Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Tafsir
Ayat Muamalah
Dosen Pengampu :
Drs. Mohamad Yusup, M.SI
Disusun oleh :
Haikal
Fadhil Anam :
17105030003
Arsyil Majid
: 17105030005
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN
TAFSIR
FAKULTAS
USHULUDDIN
DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2018
KATA PENGANTAR
Maha suci Allah, pemilik kebesaran dan kemuliaan, Puji syukur kami
haturkan kehadirat-Nya, karena berkat rahmat serta hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tepat pada waktunya. Sholawat serta salam senantiasa
tercurahkan kepada junjungan kita baginda Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam. Sang revolusioner sejati, pembawa dan penuntun kalam ilahi.
Sebelumnya, kami ucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang
turut mendukung atas terselesaikan nya makalah ini. Kami sudah berusaha
semaksimal mungkin dalam menyusun makalah ini. Meskipun kami menyadari bahwa
masih banyak kekurangan di dalamnya,
baik dari segi penulisan atau isi. Oleh karena itu, kami membuka lebar saran dan kritik dari pembaca yang budiman,
agar kedepannya makalah ini dapat menjadi lebih baik.
Besar harapan kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan serta pengalaman bagi pembacanya.
Yogyakarta, 07
Oktober 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang................................................................................... 3
B.
Rumusan Masalah............................................................................... 4
C.
Tujuan Penulisan................................................................................. 4
D.
Metode .............................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN
A.
Definisi Term Is}la>h
dan Padanannya................................................. 5
B.
Term Is}la>h
dan Padanannya dalam al-Qur’an................................... 7
C.
Penafsiran Surat al-Hujurat [49]: 9-10............................................. 11
D.
Kontekstualisasi............................................................................... 13
BAB III PENUTUPAN
A.
Simpulan........................................................................................... 16
B.
Saran................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perdamaian merupakan salah satu cita-cita yang diinginkan oleh
banyak orang. Perdamaian adalah kebutuhan yang paling mendasar dari tiap
individu, baik itu perdamaian dengan diri sendiri, maupun antar individu, atau
antara kelompok, bahkan antar negara dan lain sebagainya. Dalam kehidupan,
perdamaian merupakan salah satu komponen penting yang tidak bisa tidak,
diharuskan untu selalu diperjuangkan.
Perdamaian menurut Islam pun demikian, merupakan sesuatu yang harus
diperjuangkan. Islam sendiri memiliki arti keselamatan, damai, dan lain
sebagainya. Sudah tentu hanya dengan melihat namanya saja, sudah apat
dipastikan bahwa Islam sangat memperjuangkan perdamaian. Semenjak awal
kedatangan Islam pun, tidak lain adalah untuk mewujudkan perdamaian.
Dalam al-Qur’an, term yang mengandun unsur perdamaian di dalamnya
begitu banyak. Sebut saja misalnya, kata salm, rahmah, hub, afwun, safh,
amn, is}la>h dan
lain sebagainya. Dari beberapa term tersebut, penulis ingin fokus pada satu
term, yaitu is}la>h. Mengapa penulis kemudian ingin memfokuskan pada term tersebut.
secara sekilas, penulis melihat bahwa term tersebut lebih bersifat praksis.
Dalam artian, term tersebut bersifat menyuruh untuk secara langsung menciptakan
perdamaian dalam artian yang luas, atau kerukunan dalam artian yang sedikit
sempit.
Berangkat dari pemikiran tersebut, penulis ingin menyajikan sedikit
paparan tentang term islah dalam
al-Qur’an, mulai dari teori dan dalil-dalinya, sampai bagaimana kemudian
kegunaannya praksisnya, dan lain sebagainya. Kemudian sedikit juga menjelaskan
perbedaan-perbedaan dari term-term yang semisal, apa kemudian yang
membedakannya. Penulis akan sajikan tulisan ini dengan metode
deskriptif-analitis.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka rumusan masalah
yang diperoleh, antara lain sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud is}la>h
dan Padanannya?
2. Sebutkan term is}la>h
dan padannya dalam al-Qur’an?
3. Bagaimana contoh penafsiran term is}la>h
atau padananya?
4. Bagaiaman kontekstualisasi dan aplikasi term is}la>h?
C. Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud is}la>h
dan Padanannya
2. Untuk mengetahui term is}la>h
dan padannya dalam al-Qur’an.
