Kampanye Murahan


Gambar: kisspng.com


Pemilihan kepala daerah adalah sebuah agenda besar setelah pemilihan presiden dalam manifestasi demokrasi di Indonesia. Masyarakat daerahnya berkeharusan memilih pemimpin yang akan mengepalai daerahnya. Kebebasan telah menjadi hak bagi setiap masyarakat untuk menentukan kepada siapa ia memberikan hak suaranya. 

Tahun ini, pilkada serentak dilaksanakan. Pelaksanaan pilkada tersebut telah dijadwalkan pada 27 Juni 2018, terhitung 8 hari lagi dari hari ini. Kampanye dari setiap paslon telah dilaksanakan semenjak kurang lebih 1, 2 bulan ke belakang. Sampai saat ini pun kampanye masih berlangsung. 

Hal yang ingin penulis titikberatkan di sini adalah tentang oknum-oknum yang mencederai dalam proses berdemokrasi ini, khususnya dalam berkampanye. Hal yang mungkin pasti adanya, adalah kampanye yang dilakukan dengan cara-cara yang tidak benar, kampanye murahan. Entah itu sudah terorganisasi, atau pun semata-mata cacian pribadi. 

Di era digital ini, media social menjadi sarana yang cukup mulus untuk berkampanye. Mulai dari kampanye gambar, tulisan, slogan, video, animasi dan lain sebagainya. Hal ini tidak lain untuk menarik suara dari pada netizen media sosial. Namun, seperti yang telah disebutkan di atas, tidak sedikit yang berkampanye dengan menyerang lawan politiknya atau pilihannya. 

Berbagai isu disematkan kepada lawan politiknya atau luar pilihannya. Mulai isu partai, suku, dan yang paling laku agama. Bagaimana tidak, partai misalnya menjadi sarana menjelek-jelekan, misalnya dianggap partai kafir lah, sekuler lah dan lain-lain. Kemudian, suku misalnya bahwa ia bukan suku ini, kalau bukan suku ini akan seperti ini dan seperti itu. 

Yang paling laku adalah dengan agama. Agama menjadi doktrin utama sebagian masyarakat, tentu akan mempengaruhi suaranya ketika ada politisasi agama, terlebih bagi orang-orang awam. Biasanya menyematkan bahwa kita paling Islamis, partai lain tidak, bahkan mungkin partai itu pendukung kafir, munafik, atau calon itu diusung oleh partai munafik, kafir dan lain sebagainya.  

Hal ini mencederai demokrasi kita. Cara-cara yang tidak benar masih melingkari dalam politik kita. Terlebih menjual agama sebagai cara berpolitik untuk memenangkan kekuasaan. Tentu ini merupakan pelecehan agama. Partai tertentu menjadi penafsir tunggal agama, mengotak-atik unsur agama demi kemenangan politiknya. 

Wal akhir, selama oknum-oknum masih ada yang mencederai demokrasi kita, terlebih dengan agama, maka selama itu pula, demokrasi kita belum lagi dewasa, tidak mendidik masyarakat. Seharusnya, berkampanyelah dengan prestasi, program, dan hal-hal baik lainnya, jangan dengan kampanye murahan. Wallahua’alam

Komentar