategori
telat, tetapi kategori kabur setekah di pondok, dan kabur itu pun bukan karena
alesan yang simpel. Pulang lagi ke rumah karena disuruh orang tua untuk pulang,
yang awalnya disuruh nyetir ke pemalang, terus setelah beberapa lama di rumah
disuruh ngurusin berkas-berkas untuk pendirian yayasan di rumah. Dan sampe juga
sempat menunggu tiket kereta api yang memang sudah habis, jadi terpaksa tambah
lama juga di rumah. Begitulah.
Ia, pengurus
pondok itu menjelaskan bahwa hukum satu hari telat itu satu sak semen.
Bayangakan!. Satu sak semen harganya 50 ribu, kali 45 hari, 2juta lebih. Waaaw
fantastis. Langsung otak menuju opsi pikiran, dan menyuruh, keluar saja kal.
Langsung, aku pun berpikir dan tanya-tanya negosiasi dengan pengurus itu.
Tetapi akhirnya dia bilang semua keputusan ada di pengelola pondok. Tetapi dia
malam-malam ngajakn ngobrol, dia yang memutuskan, untuk bayar 800 ribu dan
buang sampai selama 4 bulan. Tidak jelas emang pengurus pondoknya, katanya
pengelola yang memutuskan tapi dia yang nawarin dan memutuskan. Akhirnya dia
menunda keputusan untuk pengajuan banding ke direktur pondok pesantren.
Kembali lagi ke
awal, setelah aku dikirimi pesan oleh pengurs kesantrian, aku pun langsung
jalan menuju kantor pondok. Di sana, sudah ada santri yang juga sedang membahas
takziran untuknya, dan juga sedang diberi nasihat untuk tidak mengulangi lagi
dan meningkatkan. Setelah beberapa lama kemudian, giliranku untuk banding
tentang hukumannya ke direktur pondok pesantren yang tepat di mukaku.
Tanpa basa-basi,
direktur itu mulai berbicara tentang hukumannya akan diberikan kepadaku. Ia mulai
menanyakan, kenapa dan karena apa aku telat. Aku kemudian bantah, karena
sebenarnya aku bukan telat, tetapi kabur dari pondok yang dalam hal ini
sebenarnya, aku minimal sudah berbicara ke bidang kesantrian pondok, walaupun
katanya ia lepas tanggungjawab. Potong langsung bandinganku itu oleh pengurus
pondok itu, yang kebetulan ada di samping direktur pondok. Ia katakan bahwa,
dirinya tidak berhak memberikan izin, dan sudah menyuruhku untuk izin ke pak
kyai, hanya saja katanya, aku tidak merespon dan justru malah menjawab tidak
mungkin diizinkan. Oke.
Setelah itu
kemudian aku jelaskan bahwa aku kabur dadakan karena panggilan orang tua,
kemudian beberapa hari di rumah aku ditugasi untuk mengurus berkas-berkas
pendirian yayasan. Kemudian direktur pondok itu bertanya, apa selama itu
mengurusi yayasan, aku jawab, ya karena ada salah satu pengurus yayasan yang di
Jakarta yang harus dimintai tanda tangan, jadi otomatis harus dikirim ke
Jakarta berkasnya dan menunggu. Satu lagi alasan yang aku tak utarakan, karena
kehabisan tiket kereta api.
Aku tidak
sanggup untuk naik bus. Bagaimana tidak, aku pernah sekali pulang naik bus,
turun dari bus, aku langsung ke kamar mandi dan muntah menguras semua
persediaan makanan yang ada di perut. Pikirkan!. Oleh karenanya, terpaksa aku
harus membeli tiket yang masih lama.
Setelah itu, aku
berdebat lagi dengan direktur pondok dan pengurus bidang kesantrian. Yang aku
sesalkan adalah, pengurus bidang kesantrian. Ia sama sekali tidak membelaku,
bahkan terlihat seperti memojokkanku dengan segala argumennya. Padahal dia
sendiri baru beberapa bulan menjadi pengurus bidang kesantrian, yang sebelumnya
ia juga sama santri seperti aku. Yang juga kata teman-temanku, ia juga pernah
di karantina. Alias dia juga sering melanggar aturan. Tetapi namanya juga
watak, dan kaku, bagaimana lagi.