3. Untuk mengetahui contoh penafsiran term is}la>h
atau padananya.
4. Untuk mengetahui kontekstualisasi dan aplikasi
term is}la>h.
D. Metode
Adapun metode yang kami lakukan dalam penyusunan ini dengan “studi
pustaka” yakni mengambil dan menyusun berbagai sumber mengenai materi
tersebut, kemudian dikumpulkan dan kami susun
secara sistematis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Term Is}la>h dan Padanannya
Sulh atau solah atau
istilah is}la>h berasal dari akar kata yang
sama yaitu s-l-h atau dalalm
bahasa arab sod lam ha. Istilah ini memang yang paling layak untuk di
terjemahkan kepada makna perdamaian daripada salam atau salm ,
walaupun term ini (salam) juga berarti damai atau perdamaian secara
etimologi, tetapi kalau kita cermati, akan nyata kepada kita bahwa penggunaannya
banyak dikaitkan dengan nilai nilai perdamaian, atau bisa disebut “passive
peace” bukan dalam bentuk action dalam islah
Dalam al-Qur’an kebanyakan penggunaan kata-kata yang berakar dari
s-l-m di pakai dalam arti kepasrahan mutlak kepada Allah SWT, islam sebagai
agama atau way of life (berkenaan dengan hal-hal yang bersifat
teologis), kedamaian dalam surga dan asma
al husna, adapun yang lainnya, tidak lebih dari empat ayat yang terkait
dengan konteks sosiologis yaitu dengan arti perjanjian damai atas perdamaian
antara kelompok yang sedang terlibat konflik atau perang.
Sulh dalam etimologi
arab berarti damai (peace reconciliation crompomise, peace making), hakim
al-sulh maknanya ialah orang yang menjadi hakim dalam proses perdamaian)
solah juga berarti lawan dari kerusakan atau keburukan, jika misalkan dikatakan
“islahu Allahi al-insana” maka maknanya ialah sesungguhnya dia
menciptakannya dalam keadaan soleh, atau kadang kadang berarti membuang,
membersihkan keburukan darinya, atau terkadang bermakna memberikan keputusan
hukum kepadanya dengan baik
Solah biasanya
menunjuk kepada faktor psikologis atu kejiwaan seseorang, Orang seperti itu
senantiasa memulai untuk melakukan perbaikan dan kedamaian dalam dirinya, ia
biasa disebut soleh dan is}la>h ialah satu tindakan (action) lanjutan dari orang yang telah
berhasil mewarnai dirinya dengan nilai nilai solah. Keduanya erat
hubungannya dengan kontruksi atau perbaikan hal-hal yang ada di luar dirinya,
seperti masalah sosial dan alam sekitar, karena itu, orang tersebut dinamakan “muslih”
(pelaku perbaikan, Bperdamaian,pembaruan).
Term salaha dalam bentuk fiil madhi terdapat dua
ayat, yakni dalam surah al-Ra’ad (13) 23; dan surah ghafir (40) 8, makna dalam
kedua ayat ini sama, yaitu amal soleh yang di lakukan oleh keluarga (bapak
istri atau suami dan anak cucu orang-orang yang dimasukkan ke dalam surga).
Is}la>h dan derivasinya
menjelaskan maknanya yang aktif dalam melakukan perbaikan, perdamaian atau
rekonsilitasi, reformasi, serta sesuatu yang patut di terima, islah terdapat
lima ayat yaitu dalam surah al-Baqarah (2); 220; surah al-Nisa’ (4);35, 114;
surah al-A’raf (7); 85; durah hud (11) 88 (dua surah terakhir berkenaan kisah
“reformasi” Nabi syua’ib). Islah dalam lima ayat tersebut mencakup
perbaikan, pembinaan dan perdamaian yang bersifat umum, tidak terbatas kepada
komunitas islam saja.
