Sikap Apatisme Dalam Pemilu Masih Tinggi


Gambar: muhammadmur.blogspot.co.id


Kemarin, saya pertama kali ikut serta menjadi pemilih di pesta demokrasi Indonesia. Walaupun seharusnya sudah dari satu tahun sebelumnya saya bisa memilih, tetapi karena terkendala belum membuat KTP, kita tahu bahwa pembuatan KTP lambat, jadi baru tahun kali ini bisa mengikutinya. 

Pagi sekali, saya berkunjung ke TPS, sengaja untuk lebih cepat melakukan pencoblosan, menyalurkan suara kepada salah satu kandidat calon sebagai warga negara dan masyarakat baik seperti halnya yang lain. Di saat menunggu pemanggilan untuk menyoblos di bilik suara, saya menanyakan ke beberapa orang tentang pilihannya, ternyata mereka sama sekali tidak tahu menahu tentang kandidatnya. 

Hampir setiap saya menanyakan, ke beberapa orang, di antaranya ibu-ibu, bapak-bapak, pemuda, dan nenek-nenek, mereka sama sekali tidak tahu menahu tentang kandidatnya. Lantas, bagaimana kemudian ia memilih, ternyata jawabannya adalah sebagian dengan melihat partainya, sebagain lain melihat mana yang lebih populer muncul, dan sebagian melihat-lihat di poster keterangan kandidat. 

Bagaimana tidak, untuk memilih calon pemimpinnya yang akan memimpin daerahnya pun mungkin masih banyak yang acuh tak acuh. Masih banyak yang melihat sekilas seperti halnya mengerjakan tugas dengan sistem kebut semalam, bahkan ini bukan hanya semalam, sebelum pencoblosan. Tentu ini merupakan permasalahan. 

Entah jika di daerah lain, apakah mungkin seperti ini juga atau bahkan lebih parah, atau bisa juga lebih baik. Yang pasti, ini adalah salah satu persoalan yang ada. Tentu jika seperti itu adanya, menandakan ketidakdewasaan, ketidakmajuan sebagian masyarakat kita. Sikap acuh tersebut memuluskan mudahnya money politic, mengapa demikian, karena lebih mudah untuk dipengaruhi dan ‘disogok’ suaranya. 

Berbeda dengan yang bersikap antusias, ingin mencari yang terbaik menurutnya dengan melihat programnya, partainya, figur kandidatnya, kemudian mengikuti selalu kegiatan pemilu seperti debat, tentu ini akan lebih sulit untuk ‘disogok’ suaranya. Karena mereka berpartisipasi dengan antusias untuk memilih pemimpin daeranya. 

Persoalan tadi masih mending, karena walaupun ia bersikap acuk tak acuh terhadap pesta demokrasi, tetapi ia masih mendatangi TPS untuk memberikan suaranya walaupun dengan sikap seperti itu. Yang lebih parah dari itu adalah golput. Tentu ini sangat parah, dengan bersikap sangat acuh bahkan menghiraukan. 

Bagaimana tidak, Pilkada serentak 2018 kemarin pun masih sangat banyak yang golput. Melansir dari https://www.jawapos.com bahwa KPU menargetkan tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada serentak 2018 bisa mencapai 77,5 persen. Namun, berkaca dari coblosan kemarin, target itu tampaknya sulit terealisasi. Angka golput diprediksi masih tinggi. Indikasinya, tingkat kehadiran pemilih masih tergolong rendah. Bahkan, di sejumlah daerah, kehadiran pemilih ke tempat pemungutan suara (TPS) tak sampai 60 persen.

Melihat data itu sangatlah miris. Mereka yang golput tentu memiliki alasannya masing-masing, mungkin bisa jadi karena kekecewaan meskipun memilih tetap saja tidak ada perubahan atau kandidat diarasa tidak pantas di matanya, atau juga karena tafsir agama dari golongannya yang melarang, karena system demokrasi haram, dan lain-lainnya. 

Persoalan-persoalan di atas harus segera diatasi, terlebih tahun depan akan dilangsungkan pemilihan dalam sekala yang lebih besar yaitu PILPRES. Solusi menurut hemat saya adalah sosialisasi kandidat calon harus dimasifkan lagi, sampai ke pelosok-pelosok daerah secara menyeluruh. Lanjut untuk yang golput, pemerintah seharusnya berikan arahan-arahan baik melalui desa atau pun dusun tentang pentingnya partisipasi pemilihan. Dengan begitu, paling tidak telah diberikan pengajaran secara langsung kepada masyarakat dan semoga bisa mengurangi sikap acuh tak acuh (apatisme) dalam pemilu selanjutnya. Wallahu’alam

Komentar