Di sana aku
banding dan menyesalkan hukuman yang sangat berat itu, menurut ukuranku. Karena
bayangkan, harus membayar 1 juta 200 ribu. Atau paling tidak, aku harus
membuang sampah pondok setiap hari selama 4 bulan, maka hukuman materinya
dikurangi menjadi 1 juta atau 800 ribu. Masih tetap menurut ukuranku, itu
terbilang tinggi. Aku pun hanya bisa menahan diri dalam hati. Sebegitunyakah
hukuman pondok, bak pengadilan saja, melihat secara hitam putih.
Alasan mereka
hanya karena takut terjadinya kecemburuan sosial terhadap santri yang sudah
dihukum. Padahal, ada satu temanku yang dihukum justru ingin agar hukumanku
diringankan. Begitulah teman yang baik. Aku pun terus mendebat dan mengajukan
banding dngan para pejabat pondok itu. Tetapi lagi-lagi usahaku hanya sebatas
ungkapan pendapat pribadi, tetap saja, hukumannya begitu kaku. Tak ada
keringanan diberikan kepadaku, seolah telah diberi keringanan, dari satu sak
semen menjadi satu rim kertas, padahal seharusnya, aku memang seharusnya masuk
kategori hukuman satu rim kertas, karena aku bukan telat, tetapi kabur yang
juga masih dengan baik kaburnya.
Tetapi apalah
daya, pondok pesantren sudah seprti pengadilan saja, hitam-putih dalam melihat
perkara, tidak ada keringana dan humanis terhadap hukuman, saklek. Aku pun
menyudahi dan menerima dahulu, untuk aku konfirmasikan kepada orangtuaku. Karena
bagaimanapun, aku masih menrima dari orang tua, dan orang tua yang memutuskan
kesanggupannya. Tetapi di situ, aku merasa seperti diintimidasi. Oleh perkataan
direktur, setiap kali aku mengatakan kalau jawaban orang tua tidak mampu,
bagaimana tanyaku, ia menjawab, ya OUT (keluar). Di depan mukaku ia mengatakan
seperti itu, seolah tidak ada lagi rasa humanis yang diberikan.
Faktanya, aku
cukup terbilang rajin dalam setiap kegiatan di pondok. Hanya beberapa kali aku
tidak ada di pondok. Pengajian dan jamaah selalu aku ikuti, karena memang itu
sudah kewajibanku dan memang juga ketertarikanku. Tetapi, hanya karena telat
saja menurut annggapannya, hanya karena hukuman yang ditetapkan terbaru, aku
menjadi korban hukum di awal penetapan hukum. Sudah tentu, awal-awal masih semangat
dalam penerapan hukuman, biasanya seprrti itu, nanti beberapa bulan ke depan
sudah longgar lagi.
Aku tidak ingin
menjadi korban dalam penetapan hukum pondok yang hanya semangat di awal saja
dalam penerapannya. Karena sudah ada temanku yang menjadi korban yang hanya
karena telat, dan tidak sanggup membayar hukuman, dia harus keluar dari pondok.
Tetapi, aku yakin, ini hanyalah sebuah awal hukuman yang masih semangat,
beberapa bulan ke depan pun akan longgar kembali. Tetapi semoga tidak seprti
itu, agar tidak terjadi kecemburuan sosial, dan ketidakadlian bagi yang sudah
terlanjur keluar. Begitu pun aku yang masih bingun antara akan melanjutkan
tetap di sini dengan membayar hukumannya atau tidak.
Begitulah ceritaku,
saat ini pun, pergulatan pikiranku terus menerus terjadi untuk memutuskan, di
satu sisi, aku sudah terbiasa dan nyaman dengan pondok ini, dengan segala
fasilitas dan temannya, tetapi di sisi lain, ada beban berat dan intimidasi
secara tidak langsung terhadapku. Biarkanlah aku memikirkannya dengan matang
terlebih dahulu. Aku akan memutuskan setelah aku merenungkan bagaimana ke
depannya aku, dan hidupku di Yogyakarta ini selama kuliah. Semoga Allah
memberikan jalan kepada ku yang terbaik,. Aamiin.
santai broo hha
BalasHapus