Adapun aslaha (dalam
bentuk fi’il madhi) terdapat tujuh ayat[1],
seperti dalam surah a baqarah (2); 182 surah al maidah (5) 39; surah al an’am
(6) 54; surah al a’raf (7) 35; surah al syura (34); 40, surah muhammad (47); yuslihu (fi’il mudari’) dalam surah yunus
(20) 81; surah al ahzab (33) 71; surah muhammad (47) ;5 dan muslih dalam
surah al baqarah (2);220
Aslih dalam surah al
a’raf (7) 142, ; surah al ahqaf (46) 15; term ini dalam kedua ayat tersebut
bersifat normatif, yakni berhubungan dengan, pertama ayat al a’raf(7) 142;
“perintah” musa kepada saudaranya, harun, agar menjadi penyeru perbaikan
(reformasi perdamaian dan lain lain), serta tidak mengikuti jalan orang orang
yang suka melakukan kerusakan
Aslihu bersifat
praktis, berhubungan dengan upaya mendamaikan konflik yang terjadi (peace
making atau conflictresolution). Dalam hal ini, ada empat kali di
sebutkan yakni satu kali dalam surah al anfal (8); 1; tiga kali dalam surah al
hujurat (49) duakali dalam ayat ke 9 dan satu kali dalam ayat ke 10. Semuanya
erat hubungannya dengan perintah mendamaikan konflik yang terjadi di antara
ummat islam khususnya.
Al-Qur’an datang mengukuhkkan fitrah manusia yang cenderung kepada
tauhid dan wujudnya harmoni (perdamaian), baik dalam dirinya maupun masyarakat
(“activve peace”), karenanya ia mengajarkan agar manusia menjadi mahluk
yang senantiasa melakukan proses terwujudnya suatu perdamaian.
Cukup banyak ayat ayat alqur’an menjelaskan tentang perhatiannya
akan perdamaian tersebut, terdapat sekitar seratus delapan puluhan ayat,
(termasuk di dalamnya nama nabi soleh dan ayat-ayat yang menyebutkan asloha dan
islah di atas). Ayat-ayat berkenaan menjelaskan berbagai kasus, di
antaranya mengenai pengakuan al-qur’an, bahwa para rasul ialah manusia-manusia
yang soleh (pejuang perdamaian, pelaku reformasi dan kemaslahatan sosial).
Kata kata soleh dalam
kalimat ”al ‘amal al-soleh atau solehat”
maknanya ialah sesuatu yang patut di
terima atau sesuatu yang di dalamnya tidak tedapat cacat atu hal hal yang
merusak, term al-‘amal al soleh atau
solehat dalam ayat ayat tersebut, terkait dengan masalah nilai dan kualitas
suatu pekerjaan, korelasi yang begitu erat antara faktor iman dan amal soleh
itu dapat dimaknai bahwa untuk mewujudkan suatu pembangunan, perbaikan,
reformasi dan perdamaian tidakk bisa di lepaskan dari faktor keimanan (kepada
Allah sebagai pencipta, pengatur, pengawas, maha damai dan lain lain), baik
dalam konteks politik, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan.[2]
B.
Term Is}la>h dan
Padanannya dalam al-Qur’an
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa term Is}la>h
dan padanannya ada 23 ayat dalam berbagai surat al-Qur’an.[3] Berikut
beberapa ayat penulis cantumkan:
1.
إِصْلَاحٌ dalam Q.S al-Baqarah [2]: 220
فِي
الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۗ
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَىٰ ۖ
قُلْ إِصْلَاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ ۖ
وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ ۚ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ ۚ
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَأَعْنَتَكُمْ ۚ
إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: Tentang dunia dan akhirat. Dan mereka
bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka
secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka
adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang
mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat
mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
2.
إِصْلَاحٍ & إِصْلَاحًا dalam Q.S an-Nisa [4]: 35 &
114
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا
مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ
اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا(35)
Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga
laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ
أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ
أَجْرًا عَظِيمًا(114)
Artinya: Tidak ada kebaikan pada kebanyakan
bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh
(manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di
antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan
Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.
3.
أَصْلَحَ dalam Q.S Muhammad [47]: 2
وَالَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَآمَنُوا بِمَا نُزِّلَ عَلَىٰ مُحَمَّدٍ
وَهُوَ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ ۙ
كَفَّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَأَصْلَحَ بَالَهُمْ
Artinya: Dan orang-orang
mukmin dan beramal soleh serta beriman kepada apa yang diturunkan kepada
Muhammad dan itulah yang haq dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan
kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka.
4. يُصْلِحُ dalam Q.S Yunus [10]: 81
فَلَمَّا أَلْقَوْا قَالَ مُوسَىٰ مَا جِئْتُمْ بِهِ
السِّحْرُ ۖ إِنَّ اللَّهَ سَيُبْطِلُهُ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُصْلِحُ عَمَلَ الْمُفْسِدِينَ
Artinya: Maka setelah mereka lemparkan, Musa
berkata: "Apa yang kamu lakukan itu, itulah yang sihir, sesungguhnya Allah
akan menampakkan ketidak benarannya" Sesungguhnya Allah tidak akan
membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan orang-yang membuat kerusakan.
5. مُصْلِح dalam Q.S al-Baqarah [2]: 220
فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۗ وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَىٰ ۖ قُلْ إِصْلَاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ ۖ وَإِنْ
تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ ۚ وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَأَعْنَتَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: Tentang dunia dan akhirat. Dan mereka
bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka
secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka
adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan
perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan
kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
6. أَصْلِحْ dalam Q.S al-A’raf [7]: 142
وَوَاعَدْنَا مُوسَىٰ ثَلَاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا
بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ۚ وَقَالَ مُوسَىٰ لِأَخِيهِ هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلَا
تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِينَ
Artinya:
Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu
tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam
lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam.
Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: "Gantikanlah aku dalam
(memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan
orang-orang yang membuat kerusakan".
7. أَصْلِحُوا dalam Q.S al-Hujurat [49]: 9-10
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا
فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا
الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ(9)
Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari
mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi
kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang
melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.
Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan
hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
berlaku adil.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ
أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ(10)
Artinya:
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah,
supaya kamu mendapat rahmat.[4]
C. Penafsiran Surat al-Hujurat [49]: 9-10
Dalam sub-judul kali ini, penulis mengambil salah satu ayat dari
beberapa ayat yang ada dalam al-Qur’an yang berbicara tentang is}la>h, yaitu dalam surat al-Hujurat [49]: 9-10. Bukan tanpa alasan penulis
mengambil contoh dari surat tersebut, penulis mengambil surat tersebut
alasannya pertama, karena dalam 2 ayat beruntun terdapat term padanan kata is}la>h,
kedua, karena term padanan kata is}la>h tersebut sangat bersifat praksis.
Penulis umumnya mendasarkan tafsiran surat al-Hujurat [49]: 9-10
pada kitab tafsir karya al-Qurtubi yaitu al-Jami’ li ahka>m
al-Qur’a>n, juga
mendasarkan pada kitab-kitab tafsir yang lainnya.
Al-Qurtubi
dalam tafsirnya menjelaskan terlebih dahulu sebab turunya ayat, atau konteks
situasi ayat itu diturunkan. Ia mengutip perkataan Mujahid, “Ayat ini
diturunkan tentang kabilah Aus dan al-Khazraj. Pendduk anshar saling baku
hantam denga menggunakan tongkat dan sandal, sehinga turunlah ayat tersebut.
Keterangan yang sama pula diriwayatkan dari Said bin Jubair, bahwa kabilah Aus
dan Khazraj pernah saling berperang pada masa Rasulullah saw dengan menggunakan
dahan kurma, sandal dan yang lainnya. Lalu Allah menurunkan ayat ini kepada
mereka.
Al-Kalbi
pun menerangkan sebabnya bahwa ayat ini diturunkan tentang pertempuran Samir
dan Hathib, di mana samir berhsail membunuh Hathib. Akibatnya, kabila Aus pun
berprang dengan kabilah Khazraj, hingga nabi mendatangi mereka dan turunlah
ayat ini. Allah memerintahkan nabinya dan kaum mukminin untuk mendamaikan kedua
kabilah ini.
Para
ulama (tidak disebutkan siapa ulama tersebut) berkata “Kedua kelompok dari kaum
muslimin yang saling memerangi itu tidak luput dari dua hal: apakah mereka
saling memerangi karena melanggar perjanjian yang dilakukan oleh keduanya atau
bukan. Jika yang terjadi adalah yang pertama, maka wajib melakukan perbaikan
atau pendamaian dan menumbuhkan perdamaian diantara keduanya. Namun jika
disebabkan karena kondisi yang kedua, yaitu hanya salah satunya yang melanggar
janji maka, wajib untu melakukan penyerangan terhadap kelompok yang melanggar
janji tersebut sampai ia bertobat dan tidak melanggar atau mengulangi lagi,
jika sudah demikian maka harus dilakukan upaya perdamaian kembali dengan
klompok yang diperangi.”
Kemudian
pendapat lain tentang perdamaian dan upayanya, jika sekelompok orang yang
melanggar atau berkhianat terhadap suatu perjanjian atau pemimpin, maka sang
pemimpin boleh memeranginya, hanya saja, sebelum memeranginya sang pemimpin
harus mengajak mereka untu taat kembali, jika mereka kemudian menolaknya, maka
mereka boleh diperangi.[5] Ketika
seseorang berperang satu sama lain,
Allah masih menamakan mereka sebagai orang mukmin, begitu istimbat yang
diambil oelh Ibu Katsir.[6] Sama halnya dengan Imam Syafi’i yang menyebut
bahwa sekalipun mereka saling bermusuhan danbahkan sampai berperang namun ia
masih dikatakn sebagai orang mukmin.[7]
Untuk
ayat selanjutnya, ayat 10 إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara” yakni menurut
al-Qurtubi agama dan kehormatan, bukan dalam nasab (keturunan). Oleh karena
itu, sebagain ulama berpendapat bahwa hubungan yang dilandasai dengan agama
lebih kuat dari pada hubungan yang dilandasi nasab saja. kemudian al-Qurtubi
menjelaskan bahwa persaudaraan itu harus dijaga dan jangan sampai ada
permusuhan, ia mengutipkan hadis:
حَدِيْثُ أَبِي
هُرَيْرَةَ ر.ض : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص.م قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالظَّنِّ، فَإِنَّ
الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ. وَلاَ تَحَسَّسُوْا، وَلاَ تَجَسَّسُوْا، وَلاَ
تَنَاجَشُوْا، وَلاَ تَحَاسَدُوْا، وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَلاَ تَدَابَرُوْا،
وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا
Artinya: “Abu
Hurairah r.a berkata, Rasulullah SAW, bersabda, ”Berhati-hatilah kalian dari
buruk sangka sebab buruk sangka itu sedusta-dusta cerita (Berita), jangan
menyelidiki, jangan memata-matai (mengamati) kesalahan orang lain, jangan
tawar-menawar untuk menjerumuskan orang lain, jangan hasut-menghasut jangan
benci-membenci, jangan belakang-membelakangi dan jadilah kalian sebagai hamba
Allah itu saudara.”[8]
Kemudian, فَأَصْلِحُوا
بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ “Sebab
itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara saudaramu itu” yakni antara setiap kaum muslimin yang
berselisih. Menurut Ubaidah, maksudnya adalah damaikanlah semua (individu dari) kedua saudara (mu) itu. Dengan
demikian, lafdz tersebut diperuntukan bagi semua orang.
Dari penafsiran-penafsiran
di atas, menurut penulis pada intinya adalah untuk membangun perdamaian di
anatar kedua kelompok tersebut yaitu Aus dan Khazraj. Serta
kualifikasi-kualifikasi perdamaiannya pun berbeda-beda, ada yang diperangi dulu
baru ketika ia bertobat dan tidak melanggar lagi baru untuk menyuruh berdamai,
ada yang menyebutkan pula, sebelum diperangi haruslah ditawari dulu untuk
kembali dan berdamai, setelah itu ketika yang ditawinya enggan, barulah diperangi.
D.
Kontekstualisasi
Kontekstualisasi
adalah sebuah upaya penyesuaian nilai al-Qur’an dengan perubahan zaman.
Bagaimana kenudian konteks turunya ayat dengan konteks sekarang tetap bisa
diaplikasikan. Kasus yang penulis ambil untuk dikontekstualisasikan adalah
kasus antara kabilah Aus dan Kazraj di atas. Karena kasus tersebut kemudian
direspon oleh al-Qur’an dengan turunnya ayat 9-10 surat al-Hujurat.
Menurut
Saeed[9],
yang harus diperhatikan oleh penafsir kontekstual adalah berusaha untuk
mengaitkan makna sebuah teks al-Qur’an trtentu sebagaimana ia dipahami oleh
para penerima wahyu pertamanya pada awal abad ke-7 M di makkah dan Madinah
menuju konteks-konteks yang muncul pada periode selanjutnya. Pendekatan kontekstual ini bertujuan secara
terus menerus memperbarui kembali pesan asli teks al-Qur’an.[10]
Dalam
kaitan dengan kasus di atas, yaitu konflik antara kabilah Aus dan Khazraj,
beberapa pendapat ulama klasik menyebutkan sebabnya dikarenakan adanya salah
satu kabilah melanggar janji. Dalam hal ini berarti adanya ketidaksepakatan dan
ketidaksesuaian dengan kelompok lain. Hal tersebut senada dengan definisi yang
ditawarkan Killman dan Thomas tentang konflik bahwa ia merupakan kondisi
terjadinya ketidakcocokan antara nilai-nilai tujuan yang ingin dicapai baik yang
ada dalam diri individu maupun hubungannya dengan kelompok lain.[11]
184
Bahwa
konteks saat dahulu turunnya ayat adalah karena adanya pelanggaran terhadap
perjanjian yang telah dibuat, maka untuk saat ini pun masih sangat relevan
dengan segala masalah yang ada. Pada dasanya ayat tersebut akan selalu relevan
dengan berbagai kondisi situasi. Karena pesan dalam ayat tersebut bersifat
universal. Berlaku terus di manapun berada dan sampai kapanpun.
Jika
mengacu pada teori hierarkis nilai Saeed. Ayat tersebut masuk dalam kategori
nila intruksional. Menurut Saeed, untuk mengidentifikasi dan mengatahui bahwa
ayat termasuk dalam kategori intruksional, dapat diketahui dengan melihat
beberapa syart sebagai berikut: (1) meruju kepada sejumlah intruksi, arahan,
petunjuk dan nasihat yang bersiaft spesifik (2) dalam hal kebahasaan cirinya
dengan kalimat perintah (amr) atau larangan (la), pernyataan
tentang perbuatan baik, perumpamaan, cerita, atau penyebutan kejadian tertentu.[12]
Dalam
kaitan ayat di atas, sudah sangat jelas sekali, identifikasinya terliha dari
ayat yang menjelaskan suatu peritiwa spesifik, kemudian dalam hal kebahasaan
terdapa kalimat perinta (amr) yaitu فَأَصْلِحُوا. Lanjut Saeed,
dalam usaha kontekstualisasi, ia menjelaskan harus melihat apakah ayat itu
dapat diikuti tanpa pertimbangan waktu dan tempat atau lingkungan yang
memungkinkan nilai itu bisa dipraktikan atau tidak. Menurut penulis, sudah
sangat jelas bahwa nilai dalam ayat tersebut akan selalu berlaku di manapun dan
kapanpun.
Dengan
demikan, Islam bahkan mensyariatkan dan
menganjurkan perdamaian di antara berbagai golongan muslim yang bertikai dan
menyebutkan bahwa yang paling baik dari keduanya ialah yang lebih dahulu
memulai dengan salam. Islam juga mesnyariatkan perdamaian jika terjadi berbagai
konflik dan peperangan.[13]
Maka nilai ayat tersebut sudah sangat jelas universal. Bahkan Asghar bukan saja
mendefiniskan damai pada ranah kekerasan konflik, pertikaian seperti umumnya,
ia mengatakan bahwa perdamaian sebagai akar sosial dengan menekankan peran
ekonomi berbasis kebutuhan dan menentang keras ekonomi berbasis ketamakan dalam
al-Qur’an. Karena ekonomi yang berbasis pada ketamakan juga sebagai kekerasan
secara tidak langsung dalam hal sosio-ekonomi.[14]
.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Is}la>h adalah reformasi dan perilaku damai dengan dasar nilai-nilai spiritual,
kemanusiaan, dan upaya resolusi konflik. Ia bersifat aktif berbeda dengan kata
padananya salm yang bersifat pasif.
2. Term Is}la>h
dan padanannya
ada 23 ayat dalam berbagai surat al-Qur’an. Baik itu term salaha, Aslaha, Yuslihu, Aslih,
dan Aslihu.
3. Penafsiran terhadap surat al-Hujurat [49]:
9-10 pada intinya
adalah untuk membangun perdamaian di antara
kedua kelompok yaitu Aus dan Khazraj. Serta,
kualifikasi-kualifikasi perdamaiannya pun berbeda-beda, ada yang diperangi dulu
baru ketika ia bertobat dan tidak melanggar lagi baru untuk menyuruh berdamai,
ada yang menyebutkan pula, sebelum diperangi haruslah ditawari dulu untuk
kembali dan berdamai, setelah itu ketika yang ditawinya enggan, barulah
diperangi.
4. Kontekstualisasi dari ayat tersebut berlaku
untu di manapun dan kapanpun, karena ayat tersebut mengandung nilai hierarkis
instruksional yang bersifat universal.
B. Saran
Tentunya hasil dari penusunan
makalah ini tidaklah sempurna, maka dari itu kami mengizinkan pembaca untuk
memberikian kritikannya agar ke depannya bisa lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Farran, Syaikh
Ahmad Musthafa. 2008.Tafsi>r al-Ima>m asy-Sya>fi’i, terj.
Imam Ghazali Masykur. Jakarta Timur: Almahira.
Al-Qurtubi, Syaikh
Imam. 2009. al-Jami’ li ahka>m al-Qur’a>n, terj. Akhmad Khatib. Jakarta: Pustaka Azzam.
Ar-Rifai, Muhammad
Nasib. 2000. Taisi>r al-Aliyyu> al-Qa>dir
li Ikhtis>}ari Tafsi>r Ibnu Katsir, terj.
Syihabuddin, (Depok: Gema Insani.
Baqi, Muhammad Fuad Abdu. 2002 Al-Mu’jam
al-Mufahras li al-Alfa>dz al-Qur’a>n al-Kari>m. Libanon: Da>r al-Ma’rifah.
Engineer,
Ashgar Ali. 2004. Liberalisasi Teologi Islam: Membangun Teologi damai dalam
Islam, terj. Rizqon Khamami. Yogyakata: Alenia Bentang Jendela Aksara.
Mahdi, Abu.
2011.Ringkasan Fikih Jihad, terj. Masturi Ilham dan Nabhani Idris.
Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Pasir,
Supriyanto. 2013 “Pendidikan Resolusi Konflik Berbasis al-Qur’an” dalam Nadwa:
Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 7, No. 2, Oktober 2013
Rafiq, Ainur.
2011. Tafsir Resolusi Konflik. Malang: UIN Maliki Press.
Saeed,
Abdullah. 2016. Reading The Qur’an in the Twenty-first Century: A
Contextualist Approach, terj. Ervan Nurtawab. Bandung: Mizan.
Syafe’i,
Rachmat. 2000. Aqidah, Akhlak, Sosial dan Hukum. Bandung: CV PUSTAKA
SETIA.
[1] Muhammad Fuad Abdu Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li
al-Alfa>dz al-Qur’a>n al-Kari>m, (Libanon: Da>r
al-Ma’rifah, 2002), hlm. 126
[2] Ainur Rafiq, Tafsir
Resolusi Konflik, (Malang: UIN Maliki Press, 2011), hlm. 103-108
[3] Muhammad Fuad
Abdu Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Alfa>dz
al-Qur’a>n al-Kari>m., hlm. 120-124
[5] Syaikh Imam
al-Qurtubi, al-Jami’
li ahka>m al-Qur’a>n, terj. Akhmad Khatib, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm. 35-45
[6] Muhammad Nasib
ar-Rifai, Taisi>r
al-Aliyyu> al-Qa>dir li Ikhtis>}ari Tafsi>r Ibnu Katsir, terj.
Syihabuddin, (Depok: Gema Insani, 2000), hlm. 427
[7] Syaikh Ahmad
Musthafa al-Farran, Tafsi>r
al-Ima>m asy-Sya>fi’i, terj. Imam Ghazali Masykur, (jakarta Timur: Almahira, 2008), hlm.
409
[8] Rachmat
Syafe’i, Aqidah, Akhlak, Sosial dan Hukum, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA,
2000), hlm. 182
[9] Abdullah Saeed
merupakan salah satu sarjana muslim kontemporer yang menawarkan gagasan tentang
tafsir kontekstual.
[10] Abdullah Saeed,
Reading The Qur’an in the Twenty-first Century: A Contextualist Approach, terj.
Ervan Nurtawab, (Bandung: Mizan, 2016), hlm. 145
[11] Supriyanto
Pasir, “Pendidikan Resolusi Konflik Berbasis al-Qur’an” dalam Nadwa: Jurnal
Pendidikan Islam, Vol. 7, No. 2, Oktober 2013
[12]
Abdullah Saeed,
Reading The Qur’an in the Twenty-first Century: A Contextualist Approach, terj.
Ervan Nurtawab., hlm. 116
[13] Abu Mahdi, Ringkasan
Fikih Jihad, terj. Masturi Ilham dan Nabhani Idris, (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2011), hlm. 814
[14] Ashgar Ali
Engineer, Liberalisasi Teologi Islam: Membangun Teologi damai dalam Islam,
terj. Rizqon Khamami, (Yogyakata: Alenia Bentang Jendela Aksara, 2004), hlm. 184
Komentar
Posting Komentar